Gladis dan Arsen sudah saling kenal satu sama lain. Saat Gladis kuliah, Arsen adalah mentornya. Lebih tepatnya mentor Dajal, karena dia terkenal kejam dan untuk tugas yang dia berikan, jika salah harus di ulangi lagi. Meski hanya satu kesalahan kecil, dan jujur saja Gladis sangat membencinya.
'Sial, kenapa harus dia?' gerutunya dalam hati.
Ketika proposal dari masing-masing didiskusikan dan rapat sedang berlangsung. Para proyek manager dan manajemen kontruksi sedang berdebat saling mengunggulkan perusahaan mereka. Namun, Gladis dan Arsen yang paling menggebu gebu. Entah karena masa lalu atau memang karena pekerjaan.
"Bagaimana perusahaan kalian mengerjakan proyek besar seperti ini? sedangkan visi misi saja tidak jelas," sindir Arsen kepada Gladis.
"Oh, jadi Anda meremehkan kami? Lalu bagaimana seorang CEO yang kejam dan arogan seperti Anda bisa menjalankan proyek ini?" timpal Gladis tak mau kalah.
"Maaf saudara-saudara semua, saya kira lebih baik rapat di tunda terlebih dahulu. Supaya kami dapat memutuskan dan memilih siapa yang akan kami pilih untuk proyek ini," kata owner dari proyek tersebut.
"Dan nanti untuk rapat selanjutnya, akan ada tim kami yang menghubungi, terima kasih," imbuhnya lagi kemudian meninggalkan ruangan rapat.
Setelah rapat dibubarkan Gladis segera menuju ke kamarnya dengan perasaan penat dan kesal. Dia juga segera menelfon untuk memastikan.
"Ya, halo tuan, apa benar target saya itu Arsen Mahavir?" tanya Gladis kepada Mr. X di telponnya.
Dia tidak tau saat ini harus berbuat apa? karena sebenarnya Gladis menyimpan perasaan terhadap Arsen sejak dulu. Meski ia juga sangat membenci dan memiliki dendam sendiri kepada Arsen."Ya benar, ada apa?" jawab Mr. X.
"Ah, tidak tuan, saya hanya memastikan saja."
"Saya beri kamu waktu 1 minggu untuk melenyapkanya," titah Mr. X lalu dia memutus sambungan telpon.
Gladis nampak frustasi, dia mengempaskan tubuhnya ke ranjang."Tuhan apa yang harus kulakukan? Apa ini karma? Aku bisa gila kalau seperti ini," katanya bermonolog sambil merutuki dirinya sendiri.
"Otakku buntu kali ini, aku harus keluar mencari hiburan," dia bicara sendiri saat meraih sweater abu-abu untuk dipakainya. Lalu keluar dari kamar dan menuju ke kamar Reska untuk meminjam mobil.
"Masih lama gak sih ini meetingnya di tunda?" tanya Reska kepada Gladis begitu dia sampai di kamarnya.
"Eh, bocah kenapa lo?" ucap Reska lagi. Ia merasa heran melihat raut muka Gladis terlihat muram.
"Kagak, bosen aja gitu," jawab Gladis sambil mengerucutkan bibirnya.
"Paling cepet tiga hari. Tapi, gue nggak bisa pastikan, bisa jadi seminggu, kenapa emangnya?" sambungnya lagi.
"Ah, gak asik nih, mana lagi ada turnamen dan tiketnya juga belum beli. Bantuin gue dapetin tiket Dota kali ini ya, please, tapi jangan bilang sama bokap ya," rengek Reska sambil memasang ekspresi memelas.
"Dih, lo itu ya, otaknya cuma main game mulu," keluh Gladis.
"Sini pinjem mobilnya, empet gue di sini pengen cari hiburan keluar," ujarnya lagi. Sambil meraih kunci mobil di atas meja dekat pintu masuk, tetapi segera direbut oleh Reska.
"Eitss, janji dulu buat dapetin tiketnya, pertandingannya minggu depat nih, ya, please ya."
"Hemm," kata Gladis, lalu Reska memberikan kunci mobilnya kepada Gladis.
