Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren.
“Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng.
“Biar aku sendiri, Mas," ucapku.
Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah.
Kami berdua makan dalam diam.
“Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu.
Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu.
“Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kantor.
Laki-laki itu mengenakan stelan kemeja dan celana bahan. Semakin meningkatkan ketampanannya. Mungkin, jika aku tak tahu ada wanita lain di hatinya, penampilan ini akan membuatku jatuh hati berkali-kali. Sayang, melihatnya kini, justru membuat hati merasa pedih.
Seharian aku hanya mengurung diri di kontrakan. Aku tidak ingin melakukan apapun. Dapur masih kubiarkan seperti kemaren. Bahkan, mangkuk bekas makanku tadi pagiku pun enggan kucuci. Gelas bekas teh juga masih ada. Lantai belum disapu ataupun dipel. Cucian baju masih di ember. Tapi hatiku sudah lelah.
Seperti janjinya, siang hari ada kurir mengantar makan siang. Sungguh, hati macam apa yang dimiliki Mas Bayu. Dia masih mengingatku, meski aku tak banyak berharap. Pasti ini hanya sekedar tanggung jawabnya. Tak ada hati yang tersisa dalam kebaikannya ini.
Kulihat sudah jam lima sore lewat tiga puluh menit saat kudengar suara motor menderu di teras kontrakan kami. Mas Bayu pulang dengan motornya, sama persis dengan yang dijanjikannya kemaren. Membawa pulang motornya yang tertinggal di kosan lama.
Pria itu masuk sambil membawa tentengan.
“Pisang goreng! Mas nggak tahu kamu suka atau tidak,” ujarnya sambil mengangsurkan kotak yang dibungkus plastik sebelum kucium punggung tangannya.
Meskipun dadaku terasa terhimpit oleh kenyataan ini, namun kewajibanku sebagai istri untuk sekedar mencium tangannya tak hendak kulewatkan.
“Kamu sudah sehat?” tanyanya sambil menyentuh pelipisku. Lagi-lagi aku hanya mengangguk lemah.
Hatiku terasa seperti teriris sembilu. Andai Mas Bayu tak pernah berkata pernikahan ini terpaksa, pasti hatiku bisa terbang ke awan dengan kebaikannya.
Sayangnya, dia sudah berujar kalau dia belum sepenuhnya menerimaku. Jadi kebaikannya hanya layaknya kebaikan yang sama yang selalu dia berikan pada siapa saja.
Aku tahu, seharusnya saat dia baru pulang begini, harusnya kuambilkan dia minum atau kutanyakan dia sesuatu. Tapi entahlah, hatiku masih bergemuruh. Sakit sekali rasanya.
Kulihat dia berlalu hari hadapanku. Setelah mengambil baju ganti di lemari pakaian dan handuk di jemuran handuk, dia bergegas ke kamar mandi.
Aku menghela nafas, teringat cucian mangkuk, gelas, bahkan cucian baju yang masih ada di kamar mandi belakang.
Setelah terdengar pintu kamar mandi terkunci, kuraih ponsel Mas Bayu yang diletakkan di nakas ruang depan.
Dengan sekali usap, aku dapat membuka kembali ponsel itu. Tapi kali ini tidak ada nama Sinta. Pun tidak ada pesan-pesan dari perempuan itu. Mungkin sudah dihapuskannya. Mungkin Mas Bayu menyadari kalau aku telah membukanya. Tentu saja itu bagus buatnya. Agar dia sadar diri, kalau kini statusnya sudah beristri. Bukan sendiri lagi.
Aku beralih dari aplikasi pesan ke daftar kontak. Aku tidak yakin kontaknya dihapus. Kutelusuri satu persatu. Aku yakin pasti ada. Kubuka history last call di ponsel itu. Dan benar dugaanku. Masih ada. Hanya namanya saja yang diganti dengan inisial.
Kembali kutarik nafas dalam-dalam. Kuhembuskan dengan perlahan. Kupejamkan mataku yang sudah tidak sanggup membendung genangan air mata.
Ketika kudengar suara kunci kamar mandi dibuka dari dalam, segera kuletakkan ponsel Mas Bayu di tempat semula.
Kugeser dudukku menyandar tembok. Kuhapus air mata dengan punggung tangan. Tapi ekor mataku menangkap dia sedang manatapku.
“Kenapa, Dik?” katanya sambil berjongkok di depanku. Aku yang hanya duduk di karpet bisa mencium harum sabun mandi yang menguar dari tubuhnya.
Diri ini hanya mampu menggeleng dan menggeleng lagi. Tapi tiba-tiba aku kaget, dia merengkuhku dalam pelukannya. Seketika tangisku pecah.
“Maafin Mas ya, kalau kemaren menyakitimu,” katanya kemudian sambil mengusap punggungku.
Tangisku semakin tak tertahankan. Dia mengusap kepalaku. Kepala yang memang masih kututup dengan jilbab, sejak dia mengatakan padaku belum bisa menyentuhku. Aku masih sakit hati.
“Mas sudah banyak memikirkannya. Saat Mas sudah menerima perjodohan ini, artinya Mas harus bisa menerimamu. Tapi tolong beri waktu Mas ya,” bisiknya.
Aku melepaskan pelukannya. Beri waktu? Apa maksudnya? Apakah dia minta waktu untuk bisa melepaskannya? Apakah dia belum bisa melepaskannya.
Kuamati wajahnya lekat. Kucari jawaban disana. Aku tahu, saat ini mukaku sudah sembab dengan banyaknya tangisan yang kukeluarkan. Tentu saja, aku menjadi tidak secantik Sinta.
Kami kembali saling diam. Kuharap malam ini segera berlalu. Besok aku akan bekerja kembali. Kukompres mataku yang sembab agar besok terlihat segar. Aku ingin kembali bertemu teman-teman kerjaku. Ingin mendengarkan hal-hal yang lucu, hingga terlupa pikiran yang kusut. Aku ingin sejenak melupakan semuanya.
Bersambung
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa t
Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong. “Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak. “Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. “Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. Akh
Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang
Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman
“Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te
“Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku