Share

BAB 7

Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong.

“Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak.

“Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. 

“Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. 

Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. 

Akhirnya aku berjongkok di sebelahnya. Mengambil aneka sayuran segar dan bahan lain untuk membuat urap.

“Kamu mau lauk apa, Mas?” tanyaku sambil melihat-lihat dagangan penjual di hadapanku ini. Hatiku seperti sudah mencair. 

“Terserah kamu. Mungkin tempe mendoan sama ayam goreng juga boleh,” katanya sambil mengulas senyum padaku. Aku mengangguk setuju. 

Kami segera beranjak setelah membayar belanjaan kami. Tangan kanan Mas Bayu menenteng belanjaan. Sedang tangan kirinya kembali menggandeng tanganku. Romantis bukan? Ah, andai dia melakukannya dengan tulus. Andai tak ada wanita lain di hatinya. Tentulah aku merasa seperti ratu. 

“Ramai seperti ini, kalau nggak digandeng bisa ilang,” bisiknya seolah memberi kode agar aku tidak terlalu GR. 

Pyar! Aku hanya bisa menghembuskan napasku. Ternyata benar. Dia melakukan bukan karena cinta seperti khayalanku di film-film romantis.

“Kalau kamu ilang, nanti nggak bisa pulang. Kamu kan belum hafal daerah sini,” sambungnya lagi. 

Aku mengangguk saja. Menekan gemuruh dalam dadaku. Rasa kesal yang menyelimuti kalbu. 

Hampir saja langkahku terhenti, saat kulihat Sinta berjalan dengan seorang temannya berlawanan arah dengan kami. Dia melihat ke kami dan melambaikan tangannya. 

Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, meski hatiku sesak. Bukan tak mau membalas lambaian tangannya, karena tangan kananku masih digenggam oleh Mas Bayu. 

Sementara Mas Bayu tampaknya tidak menyadarinya, atau dia pura-pura tidak melihatnya. Aku tak tahu. 

--

Sesampai di rumah, aku bersemangat ingin segera memasak. Ya, aku kangen memasak. Sekaligus ingin membayar rasa bersalah ke suamiku. Aku merasa menjadi istri yang gagal, yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya dari sekedar melayani kebutuhan perutnya. 

Segera kubuka belanjaan. Sebagian langsung kucuci dan kutiriskan.

“Mau Mas bantu?” tawar Mas Bayu. 

Aku bingung mau menjawab apa. Tapi sepertinya ini lebih baik. Bagaimanapun, aku harus memberi banyak kesempatan berinteraksi dengannya. Kecuali aku akan kehilangannya. 

Kuberikan padanya beberapa siung bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. Aku paling benci mengupasnya. 

Aku tak dapat menahan senyum kala melihatnya kesulitan mengupas bawang. Bisa ditebak kalau dia tidak pernah sekalipun ke dapur. Wajahnya sudah memerah dan matanya mulai berair. Namun, dia tidak menyerah. Biar lah. Batinku. 

Jujur saja, aku senang Mas Bayu mau membantuku memasak. Hal yang sama sekali tak terlintas olehku. Bahkan, jauh sebelum kata penolakannya. 

Dulu impianku adalah menjadi istrinya dan melayani seutuhnya. Tapi itu dulu, sebelum dia mengatakan tak akan menyentuhku sebelum jatuh cinta padaku. 

“Yah, kita lupa belum masak nasi,” pekiknya saat aku sudah mematikan kompor, tanda memasak sudah selesai. Aku hanya dapat tertawa geli. Aku tahu dia sudah lapar, dan semua makanan sudah siap tersaji, kecuali nasi!

Jangankan masak nasi, bahkan magic com nya saja masih di kardus. 

Kami menunggu nasi matang sambil duduk di ruang depan, menghadapi trancam, tempe mendoan dan ayam goreng. 

“Nanti sore kita masak apa ya?” tanya Mas Bayu memecah kebisuan. 

Ya, kami tadipun memasak bersama dalam diam. Tak ada obrolan. Ataupun sendau gurau. Kadang hatiku masih seperti rollercoaster. Kadang aku menjadi lunak, tapi tak jarang hatiku kembali keras jika ingat kata-katanya yang menyakitkan. 

“Ayo kita makan,” katanya tak sabar saat mendengar tombol menanda nasi matang berbunyi. Dia mengangsurkan satu piring yang sudah dia isi nasi panas kepadaku. 

“Hmm, masakanmu enak, benar kata mamaku!” katanya sesaat setelah menyuapkan suapan pertama. 

Hatiku berdesir. Sebenarnya sudah biasa orang memujiku. Tapi, akan beda rasanya karena yang memujiku Mas Bayu, pria yang sejak dulu kukagumi, dan ternyata, kini begitu menyakiti.

“Wah, kalau tiap hari makan masakanmu, bisa-bisa aku cepet gendut kayak bapak-bapak,” selorohnya sambil mencomot mendoan untuk yang ketiga kalinya. 

Aku tidak tahu, dia benar-benar tulus, atau hanya ingin menghiburku. Tapi aku bertekad akan membuatnya bahagia dan mencintaiku. Aku harus menghilangkan bayang-bayang Sinta di benakku, juga benak Mas Bayu. Tapi aku belum tahu caranya. Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana cara mengambil hati mas Bayu yang telah hilang.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status