Tanpa basa basi lagi kemudian Gladis menuju ke tempat parkir hotel. Tetapi ketika hendak masuk mobil dia mendapat telpon dari Mr. X.
"Saya tunggu kabar baik dari kamu!" kata Mr. X. Tanpa sempat menjawab, telpon pun sudah diputus membuat Gladis hanya bisa menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan kesal.
"Lama kelamaan bukan Arsen yang gue bunuh, tapi lo juga bisa jadi sasaran gue nih! Nggak sabaran banget, " gumamnya kesal.
Setelah memasuki mobil. Dia melihat Arsen juga menuju ke mobil pribadinya yang tepat berada di sebelah mobil Reska yang saat ini sedang dihuni oleh Gladis tentunya. Refleks Gladis membungkuk supaya Arsen tidak melihatnya. Kemudian ia pun memutuskan untuk mengikuti ke mana mobil yang dikendarai Arsen pergi.
"Lah, ini kenapa gue jadi ngikutin dia? Padahal belum ada rencana apa-apa nih, kok malah ngikutin dia?" kata Gladis yang kebingungan sendiri sudah seperti terhipnotis oleh Arsen.
Gladis teringat memori masa lalunya. Ketika dia masih kuliah dulu, dia sering kena ocehan Arsen karena suka membantah. Dia juga sering ketiduran dan mendapat nilai yang kurang baik, termasuk paling sering mengulang tugas. Terkadang, Gladis merasa seperti dipermainkan oleh Arsen, karena setiap tugas yang diberikan olehnya harus sesempurna mungkin. Sedangkan untuk Dosen lain seperti itu sudah mendapat ACC dan nilai sempurna.
Arsen dan Gladis hanya memiliki selisih usia lima tahun. Tetapi Arsen sudah menjadi Dosen dan mentornya karena kejeniusannya. Dia bisa mendapat gelar Master saat usianya masih muda. Sudah tentu banyak wanita yang mengejar Arsen, termasuk juga dengan Gladis.
Gladis begitu mengaggumi sosok Arsen dulu. Walau terkenal kejam dan arogan tetapi dia sangat menyukainya. Ke mana pun dan di mana pun Arsen berada, seperti medan magnet. Banyak para wanita entah muda ataupun yang sudah tua, ingin berada di dekatnya.
Merasa sedang diikuti, Arsen segera menepikan mobilnya. Sadar jika targetnya tau sedang diikuti, Gladis tidak ikut berhenti melainkan langsung melaju. Hal itu ia lakukan supaya Arsen tidak curiga. Arsen pun segera masuk kembali ke dalam mobil karena merasa perkiraannya salah.
Namun, belum sempat ia mengenakan sabuk pengaman.
BRAK ! BRAK !
Tiba-tiba mobil Arsen ditabrak dari belakang. Sebuah truk melaju begitu kencang sehingga tidak sempat mengerem dan tabrakan pun tak terhindarkan lagi, karena posisi mobil Arsen yang berhenti di badan jalan.
Arsen pun terpental di dalam mobil. Kepalanya terbentur dashbor. Mobilnya berputar 3 kali karena dorongan yang begitu keras dari mobil yang menabraknya, Tangan kiri arsen patah karena benturan keras. Kepala bagian belakangnya berdarah, serta pelipisnya memar.
Gladis yang berada belum jauh dari lokasi kecelakaan itupun kaget, dan seketika menghentikan mobilnya.
"Astaga !" jerit Gladis spontan.
Truk yang menabrak Arsen langsung melarikan diri. Sementara, mobil yang dikendarai Arsen hancur di bagian bekalang. Kaca mobil yang pecah berserakan di jalanan. Keluar asap dari bawah mobil. Gladis dilema seketika, ia ingin menolong ,tapi karena teringat tugas dari Mr. X ia ingin pergi.
Namun, ia ragu. Melihat kematian di hadapannya adalah hal yang sangat biasa, tetapi kali ini kasusnya berbeda. Tanpa dia sadari, air mata mengalir begitu saja, membasahi pipinya. Dan baru kali ini dia melihat orang lain yang terluka tetapi hatinya seakan ikut merasakan sakitnya.
"Apa yang harus aku lakukan," batinnya berbisik.
