“Di bungkus saja boleh?” bisikku pada Mas Bayu.
Lelaki itu menatapku sejenak, lalu ia mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk.Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam?Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya.Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya.Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami.Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku ke kasur. Kulihat Mas Bayu yang sedari tadi asyik dengan ponselnya segera meletakkan ponselnya, lalu merebahkan badannya di sampingku.“Kenapa kamu diam saja?” tanya Mas Bayu membuka pembicaraan.Aku menghela nafas. Aku pun binggung mau menjawab apa. Tak bisa kah dia sedikit saja memahamiku?“Apa karena Sinta?” tanya Mas Bayu lagi.Ingin sekali aku membalikkan tubuhku dan menghadap tembok jika tidak takut ngga sopan. Tapi kutahan.“Aku nggak akan cerita ke kamu jika kamu nggak ingin tahu, “ tambahnya. Lalu dia menarik selimutnya. Tak lama, kudengar nafasnya sudah teratur.Aku sama sekali tak bisa memicingkan mata. Aku memilih bangun pelan-pelan dari tempat tidur.Kubuka laptop di ruang depan. Barangkali ada yang bisa kukerjakan, sekedar nonton drama atau lihat y*utube.Tiba-tiba aku melirik ke ponsel Mas Bayu yang tergeletak di rak. Bolehkah aku membukanya? Kutarik nafas dalam-dalam. Kuraih ponsel itu. Kugeser layarnya, dan violaaaa! Tidak dikunci!Segera kucek pesan atas nama Sinta. Bahkan, Mas Bayu tidak mengubah nama wanita itu. Masih nama Sinta tanpa embel-embel apapun. Jantungku berdegup kencang, saat perlahan kubuka pesan yang masuk.Pesan terakhir, tadi siang. Ya, saat kami belanja. Ternyata memang dia janji ketemu di sana. Kuulir dengan jari ke atas menuju pesan sebelumnya. Ucapan hari pernikahan kami. Lalu kulihat lagi, pesan-pesan sebelumnya.Mataku panas. Pesan-pesan yang berisi penyesalan, curahan hati dan semuanya yang belum dihapusnya. Aku tak sanggup membacanya satu persatu. Aku tidak kuat lagi. Kututup aplikasi pesan itu. Hatiku sakit. Airmataku tak kuasa kutahan. Bulur bening itu berjatuhan begitu saja. Kuseka mata ini dengan punggung tangan.Pelan-pelan kuletakkan ponsel itu ke tempat semula. Napas kutarik dalam-dalam. Lalu kuhembuskan lagi. Aku terpekur sendiri sampai mataku terasa panas karena begitu banyak airmata yang kukeluarkan.Hingga tiba-tiba,“Dik, Dik Anita, bangun! Kenapa tidur disini?” suara yang kukenal itu membangunkan kesadaranku. Rupanya aku tertidur di ruang depan.“Kamu kenapa? Sakit?” tanyanya sambil menempelkan punggung tangannya ke dahiku.Aku menggeleng.“Mas mau ke masjid, sudah subuh. Kamu segera wudhu ya,” kata pria yang sudah memakai baju koko itu.Lagi-lagi, Aku hanya mengangguk.Berangsur aku berdiri dan mengambil air wudhu. Segar rasanya air pagi ini menyapu wajahku. Entah aku tak tahu bagaimana kondisi wajahku. Yang jelas, mataku terasa berat dan pedih. Mungkin karena terlalu lama menangis.Selesai menunaikan salat, kurebahkan badanku ke kasur. Pagi ini aku masih cuti kerja. Seharusnya aku menyiapkan sarapan buat suamiku. Tapi badanku terasa lemah.“Mas carikan sarapan, ya. Kamu di sini saja,” kata Mas Bayu usai membuatkanku teh panas.Tak kusangka sebenarnya Mas Bayu demikian perhatian, meski mau tak mau aku masih merasa sakit. Sakit dengan kejujurannya. Sakit pula dengan kelancanganku membuka ponselnya.Pikiranku benar-benar kacau. Pernikahan impianku ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Menikah dengan orang yang kucintai, melayaninya dengan sepenuh cinta, dan akan menjadikan pernikahanku bahagia.Tapi mengapa? Mengapa cinta yang kuharapkan telah layu sebelum berkembang?Aku segera beristighfar. Memohon ampun kepada dzat yang maha pemberi ampunan. Adakah banyak dosa yang telah kuperbuat hingga aku harus menjalani cobaan seperti ini?BersambungMas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren. “Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng. “Biar aku sendiri, Mas," ucapku. Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah. Kami berdua makan dalam diam. “Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu. Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu. “Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kanto
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa t
Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong. “Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak. “Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. “Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. Akh
Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang
Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman
“Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te