Share

BAB 3

Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku. 

“Sudah semua, Dik?” tanyanya. 

Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku. 

“Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku. 

“Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi. 

Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan. 

Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan. 

“Mau masakan Sunda, Padang, atau Jawa?” tanyanya saat berhenti di sebuah meja yang kosong. 

“Samain saja,” jawabku singkat. 

Sebenarnya sejak kulihat bersama perempuan tadi, otakku sudah tidak mampu berfikir. Selera makanku mendadak lenyap. Tapi, aku harus makan. Bagaimanapun di kontrakan belum ada apa-apa. Bahkan gas dan akua galon saja belum beli. 

Mataku benar-benar dibuat pias lagi. Saat kulihat kemana Mas Bayu berjalan dan tampak perempuan yang tadi bertemu dengan Mas Bayu. Ya, benar. Bajunya sama persis. Tiba-tiba aku jadi ingin tahu, siapakah perempuan itu.

Segera kupalingkan pandangan, saat Mas Bayu menunjuk ke meja di mana aku duduk. Jantungku berdesir. Aku takut kalau-kalau dia akan mengajak perempuan itu ke meja ini. Aku memilih pura-pura memainkan ponsel yang ada ditanganku untuk mengusir kegalauan. 

Dan benar saja. Entah bagaimana, Mas Bayu dan perempuan itu sudah ada di depanku.

“Anita, kenalkan. Ini teman Mas, “ kata Mas Bayu seraya tersenyum menatapku dan menatap temannya itu bergantian.

Aku segera berdiri seraya mengulurkan tangan. 

Perempuan yang menjabat tanganku ini sungguh cantik. Jauuuuhh lebih cantik dariku. Aku segera mengangguk dan kembali duduk. 

“Senang bertemu denganmu Anita. Selamat makan,” kata perempuan yang bernama Sinta itu dengan hangat, lalu ia pergi menjauh meninggalkan kami.

Mas Bayu menatapnya, sampai perempuan itu hilang dari pandangan. 

Aku menatap Mas Bayu yang seolah belum merelakan kepergiannya sambil menarik napas dalam. Ada getar kecewa dalam sanubariku melihat semua ini.

Saat makanan datang, kami hanya makan dalam diam. Kami berdua menghabiskan makanan kami dalam kebisuan. Lidahku terasa kelu. Aku ingin tau. Aku ingin bertanya. Tapi aku tak bisa. Apakah aku akan terus bertahan menjadi yang kedua? Yang kedua di hatinya. 

--

Kami pulang dengan menumpang taxi online. Tak mungkin kami membawa barang sebanyak ini dengan angkutan umum. 

“Wah belanja ya, Mbak?” sapa tetangga depan kontrakan kami. 

“Iya, Bu. Mari, Bu kami masuk dulu,” jawabku basa-basi. 

Tinggal di pemukiman padat penduduk seperti ini memang mengharuskan kami harus banyak basa-basi dan bertegur sapa. 

Kami segera membereskan isi rumah. Mas Bayu segera menyapu dan mengepel lantai. Kemudian dia mengeluarkan isi koper dan menyusunnya di lemari. Sedang aku sibuk mengeluarkan belanjaan, menyusun alat-alat dapur dan berbagai keperluan dapur. 

“Kalau kamu capek, kita sore cari makan di luar saja. Nggak usah masak dulu,” kata Mas Bayu. 

Aku mengangguk setuju. Memang aku masih belum kepikiran mau masak apa. Tapi yang jelas, sore ini rumah kontrakan kami sudah bersih dan rapi. Di ruang depan kami hanya beri gelaran karpet agar simple dan tidak makan tempat. Sedangkan kamar tidur, kami hanya menggunakan kasur busa yang tiap hari bisa kita angkat dan sandarkan ke dinding agar bawahnya tidak lembab. 

--

Kami akhirnya keluar mencari makan usai salat maghrib. 

Sebelum keluar, kami berkenalan dengan tetangga-tetangga samping dan depan rumah. Alhamdulillah, kami sudah kenalan semua. Ada yang profesinya supir angkot, driver ojek online, tukang becak, penjual pecel lele, guru ngaji, karyawan logistik, tukang sampah, tukang bangunan, dan lain-lain. 

Aku menghela nafas. Betapa bersyukurnya aku. Pekerjaan tetanggaku bukan pekerjaan hina, tapi aku yakin pasti berat. Mereka harus membanting tulang. Tidak sepertiku yang duduk di kantor ber-AC.

Umumnya tetanggaku sudah memiliki anak. Hanya kami berdua yang pengantin baru. Mereka berdoa dengan ketulusannya, agar kami segera mendapat momongan. Kulirik Mas Bayu, dia tampak tersenyum senang dan mengaminkan. Apakah ini nyata? 

Kami berjalan menyusuri gang, lalu terhenti saat melihat jajanan malam yang berderet-deret di ujung gang. 

“Mau makan apa?” tanya Mas Bayu lagi. 

“Penyet aja,” aku berusaha membuat usulan. Dia mengangguk. Kami menuju warung makanan penyetan. 

Langkahku mendadak terhenti. Serta merta mataku membulat. Kulihat perempuan yang siang tadi aku lihat sedang makan di situ. 

“Hai Anita, mau makan ya?” sapanya ramah. 

Aku mengangguk. Lidahku kembali kelu. Sepertinya hampir seharian aku tidak bicara. Hanya anggukan yang aku berikan.

BERSAMBUNG...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cuman bisa ngebatin aja si anita
goodnovel comment avatar
Sanih Saraswati
ceritanya hampir sama dengan Sekar,Gilang dan sakina
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status