"Persetan dengan tugas!" seru Gladis. Pada akhirnya nurani Gladis itu yang menang. Ia segera memarkir mobilnya dan secepat kilat berlari menghampiri mobil Arsen. "Arsen! Arsen!" teriak Gladis memecah kesunyian malam. "Arsen ayo bangun, aku mohon sadarlah!" serunya lagi sambil membuka pintu mobil. Dia berusaha menyadarkan Arsen yang tidak sadarkan diri dan tampak luka-luka. Darah megalir dari kepala dan tangannya yang terkulai lemas ke bawah saat Gladis membuka pintu mobil Arsen. Gladis panik sekali begitu meihat keadaan Arsen. Jalanan malam hari itu tampak tidak terlalu ramai. Tetapi, ada beberapa pedagang makanan yang kebetulan mangkal di dekat situ. Tanpa pikir panjang ia pun mulai berteriak minta tolong. Teriakannya yang nyaring membuat beberapa pengendara yang kebetulan lewat men
Gladis mengerutkan dahinya dan menatap Arsen. "Kau tidak tau aku siapa?" tanyanya. Arsen menggelengkan kepalanya. "Aku bahkan tidak ingat siapa diriku. Kau siapa? Ini di mana? dan Aku kenapa?" cecar Arsen penuh kebingungan. Gladis tertegun selama beberapa saat hingga pada akhirnya ia langsung berlari keluar untuk menghubungi dokter. Tak lama kemudian, dokter dan beberapa perawat pun datang memeriksa Arsen dan juga memberikan beberapa pertanyaan. Setelah itu dokter pun mengajak Gladis untuk bicara di ruangannya. "Teman Anda mengalami amnesia. Ini pasti karena benturan yang sangat keras di kepalanya." "Ap-apa bisa sembuh seperti semula? Apa dia bisa kembali mengingat semuanya?" tanya Gladis khawatir. Dokter menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Bisa, tentu saja bisa. Biasanya pasien ak
Kevin terus menyalahkan dirinya sendiri, dia sangat bingung bila atasnya tidak dapat ditemukan. Alasan apa yang tepat untuk dia laporkan ke perusahaan nanti, sementara trading proyek masih terus berjalan. Saat ini dia sangat membutuhkan kehadiran Arsen. Kevin mencoba mencari Arsen ke beberapa tempat, seperti restoran atau tempat hiburan yang biasa dikunjungi Arsen sebelumnya. Tetapi hasilnya nihil. Sementara itu Gladis yang sedang menyuapi Arsen harus menghentikan sejenak kegiatannya karena ponselnya berdering. Ternyata pesan masuk dari kantor polisi, memberi tahu perihal perkembangan kasus dari kecelakaan yang Arsen alami. "Habis ini aku keluar sebentar ya," kata Gladis meminta izin kepada Arsen. "Ke mana?" "Ke kantor Polisi untuk mengetahui tentang perkembangan kecelakaan yang kamu alami," jawab Gladis. "Hemm ...," jawa
Gladis mencari Arsen ke sana kemari. Ke semua penjuru rumah sakit. Dan ia bernapas lega saat melihat Arsen ada di taman. Arsen tengah duduk sambil menikmati pemandangan di sekitar taman. Melihat Arsen dalam keadaan baik-baik saja, ia pun langsung berlari menghampiri Arsen dan memeluknya. Entah apa yang merasuki Gladis , hingga dia bisa bersikap seperti itu. Sangat bertolak belakang dengan Gladis yang selama ini dingin kepada lelaki. "Hey, ada apa ini?" tanya Arsen. Ia membalas pelukan Gladis dan mengusap lembut kepalanya sambil tersenyum hangat. "Kenapa keluar ngga bilang? Aku khawatir karena kau tidak ada di kamar," tegas Gladis yang tampak sebal sambil terisak. Tanpa dia sadari, air mata mengalir begitu saja di pipi tirusnya. Tanpa dia sadari juga sebenarnya dia takut jika kehilangan Arsen. "Maaf, udah buat kamu khawatir," jawab Arsen. Ia me
