Kevin terus menyalahkan dirinya sendiri, dia sangat bingung bila atasnya tidak dapat ditemukan. Alasan apa yang tepat untuk dia laporkan ke perusahaan nanti, sementara trading proyek masih terus berjalan. Saat ini dia sangat membutuhkan kehadiran Arsen.
Kevin mencoba mencari Arsen ke beberapa tempat, seperti restoran atau tempat hiburan yang biasa dikunjungi Arsen sebelumnya. Tetapi hasilnya nihil.
Sementara itu Gladis yang sedang menyuapi Arsen harus menghentikan sejenak kegiatannya karena ponselnya berdering. Ternyata pesan masuk dari kantor polisi, memberi tahu perihal perkembangan kasus dari kecelakaan yang Arsen alami.
"Habis ini aku keluar sebentar ya," kata Gladis meminta izin kepada Arsen.
"Ke mana?"
"Ke kantor Polisi untuk mengetahui tentang perkembangan kecelakaan yang kamu alami," jawab Gladis.
"Hemm ...," jawab Arsen dengan mulut yang masih mengunyah makanannya.
"Obatnya diminum dulu ya," ujar Gladis sambil mengambilkan obat dan air minum di atas nakas.
Setelah memastikan Arsen meminum obatnya, Gladis bergegas pergi.
Tetapi, baru beberapa langkah keluar dari ruangan itu, ia kembali menghampiri Arsen.
"Ada yang tertinggal?" tanya Arsen.
"Tunggu sebentar," jawabnya.
Gladis mengambil pena dari dalam sling bag yang dia bawa.Dia meraih tangan Arsen yang masih terbalut dengan gips. Lantas Gladis Menuliskan beberapa angka di atas gips tersebut.
Setelah selesai dia menatap kearah Arsen. Karena posisi mereka yang cukup dekat, membuat Gladis diam terpaku sesaat. Terpesona dengan sosok Arsen.
Arsen mengusap lembut wajah gadis berparas bule tersebut. Kontan membuat Gladis tersadar dari lamunannya.
"Ah, maaf, ini aku tulis nomor ponselku. Jadi nanti kalau ada apa-apa hubungi aku. Ini, kau bisa memakai ponsel ini, ponselmu hancur saat kecelakaan kemarin," kata Gladis dengan pipi memerah.
Dan dengan langkah seribu dia langsung pergi begitu saja. Dan spontan membuat Asen tersenyum dengan tingkah Gladis.
Sesampainya di kantor polisi dia dijelaskan tentang bagaimana perkembangan kasus kecelakaan tersebut.
"Jadi begini Mbak, untuk kasus tabrak lari ini pelakunya belum kami temukan. Saksi yang ada tidak ada satu pun yang melihat wajah pengemudi. Juga plat nomornya tidak terdaftar, kemungkinan bukan plat resmi. Tapi, kami akan terus mencari pelaku.”
"Saya ... kami bukan penduduk asli di kota ini, Pak. Jika tunangan saya sudah sehat dan kembal i ke Jakarta bagaimana?” tanya Gladis.
"Kami akan menghubungi Mbak Gladis jika ada perkembangan dari kasus ini.”
"Baiklah,Pak, jika memang seperti itu," ucapnya agak kesal.
Bagaimana tidak kesal, di jalanan itu jelas dipasangi CCTV. Gladis menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Dan untuk barang-barang tuan Arsen yang kemarin menjadi barang bukti jika ingin diambil silakan ke bagian administrasi."
"Baiklah."
Setelah selesai di bagian administrasi. Gladis yang sangat dongkol dengan pelayanan di kantor polisi, membuatnya tidak ingin berlama-lama berada di tempat itu.
Sebelum kembali ke rumah sakit, dia memutuskan untuk singgah di sebuah restoran yang tak jauh dari rumah sakit tempat arsen dirawat. Di sana dia mengutak-atik ponsel Arsen yang ia ambil dari kepolisian tadi.
Untuk membuat Arsen lebih percaya lagi, dia melancarkan aksinya kali ini."Mulai dari kontak ini, e-mail yang tidak penting, dan chat sebelumnya. Oke hapus semuanya dengan begini aku yakin dia akan semakin percaya," ocehnya setelah berkutat dengan ponsel itu.
