Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku.
“Sudah semua, Dik?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku.
“Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku.
“Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi.
Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan.
Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan.
“Mau masakan Sunda, Padang, atau Jawa?” tanyanya saat berhenti di sebuah meja yang kosong.
“Samain saja,” jawabku singkat.
Sebenarnya sejak kulihat bersama perempuan tadi, otakku sudah tidak mampu berfikir. Selera makanku mendadak lenyap. Tapi, aku harus makan. Bagaimanapun di kontrakan belum ada apa-apa. Bahkan gas dan akua galon saja belum beli.
Mataku benar-benar dibuat pias lagi. Saat kulihat kemana Mas Bayu berjalan dan tampak perempuan yang tadi bertemu dengan Mas Bayu. Ya, benar. Bajunya sama persis. Tiba-tiba aku jadi ingin tahu, siapakah perempuan itu.
Segera kupalingkan pandangan, saat Mas Bayu menunjuk ke meja di mana aku duduk. Jantungku berdesir. Aku takut kalau-kalau dia akan mengajak perempuan itu ke meja ini. Aku memilih pura-pura memainkan ponsel yang ada ditanganku untuk mengusir kegalauan.
Dan benar saja. Entah bagaimana, Mas Bayu dan perempuan itu sudah ada di depanku.
“Anita, kenalkan. Ini teman Mas, “ kata Mas Bayu seraya tersenyum menatapku dan menatap temannya itu bergantian.
Aku segera berdiri seraya mengulurkan tangan.
Perempuan yang menjabat tanganku ini sungguh cantik. Jauuuuhh lebih cantik dariku. Aku segera mengangguk dan kembali duduk.
“Senang bertemu denganmu Anita. Selamat makan,” kata perempuan yang bernama Sinta itu dengan hangat, lalu ia pergi menjauh meninggalkan kami.
Mas Bayu menatapnya, sampai perempuan itu hilang dari pandangan.
Aku menatap Mas Bayu yang seolah belum merelakan kepergiannya sambil menarik napas dalam. Ada getar kecewa dalam sanubariku melihat semua ini.
Saat makanan datang, kami hanya makan dalam diam. Kami berdua menghabiskan makanan kami dalam kebisuan. Lidahku terasa kelu. Aku ingin tau. Aku ingin bertanya. Tapi aku tak bisa. Apakah aku akan terus bertahan menjadi yang kedua? Yang kedua di hatinya.
--
Kami pulang dengan menumpang taxi online. Tak mungkin kami membawa barang sebanyak ini dengan angkutan umum.
“Wah belanja ya, Mbak?” sapa tetangga depan kontrakan kami.
“Iya, Bu. Mari, Bu kami masuk dulu,” jawabku basa-basi.
Tinggal di pemukiman padat penduduk seperti ini memang mengharuskan kami harus banyak basa-basi dan bertegur sapa.
Kami segera membereskan isi rumah. Mas Bayu segera menyapu dan mengepel lantai. Kemudian dia mengeluarkan isi koper dan menyusunnya di lemari. Sedang aku sibuk mengeluarkan belanjaan, menyusun alat-alat dapur dan berbagai keperluan dapur.
“Kalau kamu capek, kita sore cari makan di luar saja. Nggak usah masak dulu,” kata Mas Bayu.
Aku mengangguk setuju. Memang aku masih belum kepikiran mau masak apa. Tapi yang jelas, sore ini rumah kontrakan kami sudah bersih dan rapi. Di ruang depan kami hanya beri gelaran karpet agar simple dan tidak makan tempat. Sedangkan kamar tidur, kami hanya menggunakan kasur busa yang tiap hari bisa kita angkat dan sandarkan ke dinding agar bawahnya tidak lembab.
--
Kami akhirnya keluar mencari makan usai salat maghrib.
Sebelum keluar, kami berkenalan dengan tetangga-tetangga samping dan depan rumah. Alhamdulillah, kami sudah kenalan semua. Ada yang profesinya supir angkot, driver ojek online, tukang becak, penjual pecel lele, guru ngaji, karyawan logistik, tukang sampah, tukang bangunan, dan lain-lain.
Aku menghela nafas. Betapa bersyukurnya aku. Pekerjaan tetanggaku bukan pekerjaan hina, tapi aku yakin pasti berat. Mereka harus membanting tulang. Tidak sepertiku yang duduk di kantor ber-AC.
Umumnya tetanggaku sudah memiliki anak. Hanya kami berdua yang pengantin baru. Mereka berdoa dengan ketulusannya, agar kami segera mendapat momongan. Kulirik Mas Bayu, dia tampak tersenyum senang dan mengaminkan. Apakah ini nyata?
Kami berjalan menyusuri gang, lalu terhenti saat melihat jajanan malam yang berderet-deret di ujung gang.
“Mau makan apa?” tanya Mas Bayu lagi.
“Penyet aja,” aku berusaha membuat usulan. Dia mengangguk. Kami menuju warung makanan penyetan.
Langkahku mendadak terhenti. Serta merta mataku membulat. Kulihat perempuan yang siang tadi aku lihat sedang makan di situ.
“Hai Anita, mau makan ya?” sapanya ramah.
Aku mengangguk. Lidahku kembali kelu. Sepertinya hampir seharian aku tidak bicara. Hanya anggukan yang aku berikan.
BERSAMBUNG...
“Di bungkus saja boleh?” bisikku pada Mas Bayu. Lelaki itu menatapku sejenak, lalu ia mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk. Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam? Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya. Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya. Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami. Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku
Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren. “Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng. “Biar aku sendiri, Mas," ucapku. Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah. Kami berdua makan dalam diam. “Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu. Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu. “Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kanto
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa t
Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong. “Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak. “Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. “Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. Akh
Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang
Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman