Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman
“Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te
“Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku
Hari ini, usai jam kantor, aku dan Mas Bayu sudah janjian akan melihat kontrakan baru kami. Kontrakan yang mestinya lebih layak bagi kami untuk menerima tamu menginap, dibanding rumah petakan yang kami kontrak sekarang yang hanya cukup untuk kami berdua. Tiba-tiba aku teringat harus mengecek sesuatu. Ya, aku harus memastikan bahwa daerah yang kami kontrak tidak berada di sekitar Sinta. Tapi, dari mana aku bisa tahu alamat Sinta? Demi menuruti rasa penasaran, aku membuka akun sosial media warna biru. Siapa tahu ada titik terang di sana. Pertama, aku mencari akun milik Mas Bayu. Baru aku menyadari sejak aku menikah, aku sudah tidak lagi membuka akun sosial media itu. Dulu, aku rajin mengacak-acak akun Mas Bayu saat aku masih naksir dia. Bahkan dulu aku juga sudah tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Tapi, waktu itu aku terlalu yakin aku bisa mengambil hati Mas Bayu. Aku berinisiatif membuka akun sosmed milik Sinta yang beberapa kali menandai gambarnya dengan Mas Bayu. Ah say
“Aku sepertinya nggak cocok, Mas,” jawabku pelan. Aku berlalu keluar dari rumah itu, meninggalkan keduanya. Mas Bayu pasti kikuk dengan sikapku. Tapi, aku mencoba untuk tidak peduli. Aku tidak mau mengorbankan perasaanku demi orang lain. Toh, belum tentu orang lain mengorbankan perasaannya demi aku. Aku menunggu di luar pagar. Dari posisiku, aku melihat Sinta mengunci pintu rumah itu sambil berbincang dengan Mas Bayu. Sikapnya memang biasa saja. Tapi, aku tak tahu dengan hatinya. Apakah dia masih menyimpan rasa dengan Mas Bayu, atau tidak. Aku sungguh kecewa dengan Mas Bayu. Bagaimana aku bisa mempertahankan cintaku jika bayang-bayang Sinta masih ada. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah ini jika rumah ini berdekatan dengan rumah Sinta. Tak bisakah Mas Bayu sedikit memahaminya? Bagaimana perasaanku, bagaimana pandangan teman-temannya terhadapku nanti? Apakah aku hanyalah seorang pelariannya? Sinta meninggalkan kami dengan mobilnya. Mas Bayu menatapnya sampai bayangan mobil it
Sore itu, sepulang dari kerja, tiba-tiba motor Mas Bayu berbelok ke sebuah apotik. “Mau ngapain, Mas?” Aku bertanya saat aku terpaksa harus turun. Dia tidak bilang apa-apa sebelumnya. Apa dia sakit ingin membeli obat-obatan? Mas Bayu memarkir motornya di pelataran apotik itu. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Lelaki itu hanya menggandeng tanganku untuk diajaknya masuk ke apotik itu yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami ini. Mas Bayu langsung menuju etalase yang dibelakangnya duduk seorang petugas apotik. “Mbak, ada test pack?” tanyanya. Aku mengerutkan kening, seraya melirik sekilas padanya. Testpack? buat apa Mas Bayu membelinya? Bahkan, Mas Bayu menyebutkan namanya tanpa rasa sungkan. Aku menatap tajam ke Mas Bayu minta penjelasan. Tapi, dia tak menyahut, bahkan hanya tersenyum tipis seraya tetap menatap pada petugas yang langsung bergegas mengambil sesuatu dari rak kaca yang berada tepat berada di belakangnya. Dengan cekatan petugas itu kembali mendekat dan men
"Jangan lupa bawa ini!" Mas Bayu segera mengangsurkan testpack itu saat aku hendak ke toilet. Bahkan azan subuh belum berkumandang. Tak biasanya aku ingin ke belakang. Padahal biasanya aku bangun setelah Mas Bayu pulang dari masjid. Duh, sebenarnya aku sudah tak tahan mau ke belakang, tapi, terpaksa aku harus membaca dulu instruksi di bungkus itu. Maklum, semalam aku langsung tidur. "Mas!" Aku berteriak dari kamar mandi. Tidak terjadi perubahan apapun di sana. "Gimana?" wajah Mas Bayu menyembul karena aku sengaja membuka sedikit pintu kamar mandi. Aku belum sepenuhnya merapikan pakaianku. "Nih lihat sendiri!" aku menyerahkan benda asing yang sudah aku celupkan pada urine yang tadi aku tampung. Ya, mungkin Mas Bayu berharap terlalu lebih. Padahal kan kami juga belum lama menikah. Malah Sinta saja juga belum beres. "Dik! cepetan keluar!" Suara Mas Bayu berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi. Padahal usai menunaikan hajat, aku masih mau mengambil air wudhu. "Kenapa?