Gladis memesan bemakanan, dan juga mini cake untuk dibawa ke rumah sakit. Namun, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Mr X yang meneleponnya.
"Halo Tuan," jawab Gladis. Ia tak mengira Mr. X akan menelponnya secepat itu.
"Bagaimana?"
"Jadi begini Tuan, saat saya akan membunuhnya dia malah mengalami kecelakaan, dan sekarang dia mengalami amnesia, dan ...."
"Dan apa?" tanya Mr. X dengan nada mengintrogasi.
"Saya sedang bersandiwara menjadi calon istrinya, nanti ketika dia lengah maka saya akan segera membunuhnya."
"Kenapa tidak saat ini juga? kau bisa melenyapkannya lebih mudah bukan?"
Gladis menarik nafas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Ia memutar otak mencari alasan yang tepat untuk berdalih.
"Kalau sekarang dengan keadaan dia yang tidak mengingat apa-apa bukankah ini terlalu mudah? Bukankah Tuan menginginkan dia sengsara? Kenapa kita tidak memanfaatkan momen ini untuk mengelabuinya, jadi ketika perasaannya sudah luluh maka aku akan mengantarkannya sendiri ke hadapanmu Tuan".
Gladis berharap tuannya mau berkompromi kali ini. Mungkin saat ini dia bisa saja terus berdalih, tetapi untuk nantinya dia sendiri belum tau.
"Kau tau apa konsekuensinya jika kau berani berbohong?" tanya Mr. X mengonfirmasi.
"Iya Tuan."
"Aku akan selalu mengawasimu!"
Gladis mendengus kasar dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia merasa resah, karena pasti tuannya tidak akan melepaskannya dengan mudah.
Dia masih memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Tidak mudah baginya kali ini, pikiran dan perasaanya tidak bisa diajak kompromi sama sekali.
"Hah! Persetan dengan cinta ... aarrggghhh!" serunya.
Seruan yang kencang tentu membuat orang melirik ke arahnya. Tetapi, Gladis tak peduli. Dia mencoba menenangkan pikirannya sejenak, sebelum kembali ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, saat dia berjalan menuju ruangan Arsen. Terlihat para Dokter dan Perawat ramai berkerumun di depan ruangan VIP tempat Arsen dirawat.
Darah berceceran di lantai depan ruang kamar rawat. Di pakaian para Dokter maupun Perawat. Gladis yang melihat hal itu menjadi panik sekali dan pikirannya pun ke mana-mana, dia takut terjadi sesuatu terhadap Arsen.
"Maaf, ini ada apa ya? Kenapa ramai sekali?" tanya Gladis kepada salah satu Perawat di dekat kerumunan tersebut.
"Itu ada pasien yang habis kecelakaan, lalu-“ perawat itu tidak melanjutkan ucapannya karena salah seorang rekannya memanggil.
"Arsen? semoga tidak terjadi apa-apa," gumam Gladis. Dia terllihat semakin panik begitu mendengar jawaban dari Perawat tadi.
Dia berlari menuju kamar tempat Arsen di rawat. Tetapi nihil, dia tidak menemukannya.
Lalu dia keluar dan mencari Arsen ke luar. Dengan perasaan takut dan juga kalut tak karuan. Saking paniknya dia sampai menabrak orang saat berlarian.
Dia mencoba bertanya kepada perawat jaga di dekat ruangan Arsen."Sus, maaf untuk pasien di ruangan itu ada dimana ya? Saat ramai orang tadi apa terjadi sesuatu dengannya, karena saat ini saya tidak bisa menemukannya?" tanya Gladis kepada salah satu suster jaga.
"Maaf Nona, saat kami mengantar obat tadi tuan Arsen masih ada di kamarnya. Mungkin dia keluar untuk mencari udara segar, karena memang tadi ada pasien laka lantas dan sangat ramai orang," kata suster yang semakin membuat Gladis bingung.
