Share

Chapter 6

    Gladis mencari Arsen ke sana kemari. Ke semua penjuru rumah sakit. Dan ia bernapas lega saat melihat Arsen ada di taman. Arsen tengah duduk sambil menikmati pemandangan di sekitar taman.

    Melihat Arsen dalam keadaan baik-baik saja, ia pun langsung berlari menghampiri Arsen dan memeluknya. Entah apa yang merasuki Gladis , hingga dia bisa bersikap seperti itu. Sangat bertolak belakang dengan Gladis yang selama ini dingin kepada lelaki.

    "Hey, ada apa ini?" tanya Arsen. Ia  membalas pelukan Gladis dan mengusap lembut kepalanya sambil tersenyum hangat.

    "Kenapa keluar ngga bilang? Aku khawatir karena kau tidak ada di kamar," tegas Gladis yang tampak sebal sambil terisak.

    Tanpa dia sadari, air mata mengalir begitu saja di pipi tirusnya. Tanpa dia sadari juga sebenarnya dia takut jika kehilangan Arsen.

    "Maaf, udah buat kamu khawatir,"  jawab Arsen.  Ia menyesal sudah membuat gadis di hadapannya ini cemas dan sedih.

    "Kok kamu bisa disini?"

    "Iya, tadi saat kau pergi ada keributan. Karena penasaran aku keluar kamar, eh malah keterusan sampai di sini. Tadi dengar-dengar ada korban tabrak lari," jawab Arsen.

    "Korban tabrak lari? Astaga!" Gladis berseru sambil menepuk dahinya. Korban tabrak lari, dan ia pikir adalah Arsen, padahal orang lain. Lalu dia tertawa memikirkan betapa bodoh dan menggelikannya dia saat ini.

    "Tadi menangis,  lalu sekarang tertawa. Kau memang wanita yang susah ditebak,  seperti puzzle yang harus diselesaikan," ujar Arsen sambil tersenyum dan membelai wajah Gladis. 

    Gladis hanya tersipu malu, kedua pipinya pun memerah seketika . Jantungnya berdebar saat  melihat tatapan mata Arsen yang penuh kehangatan dan kedamaian. Jauh berbeda dengan Arsen yang biasanya sangat angkuh dan arogan.

    "Eh, udah makan belum?" tanya Gladis  memecah suasana romantis yang tercipta di antara mereka berdua.

    "Belum, kenapa?

    "Kebetulan sebelum kembali kesini, aku tadi mampir membeli makanan dan juga kue-kue. Apa kau mau?" tanyanya

    "Boleh, kebetulan aku juga lapar. Tapi ...."

    "Tapi apa? 

    "Tapi, aku minta disuapi, ya?" pinta Arsen sambil mengedipkan sebelah matanya

    "Duh, manjanya."

    Gladis tersenyum melihat sikap Arsen yang sekarang. Sikap yang seperti manusia normal pada umumnya, bukan Arsen yang super sombong dan arogan.

    Sambil menyuapi Arsen, dia juga makan kue yang sama. 

    "Hemm, itu ada krim di ...," Arsen menunjuk sudut bibir Gladis. Ada sedikit krim kue  yang membuat Gladis tampak belepotan seperti anak kecil.

   "Di sini?"

   "Bukan, itu ..."

   "Sini?"

    Tunjuk Gladis yang kurang tepat membuat Arsen bereaksi. Dia membersihka krim itu menggunakan mulutnya. Reflek membuat Gladis mematung karena terkejut dengan apa yang dilakukan Arsen.

    Gladis berkedip beberapa kali dan ternganga dengan pikiran kosong seperti terhipnotis dengan jantung berdetak lebih cepat dari biasanya. Arsen  hanya terkekeh melihat respons yang diberikan Gladis.

    "Halloo ...," ucap Arsen menyadarkan Gladis.

    'Astaga, ciuman pertama gue, ini bukan mimpi kan?' batin Gladis kegirangan.

    "Apakah responsmu selalu seperti ini jika aku menciummu?" tanya Arsen

    "Haha, mungkin iya. Ah, lebih baik kita segera kembali ke kamar, tidak baik lama-lama di luar. Kau kan masih dalam perawatan."

    Gladis pun menggandeng tangan Arsen dan membawanya kembali ke kamar.

    "Jadi, bagaimana? Apa pengemudi yang sudah menabrakku ditemukan, Sayang?" tanya Arsen.

    Sekali lagi Gladis merasakan degub jantungnya bertambah kencang. 'Sayang? Dia memanggilku sayang?' batin Gladis berbunga.

    "Belum."

    "Hemm, bagaimana kita dulu bertemu dan jatuh cinta?" tanya Arsen penasaran.

