Share

BAB 4.

“Di bungkus saja boleh?” bisikku pada Mas Bayu.

Lelaki itu menatapku sejenak, lalu ia mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk.

Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam?

Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya.

Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya.

Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami.

Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku ke kasur. Kulihat Mas Bayu yang sedari tadi asyik dengan ponselnya segera meletakkan ponselnya, lalu merebahkan badannya di sampingku.

“Kenapa kamu diam saja?” tanya Mas Bayu membuka pembicaraan.

Aku menghela nafas. Aku pun binggung mau menjawab apa. Tak bisa kah dia sedikit saja memahamiku?

“Apa karena Sinta?” tanya Mas Bayu lagi.

Ingin sekali aku membalikkan tubuhku dan menghadap tembok jika tidak takut ngga sopan. Tapi kutahan.

“Aku nggak akan cerita ke kamu jika kamu nggak ingin tahu, “ tambahnya. Lalu dia menarik selimutnya. Tak lama, kudengar nafasnya sudah teratur.

Aku sama sekali tak bisa memicingkan mata. Aku memilih bangun pelan-pelan dari tempat tidur.

Kubuka laptop di ruang depan. Barangkali ada yang bisa kukerjakan, sekedar nonton drama atau lihat y*utube.

Tiba-tiba aku melirik ke ponsel Mas Bayu yang tergeletak di rak. Bolehkah aku membukanya? Kutarik nafas dalam-dalam. Kuraih ponsel itu. Kugeser layarnya, dan violaaaa! Tidak dikunci!

Segera kucek pesan atas nama Sinta. Bahkan, Mas Bayu tidak mengubah nama wanita itu. Masih nama Sinta tanpa embel-embel apapun. Jantungku berdegup kencang, saat perlahan kubuka pesan yang masuk.

Pesan terakhir, tadi siang. Ya, saat kami belanja. Ternyata memang dia janji ketemu di sana. Kuulir dengan jari ke atas menuju pesan sebelumnya. Ucapan hari pernikahan kami. Lalu kulihat lagi, pesan-pesan sebelumnya.

Mataku panas. Pesan-pesan yang berisi penyesalan, curahan hati dan semuanya yang belum dihapusnya. Aku tak sanggup membacanya satu persatu. Aku tidak kuat lagi. Kututup aplikasi pesan itu. Hatiku sakit. Airmataku tak kuasa kutahan. Bulur bening itu berjatuhan begitu saja. Kuseka mata ini dengan punggung tangan.

Pelan-pelan kuletakkan ponsel itu ke tempat semula. Napas kutarik dalam-dalam. Lalu kuhembuskan lagi. Aku terpekur sendiri sampai mataku terasa panas karena begitu banyak airmata yang kukeluarkan.

Hingga tiba-tiba,

“Dik, Dik Anita, bangun! Kenapa tidur disini?” suara yang kukenal itu membangunkan kesadaranku. Rupanya aku tertidur di ruang depan.

“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya sambil menempelkan punggung tangannya ke dahiku.

Aku menggeleng.

“Mas mau ke masjid, sudah subuh. Kamu segera wudhu ya,” kata pria yang sudah memakai baju koko itu.

Lagi-lagi, Aku hanya mengangguk.

Berangsur aku berdiri dan mengambil air wudhu. Segar rasanya air pagi ini menyapu wajahku. Entah aku tak tahu bagaimana kondisi wajahku. Yang jelas, mataku terasa berat dan pedih. Mungkin karena terlalu lama menangis.

Selesai menunaikan salat, kurebahkan badanku ke kasur. Pagi ini aku masih cuti kerja. Seharusnya aku menyiapkan sarapan buat suamiku. Tapi badanku terasa lemah.

“Mas carikan sarapan, ya. Kamu di sini saja,” kata Mas Bayu usai membuatkanku teh panas.

Tak kusangka sebenarnya Mas Bayu demikian perhatian, meski mau tak mau aku masih merasa sakit. Sakit dengan kejujurannya. Sakit pula dengan kelancanganku membuka ponselnya.

Pikiranku benar-benar kacau. Pernikahan impianku ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Menikah dengan orang yang kucintai, melayaninya dengan sepenuh cinta, dan akan menjadikan pernikahanku bahagia.

Tapi mengapa? Mengapa cinta yang kuharapkan telah layu sebelum berkembang?

Aku segera beristighfar. Memohon ampun kepada dzat yang maha pemberi ampunan. Adakah banyak dosa yang telah kuperbuat hingga aku harus menjalani cobaan seperti ini?

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Pasti supaya bs deketan sama si sintia itu dh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status