Gladis mencari Arsen ke sana kemari. Ke semua penjuru rumah sakit. Dan ia bernapas lega saat melihat Arsen ada di taman. Arsen tengah duduk sambil menikmati pemandangan di sekitar taman. Melihat Arsen dalam keadaan baik-baik saja, ia pun langsung berlari menghampiri Arsen dan memeluknya. Entah apa yang merasuki Gladis , hingga dia bisa bersikap seperti itu. Sangat bertolak belakang dengan Gladis yang selama ini dingin kepada lelaki. "Hey, ada apa ini?" tanya Arsen. Ia membalas pelukan Gladis dan mengusap lembut kepalanya sambil tersenyum hangat. "Kenapa keluar ngga bilang? Aku khawatir karena kau tidak ada di kamar," tegas Gladis yang tampak sebal sambil terisak. Tanpa dia sadari, air mata mengalir begitu saja di pipi tirusnya. Tanpa dia sadari juga sebenarnya dia takut jika kehilangan Arsen. "Maaf, udah buat kamu khawatir," jawab Arsen. Ia me
"Tuhan! cobaan apa lagi ini?" teriak Gladis dalam batinnya. Gladis memang wanita yang bar-bar dan urakan. Bahkan dimata sebagian orang dia bisa dikatakan sebagai wanita yang brengsek dan terkesan murahan, tentu saja karena kelakuannya yang suka main ke club bersama laki-laki, minum-minuman beralkohol dan bahkan tekadang ia juga berjudi. Itu semua karena pengaruh saat dia kecil sampai remaja yang tinggal di lingkungan para mafia. Bahkan tidak hanya itu, dia bisa menjadi pembunuh yang terampil karena saat dia tinggal bersama sang ayah dia mempelajari bela diri dan Gladis juga dilatih bagaimana menggunakan berbagai macam senjata. "Tidak apa kita di cap orang lain brengsek, lebih baik menjadi diri sendiri dari pada hidup dari bayang bayang omongan orang lain, dan yang terpenting kamu bisa jaga tubuhmu sendiri sebaik mungkin, karna itu bentuk komitmen dan tanggung jawab terhadap dirimu sendiri," kat
Saat Gladis melihat Reska keluar dari lift, dia buru-buru mengalihkan perhatian Arsen. Dia langsung berbalik badan agar tidak ketahuan oleh Reska, mereka beruntung karena kondisi hotel lebih ramai dari hari biasanya. 'Tuh kunyuk satu pasti nyariin gue, karena gue bilang bakal balik ke hotel hari ini,' batin Gladis. Dan benar saja, ponsel Gladis kemudian berdering, telfon masuk dari Reska. Gladis tidak menggubrisnya, dia hanya melihat sekilas layar ponselnya itu. Wanita berambut coklat itu masih berdiri di depan Arsen sambil menhalau jalan sambil cengengesan. Setelah Reska pergi, Gladis menghembuskan nafas terasa lega. Tetapi dia masih was-was. 'Semoga gak ketemu si asisten itu, sudah cukup Reska yg bikin jantungan,' Gladis bermonolog sambil memasukkan ponselnya kedalam tas kecil yang di bawanya. Arsen kebingungan melihat gelagat aneh wanit
"Kenapa? sudah sampai di sini loh, ini tadi juga resto kamu yang pilih kan?" ucap Arsen membuat Gladis kehabisan kata-kata. "I-itu ... anu." Dia mencoba mencari alasan, melihat Arsen sambil tersenyum seperti bocah yang kehabisan akal. Sepertinya hari-hari yang akan datang Gladis tidak bisa tenang, karena kebohongan yang dia buat sendiri. Mulai dari dikejar Reska dan juga takut ketahuan Kevin, dan parahnya lagi saat ini mereka sedang diburu oleh Mr. X dan tentunya mata-mata Mr. X sangat banyak di luar sana. Entah apa yang akan terjadi padanya jika salah satu dari mereka behasil mengetahuinya. "Baiklah, tapi aku ingin duduk di situ," ujar Gladis sambil menunjuk meja kosong dengan posisi tertutupi tirai di bagian belakang kursi sehingga tidak terlihat dari tempat duduk Kevin. Jika ketahuan oleh Kevin, dia bisa langsung lari keluar karena posisi mereka dekat dengan
