Share

BAB 5.

Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren. 

“Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng.

“Biar aku sendiri, Mas," ucapku. 

Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah. 

Kami berdua makan dalam diam. 

“Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu. 

Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku.

Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu. 

“Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kantor. 

Laki-laki itu mengenakan stelan kemeja dan celana bahan. Semakin meningkatkan ketampanannya. Mungkin, jika aku tak tahu ada wanita lain di hatinya, penampilan ini akan membuatku jatuh hati berkali-kali. Sayang, melihatnya kini, justru membuat hati merasa pedih.

Seharian aku hanya mengurung diri di kontrakan. Aku tidak ingin melakukan apapun. Dapur masih kubiarkan seperti kemaren. Bahkan, mangkuk bekas makanku tadi pagiku pun enggan kucuci. Gelas bekas teh juga masih ada. Lantai belum disapu ataupun dipel. Cucian baju masih di ember. Tapi hatiku sudah lelah. 

Seperti janjinya, siang hari ada kurir mengantar makan siang. Sungguh, hati macam apa yang dimiliki Mas Bayu. Dia masih mengingatku, meski aku tak banyak berharap. Pasti ini hanya sekedar tanggung jawabnya. Tak ada hati yang tersisa dalam kebaikannya ini.

Kulihat sudah jam lima sore lewat tiga puluh menit saat kudengar suara motor menderu di teras kontrakan kami. Mas Bayu pulang dengan motornya, sama persis dengan yang dijanjikannya kemaren. Membawa pulang motornya yang tertinggal di kosan lama.

Pria itu masuk sambil membawa tentengan. 

“Pisang goreng! Mas nggak tahu kamu suka atau tidak,” ujarnya sambil mengangsurkan kotak yang dibungkus plastik sebelum kucium punggung tangannya. 

Meskipun dadaku terasa terhimpit oleh kenyataan ini, namun kewajibanku sebagai istri untuk sekedar mencium tangannya tak hendak kulewatkan.

“Kamu sudah sehat?” tanyanya sambil menyentuh pelipisku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk lemah. 

Hatiku terasa seperti teriris sembilu. Andai Mas Bayu tak pernah berkata pernikahan ini terpaksa, pasti hatiku bisa terbang ke awan dengan kebaikannya. 

Sayangnya, dia sudah berujar kalau dia belum sepenuhnya menerimaku. Jadi kebaikannya hanya layaknya kebaikan yang sama yang selalu dia berikan pada siapa saja.

Aku tahu, seharusnya saat dia baru pulang begini, harusnya kuambilkan dia minum atau kutanyakan dia sesuatu. Tapi entahlah, hatiku masih bergemuruh. Sakit sekali rasanya. 

Kulihat dia berlalu hari hadapanku. Setelah mengambil baju ganti di lemari pakaian dan handuk di jemuran handuk, dia bergegas ke kamar mandi. 

Aku menghela nafas, teringat cucian mangkuk, gelas, bahkan cucian baju yang masih ada di kamar mandi belakang. 

Setelah terdengar pintu kamar mandi terkunci, kuraih ponsel Mas Bayu yang diletakkan di nakas ruang depan. 

Dengan sekali usap, aku dapat membuka kembali ponsel itu. Tapi kali ini tidak ada nama Sinta. Pun tidak ada pesan-pesan dari perempuan itu. Mungkin sudah dihapuskannya. Mungkin Mas Bayu menyadari kalau aku telah membukanya. Tentu saja itu bagus buatnya. Agar dia sadar diri, kalau kini statusnya sudah beristri. Bukan sendiri lagi.

Aku beralih dari aplikasi pesan ke daftar kontak. Aku tidak yakin kontaknya dihapus. Kutelusuri satu persatu. Aku yakin pasti ada. Kubuka history last call di ponsel itu. Dan benar dugaanku. Masih ada. Hanya namanya saja yang diganti dengan inisial. 

Kembali kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan perlahan. Kupejamkan mataku yang sudah tidak sanggup membendung genangan air mata. 

Ketika kudengar suara kunci kamar mandi dibuka dari dalam, segera kuletakkan ponsel Mas Bayu di tempat semula. 

Kugeser dudukku menyandar tembok. Kuhapus air mata dengan punggung tangan. Tapi ekor mataku menangkap dia sedang manatapku. 

“Kenapa, Dik?” katanya sambil berjongkok di depanku. Aku yang hanya duduk di karpet bisa mencium harum sabun mandi yang menguar dari tubuhnya.

Diri ini hanya mampu menggeleng dan menggeleng lagi. Tapi tiba-tiba aku kaget, dia merengkuhku dalam pelukannya. Seketika tangisku pecah. 

“Maafin Mas ya, kalau kemaren menyakitimu,” katanya kemudian sambil mengusap punggungku. 

Tangisku semakin tak tertahankan. Dia mengusap kepalaku. Kepala yang memang masih kututup dengan jilbab, sejak dia mengatakan padaku belum bisa menyentuhku. Aku masih sakit hati. 

“Mas sudah banyak memikirkannya. Saat Mas sudah menerima perjodohan ini, artinya Mas harus bisa menerimamu. Tapi tolong beri waktu Mas ya,” bisiknya. 

Aku melepaskan pelukannya. Beri waktu? Apa maksudnya? Apakah dia minta waktu untuk bisa melepaskannya? Apakah dia belum bisa melepaskannya. 

Kuamati wajahnya lekat. Kucari jawaban disana. Aku tahu, saat ini mukaku sudah sembab dengan banyaknya tangisan yang kukeluarkan. Tentu saja, aku menjadi tidak secantik Sinta. 

Kami kembali saling diam. Kuharap malam ini segera berlalu. Besok aku akan bekerja kembali. Kukompres mataku yang sembab agar besok terlihat segar. Aku ingin kembali bertemu teman-teman kerjaku. Ingin mendengarkan hal-hal yang lucu, hingga terlupa pikiran yang kusut. Aku ingin sejenak melupakan semuanya.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status