Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong.
“Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak.
“Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu.
“Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya.
Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu.
Akhirnya aku berjongkok di sebelahnya. Mengambil aneka sayuran segar dan bahan lain untuk membuat urap.
“Kamu mau lauk apa, Mas?” tanyaku sambil melihat-lihat dagangan penjual di hadapanku ini. Hatiku seperti sudah mencair.
“Terserah kamu. Mungkin tempe mendoan sama ayam goreng juga boleh,” katanya sambil mengulas senyum padaku. Aku mengangguk setuju.
Kami segera beranjak setelah membayar belanjaan kami. Tangan kanan Mas Bayu menenteng belanjaan. Sedang tangan kirinya kembali menggandeng tanganku. Romantis bukan? Ah, andai dia melakukannya dengan tulus. Andai tak ada wanita lain di hatinya. Tentulah aku merasa seperti ratu.
“Ramai seperti ini, kalau nggak digandeng bisa ilang,” bisiknya seolah memberi kode agar aku tidak terlalu GR.
Pyar! Aku hanya bisa menghembuskan napasku. Ternyata benar. Dia melakukan bukan karena cinta seperti khayalanku di film-film romantis.
“Kalau kamu ilang, nanti nggak bisa pulang. Kamu kan belum hafal daerah sini,” sambungnya lagi.
Aku mengangguk saja. Menekan gemuruh dalam dadaku. Rasa kesal yang menyelimuti kalbu.
Hampir saja langkahku terhenti, saat kulihat Sinta berjalan dengan seorang temannya berlawanan arah dengan kami. Dia melihat ke kami dan melambaikan tangannya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, meski hatiku sesak. Bukan tak mau membalas lambaian tangannya, karena tangan kananku masih digenggam oleh Mas Bayu.
Sementara Mas Bayu tampaknya tidak menyadarinya, atau dia pura-pura tidak melihatnya. Aku tak tahu.
--
Sesampai di rumah, aku bersemangat ingin segera memasak. Ya, aku kangen memasak. Sekaligus ingin membayar rasa bersalah ke suamiku. Aku merasa menjadi istri yang gagal, yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya dari sekedar melayani kebutuhan perutnya.
Segera kubuka belanjaan. Sebagian langsung kucuci dan kutiriskan.
“Mau Mas bantu?” tawar Mas Bayu.
Aku bingung mau menjawab apa. Tapi sepertinya ini lebih baik. Bagaimanapun, aku harus memberi banyak kesempatan berinteraksi dengannya. Kecuali aku akan kehilangannya.
Kuberikan padanya beberapa siung bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. Aku paling benci mengupasnya.
Aku tak dapat menahan senyum kala melihatnya kesulitan mengupas bawang. Bisa ditebak kalau dia tidak pernah sekalipun ke dapur. Wajahnya sudah memerah dan matanya mulai berair. Namun, dia tidak menyerah. Biar lah. Batinku.
Jujur saja, aku senang Mas Bayu mau membantuku memasak. Hal yang sama sekali tak terlintas olehku. Bahkan, jauh sebelum kata penolakannya.
Dulu impianku adalah menjadi istrinya dan melayani seutuhnya. Tapi itu dulu, sebelum dia mengatakan tak akan menyentuhku sebelum jatuh cinta padaku.
“Yah, kita lupa belum masak nasi,” pekiknya saat aku sudah mematikan kompor, tanda memasak sudah selesai. Aku hanya dapat tertawa geli. Aku tahu dia sudah lapar, dan semua makanan sudah siap tersaji, kecuali nasi!
Jangankan masak nasi, bahkan magic com nya saja masih di kardus.
Kami menunggu nasi matang sambil duduk di ruang depan, menghadapi trancam, tempe mendoan dan ayam goreng.
“Nanti sore kita masak apa ya?” tanya Mas Bayu memecah kebisuan.