    Gladis hanya terkekeh, "Aku sudah menyukaimu saat pandangan pertama kali. Saat kita bertemu pertama kali dan jangan tanya alasanya apa, karena cinta tak perlu alasan untuk saling menyukai dan mencintai," ucap Gladis.

    Sambil membayangkan saat dia kuliah dulu dan selalu di marahi oleh Arsen. Dari mulai kesalahan yang tak disengaja sampai kesalahan yang memang disengaja. Agar dia bisa bertemu dengan Arsen.

    Dia membayangkan kembali masa-masa itu dan membuatnya tersenyum senyum sendiri.

     "Apa kamu begitu sangat mencintaiku? sehingga hanya membayangkannya saja mebuatmu begitu bahagia seperti ini," tanya Arsen memecah pikiran dan bayangan Gladis.

     "Ah, hahaha ... maaf, tapi nyatanya memang seperti itu," jawab Gladis.

     "Lalu dimana kita pertama kali bertemu?"

     Pertanya Arsen yang penasaran membuat Gladis berpikir keras untuk membuat alasan yang masuk akal.

    "Itu di taman kampus Universitas Indonesia," jawab Gladis.

    "Oh, iya kah? lalu kenapa aku di kampus? Apa kita satu Universitas?".

   "Karena kau adalah dosen di sana, dan aku adalah salah satu mahasiswimu," jawab Gladis.

    "kamu sebaiknya istirahat saja, aku akan keluar sebentar ada urusan,"  sambung Gladis yang dijawab anggukan oleh Arsen.

    Gladis keluar dari ruangan itu untuk menenangkan hatinya. Perasaannya saat ini benar-benar tak menentu. Dekat dengan Arsen dalam situasi berbeda membuatnya salah tingkah. Dia pun menuju ke sebuah kedai yang berada di seberang rumah sakit. 

    Setelah memesan segelas kopi dia duduk di dekat jendela. Sambil menikmati kopi ia melihat keadaan sekitar. Namun, tiba-tiba saja Gladis melihat seorang laki-laki yang mencurigakan.

    Seorang laki-laki berkacamata hitam, memakai jaket coklat. Duduk di kursi tepi jalan yang sedang berbicara di telpon. Dia juga nampak memperhatikan keadaan sekitar, seperti sedang mencari sesuatu.

    Gladis merasa curiga karena sepertinya dia tidak asing dengan pria tersebut. Dia mencoba mengingat di mana dia pernah bertemu dengan pria itu, dan benar saja.

Kemudian Gladis teringat pernah bertemu saat pria tersebut saat bersama Mr. X. Dan Gladis menduga dia di sini untuk mengawasinya dan juga Arsen.

    Mata-mata Mr. X memang banyak, dan hal yang mudah baginya untuk menemukan keberadaan Gladis. 

    'Sial, dia benar-benar mengawasiku, kenapa dia sampai disini?' batin Gladis.

    Dia meninggalkan selembar uang di bawah gelas kopinya. Lalu dia buru-buru kembali ke rumah sakit.

    "Kenapa?" tanya Arsen kepada Gladis sesampainya dia di ruangan Arsen, yang terlihat raut wajahnya nampak panik.

    "Kita harus segera keluar dari rumah sakit dan kembali ke hotel," jawab Gladis membuat Arsen semakin bingung.

    "Tapi, aku belum pulih, tanganku juga masih sakit," keluh Arsen

    "Aku dapat kabar dari manajer hotel, karena itu kita harus kembali ke hotel. Ah, jangan tanya alasannya kenapa, karena aku juga tidak bisa menjelaskannya sekarang."

    Gladis dengan tergesa-gesa ke bagian administrasi meminta hari itu juga Arsen harus keluar dari rumah sakit. Dia tidak mau keberadaanya di sini di ketahui oleh mata-mata yang diutus Mr. X.

    Dan tentu saja dia harus berdebat dengan para dokter dan suster. Tetapi dengan alibi yang diberikan Gladis dia bisa membawa Arsen pulang ke hotel. Dengan catatan jika ada keluhan harus segara kembali ke rumah sakit.

    "Kenapa buru-buru banget, sih?" tanya Arsen kebingungan, dia melihat Gladis terburu-buru merapikan pakaian Arsen ke dalam tas.

    "Hehe, gak papa, nih ganti kemejannya," kata Gladis sambil memberikan kemeja kepada Arsen. 

    Dia menyuruh Arsen mengganti pakaian rumah sakit yang dia kenakan saat ini.

   "Apa kamu bisa menolongku untuk menggantinya? Aku tidak bisa mengganti sendiri karena tanganku masih sakit," keluh Arsen sambil meunjukkan tangannya yang masih diperban.

    'Tuhan! cobaan apa lagi ini!' teriak Gladis dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status