"Tuhan! cobaan apa lagi ini?" teriak Gladis dalam batinnya. Gladis memang wanita yang bar-bar dan urakan. Bahkan dimata sebagian orang dia bisa dikatakan sebagai wanita yang brengsek dan terkesan murahan, tentu saja karena kelakuannya yang suka main ke club bersama laki-laki, minum-minuman beralkohol dan bahkan tekadang ia juga berjudi. Itu semua karena pengaruh saat dia kecil sampai remaja yang tinggal di lingkungan para mafia. Bahkan tidak hanya itu, dia bisa menjadi pembunuh yang terampil karena saat dia tinggal bersama sang ayah dia mempelajari bela diri dan Gladis juga dilatih bagaimana menggunakan berbagai macam senjata. "Tidak apa kita di cap orang lain brengsek, lebih baik menjadi diri sendiri dari pada hidup dari bayang bayang omongan orang lain, dan yang terpenting kamu bisa jaga tubuhmu sendiri sebaik mungkin, karna itu bentuk komitmen dan tanggung jawab terhadap dirimu sendiri," kat
Saat Gladis melihat Reska keluar dari lift, dia buru-buru mengalihkan perhatian Arsen. Dia langsung berbalik badan agar tidak ketahuan oleh Reska, mereka beruntung karena kondisi hotel lebih ramai dari hari biasanya. 'Tuh kunyuk satu pasti nyariin gue, karena gue bilang bakal balik ke hotel hari ini,' batin Gladis. Dan benar saja, ponsel Gladis kemudian berdering, telfon masuk dari Reska. Gladis tidak menggubrisnya, dia hanya melihat sekilas layar ponselnya itu. Wanita berambut coklat itu masih berdiri di depan Arsen sambil menhalau jalan sambil cengengesan. Setelah Reska pergi, Gladis menghembuskan nafas terasa lega. Tetapi dia masih was-was. 'Semoga gak ketemu si asisten itu, sudah cukup Reska yg bikin jantungan,' Gladis bermonolog sambil memasukkan ponselnya kedalam tas kecil yang di bawanya. Arsen kebingungan melihat gelagat aneh wanit
"Kenapa? sudah sampai di sini loh, ini tadi juga resto kamu yang pilih kan?" ucap Arsen membuat Gladis kehabisan kata-kata. "I-itu ... anu." Dia mencoba mencari alasan, melihat Arsen sambil tersenyum seperti bocah yang kehabisan akal. Sepertinya hari-hari yang akan datang Gladis tidak bisa tenang, karena kebohongan yang dia buat sendiri. Mulai dari dikejar Reska dan juga takut ketahuan Kevin, dan parahnya lagi saat ini mereka sedang diburu oleh Mr. X dan tentunya mata-mata Mr. X sangat banyak di luar sana. Entah apa yang akan terjadi padanya jika salah satu dari mereka behasil mengetahuinya. "Baiklah, tapi aku ingin duduk di situ," ujar Gladis sambil menunjuk meja kosong dengan posisi tertutupi tirai di bagian belakang kursi sehingga tidak terlihat dari tempat duduk Kevin. Jika ketahuan oleh Kevin, dia bisa langsung lari keluar karena posisi mereka dekat dengan
Dengan Reska yang kekeh masih ingin masuk, dan dengan sigap Gladis menghalangi di depan pintu agar Reska tak bisa masuk. Pintu yang sedikit terbuka dan di halangi oleh badan Gladis, Reska tetap mencoba mendorongnya tetapi tetap tidak bisa membukanya. "Apaan sih? mau masuk juga gak boleh," keluh Reska. "Udah mau bilang apa, cepetan di sini aja, mau masuk juga mau ngapain?" kata Gladis yang masih menahan pintu dengan badannya. Reska mulai menyelidik, dia terus bertanya, "Itu siapa sih?" "Apaan? kagak ada." "Terus yang ngomong di dalam itu tadi siapa? setan? atau anak jin?" ucap Reska sambil cemberut sudah seperti anak yang merajuk minta mainan. "Gak ada, kalo gak ada yang penting mending sana deh pergi jauh jauh, hush hush," usirnya kepada Reska dengan gerakan seperti mengusir anak itik. Tetapi pria bertubuh jangkung it