Ya, kami tadipun memasak bersama dalam diam. Tak ada obrolan. Ataupun sendau gurau. Kadang hatiku masih seperti rollercoaster. Kadang aku menjadi lunak, tapi tak jarang hatiku kembali keras jika ingat kata-katanya yang menyakitkan.
“Ayo kita makan,” katanya tak sabar saat mendengar tombol menanda nasi matang berbunyi. Dia mengangsurkan satu piring yang sudah dia isi nasi panas kepadaku.
“Hmm, masakanmu enak, benar kata mamaku!” katanya sesaat setelah menyuapkan suapan pertama.
Hatiku berdesir. Sebenarnya sudah biasa orang memujiku. Tapi, akan beda rasanya karena yang memujiku Mas Bayu, pria yang sejak dulu kukagumi, dan ternyata, kini begitu menyakiti.
“Wah, kalau tiap hari makan masakanmu, bisa-bisa aku cepet gendut kayak bapak-bapak,” selorohnya sambil mencomot mendoan untuk yang ketiga kalinya.
Aku tidak tahu, dia benar-benar tulus, atau hanya ingin menghiburku. Tapi aku bertekad akan membuatnya bahagia dan mencintaiku. Aku harus menghilangkan bayang-bayang Sinta di benakku, juga benak Mas Bayu. Tapi aku belum tahu caranya. Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana cara mengambil hati mas Bayu yang telah hilang.
Bersambung
Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang
Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman
“Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te
“Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku
Hari ini, usai jam kantor, aku dan Mas Bayu sudah janjian akan melihat kontrakan baru kami. Kontrakan yang mestinya lebih layak bagi kami untuk menerima tamu menginap, dibanding rumah petakan yang kami kontrak sekarang yang hanya cukup untuk kami berdua. Tiba-tiba aku teringat harus mengecek sesuatu. Ya, aku harus memastikan bahwa daerah yang kami kontrak tidak berada di sekitar Sinta. Tapi, dari mana aku bisa tahu alamat Sinta? Demi menuruti rasa penasaran, aku membuka akun sosial media warna biru. Siapa tahu ada titik terang di sana. Pertama, aku mencari akun milik Mas Bayu. Baru aku menyadari sejak aku menikah, aku sudah tidak lagi membuka akun sosial media itu. Dulu, aku rajin mengacak-acak akun Mas Bayu saat aku masih naksir dia. Bahkan dulu aku juga sudah tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Tapi, waktu itu aku terlalu yakin aku bisa mengambil hati Mas Bayu. Aku berinisiatif membuka akun sosmed milik Sinta yang beberapa kali menandai gambarnya dengan Mas Bayu. Ah say
“Aku sepertinya nggak cocok, Mas,” jawabku pelan. Aku berlalu keluar dari rumah itu, meninggalkan keduanya. Mas Bayu pasti kikuk dengan sikapku. Tapi, aku mencoba untuk tidak peduli. Aku tidak mau mengorbankan perasaanku demi orang lain. Toh, belum tentu orang lain mengorbankan perasaannya demi aku. Aku menunggu di luar pagar. Dari posisiku, aku melihat Sinta mengunci pintu rumah itu sambil berbincang dengan Mas Bayu. Sikapnya memang biasa saja. Tapi, aku tak tahu dengan hatinya. Apakah dia masih menyimpan rasa dengan Mas Bayu, atau tidak. Aku sungguh kecewa dengan Mas Bayu. Bagaimana aku bisa mempertahankan cintaku jika bayang-bayang Sinta masih ada. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah ini jika rumah ini berdekatan dengan rumah Sinta. Tak bisakah Mas Bayu sedikit memahaminya? Bagaimana perasaanku, bagaimana pandangan teman-temannya terhadapku nanti? Apakah aku hanyalah seorang pelariannya? Sinta meninggalkan kami dengan mobilnya. Mas Bayu menatapnya sampai bayangan mobil it