Dengan Reska yang kekeh masih ingin masuk, dan dengan sigap Gladis menghalangi di depan pintu agar Reska tak bisa masuk. Pintu yang sedikit terbuka dan di halangi oleh badan Gladis, Reska tetap mencoba mendorongnya tetapi tetap tidak bisa membukanya. "Apaan sih? mau masuk juga gak boleh," keluh Reska. "Udah mau bilang apa, cepetan di sini aja, mau masuk juga mau ngapain?" kata Gladis yang masih menahan pintu dengan badannya. Reska mulai menyelidik, dia terus bertanya, "Itu siapa sih?" "Apaan? kagak ada." "Terus yang ngomong di dalam itu tadi siapa? setan? atau anak jin?" ucap Reska sambil cemberut sudah seperti anak yang merajuk minta mainan. "Gak ada, kalo gak ada yang penting mending sana deh pergi jauh jauh, hush hush," usirnya kepada Reska dengan gerakan seperti mengusir anak itik. Tetapi pria bertubuh jangkung it
Pesan singkat masuk ke ponsel pria yang masih membuntuti Kevin. [Lenyapkan juga karyawan itu agar tidak menjadi beban saat dia kembali ke Jakarta nanti!] Setelah dia melihat isi pesan itu kemudian dia bergegas untuk melancarkan aksinya. Dia mulai mempercepat laju mobilnya, menyalip Kevin dan membunyikan klaksonnya bertubi-tubi dan aksinya itu membuat Kevin terkejut. Seketika dia membanting stirnya ke kiri. Pada saat itu kondisi jalanan sedang senggang, jadi aksi salip menyalip yang dilakukan pria tersebut berjalan dengan mulus. Naasnya Kevin malah terperosok ke jurang di kiri jalan, dia mencoba mengejar si pria tersebut tetapi ban mobil sudah terlanjur terlalu masuk ke kiri jalan. Dia mencoba menginjak rem, tetapi malah keliru pedal gas yang diinjak karena saking paniknya. Kemudian mobil Kevin menabrak pepohonan dan seketika itu mobil mengluarkan asap yang berasal dari depan b
Pelukan Arsan semakin erat, dan kini wajah arsen menjadi menempel ke tengkuk Gladis membuat dia semakin gusar tidak karuan. 'Ya Tuhan Tolong Aku! ini dia beneran tidur kan? kenapa nempel gini sih?' ucap Gladis dalam hatinya sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Arsen, untuk memastikan dia memang sudah tidur atau hanya pura-pura saja. Sebenarnya dia juga takut, karena ini kali pertamanya ia tidur satu ranjang dengan seorang pria. Jika sebelumnya dia sering bersama pria tapi tidak merasakan hal aneh yang mengusik hati dan pikirannya, seperti saat ini. 'Ini jamnya kenapa juga jadi lama banget sih? Kenapa nggak cepet-cepet ke pagi aja,' Gladis yang masih bermonolog dengan dirinya sendiri, sambil menatap jam dinding yang sepertinya lama sekali untuk berdetik. Yang semakin cepat berdetak adalah jantung Gladis, sudah seperti orang yang sedang lomba lari maraton. Karena lelah dengan
'Duh, dia Kapan bangunnya? tahu nggak ya, apa yang gue omongin?' batin Gladis takut kalau kebohonganya diketahui oleh Arsen. Gladis yang pikirannya sudah kalut, takut kalau Arsen marah. Dia mencoba menghampirinya, "Hei, morning." Sambil memeluk Arsen dari belakang, saat lelaki bertubuh kekar itu masih menyeduh kopi kemudian berbalik badan. Arsen mencium kening Gladis, seketika membuatnya terkejut dan heran. 'Kalau gue es krim ya, gue udah meleleh kalau kayak gini,' gumannya dalam hati. "Morning kiss," kata Arsen sambil menyodorkan segelas kopi kepadanya. "M-makasih." "Tadi siapa? kok, kaya marah-marah ke kamu," tanya Arsen yang kini mereka tengah duduk di meja makan. "Oh, itu tadi bosku, emang kamu dengar apa?" tanya Gladis memastikan. "Enggak sih, cuma denger sekilas aja terus pas aku keluar dia u