Saat Gladis melihat Reska keluar dari lift, dia buru-buru mengalihkan perhatian Arsen. Dia langsung berbalik badan agar tidak ketahuan oleh Reska, mereka beruntung karena kondisi hotel lebih ramai dari hari biasanya.
'Tuh kunyuk satu pasti nyariin gue, karena gue bilang bakal balik ke hotel hari ini,' batin Gladis.
Dan benar saja, ponsel Gladis kemudian berdering, telfon masuk dari Reska.
Gladis tidak menggubrisnya, dia hanya melihat sekilas layar ponselnya itu. Wanita berambut coklat itu masih berdiri di depan Arsen sambil menhalau jalan sambil cengengesan.
Setelah Reska pergi, Gladis menghembuskan nafas terasa lega. Tetapi dia masih was-was.
'Semoga gak ketemu si asisten itu, sudah cukup Reska yg bikin jantungan,' Gladis bermonolog sambil memasukkan ponselnya kedalam tas kecil yang di bawanya.
Arsen kebingungan melihat gelagat aneh wanita di depannya, "Kamu kenapa? kok gak di angkat, dari siapa?"
Yang ditanya hanya bisa nyengir kuda dan beralibi, "Ini gak penting, telfon spam aja kok."
"Udah ayo ke kamar aja, kamu kan masih harus banyak banyak istirahat" sambungnya lagi.
"Hemm, bilang aja kalau kamu mau berduaan sama aku" kata Arsen menggodanya sambil mencubit gemas pipi Gladis.
"Ih, apaan sih, gak lah, kan kamu masih sakit, jadi harus banyak banyak istirahat dong" sanggahnya.
Lalu mereka menaiki lift dan menuju ke kamar mereka, tetapi saat pintu lift terbuka terlihat Kevin mondar mandir di depan kamar dan tentu saja membuat Gladis spontan kaget dan panik.
'Baru aja dibatin di bawah udah seneng-seneng gak ada dia eh, gak taunnya malah nungguin di sini,' gumannya dalam hati.
"Emm, kita ke taman dulu aja ya," ajaknya kepada Arsen agar mereka tak bertemu dengan Kevin.
"Loh katanya mau istirahat?" jawab Arsen yang bingung dengan perubahan sikap dan gelagat Gladis.
Gladis melontarkan alibinya, agar Arsen tidak curiga kepadanya, "I-itu aku tiba-tiba pengen aja ke taman hotel, katanya taman hotel disini bagus, dan kita belum pernah kesana."
'Please setuju aja, jangan banyak tanya,' batinnya lagi.
Dia sangat cemas sampai sampai tanpa sadar dia menghalangi Arsen yang ingin keluar dari dalam lift, karena Gladis takut ketahuan oleh kevin.
Jarak lift ke kamar Arsen cukup dekat, tetapi posisi lift di pojok ruangan dan terhalang oleh tanaman besar yang di letakkan di tengah ruangan untuk dekorasi.
"Baiklah" jawab Arsen sambil mengangguk dan tersenyum.
Lalu mereka kembali ke bawah untuk menuju ke taman hotel, dan mereka duduk di ayunan sambil menikmati pemandangan. Gladis merasa lega untuk saat ini dia terbebas dari Reska maupun Kevin.
Tetapi dia masih merasa khawatir bagaimana jka nanti lagi dan lagi mereka harus bermain kucing-kucingan seperti ini karena takut ketahuan.
Sementara itu Reska masih mencoba menghubungi Gladis untuk memberi tau bahwa owner proyek memilih mereka untuk mengerjakan proyeknya kali ini.
Karena kubu dari Arsen tidak ada kabar dan tidak ada yang tau dia berada di mana, sementara Kevin sibuk mencari bosnya.
"Ah, akhirnya setelah sekian purnama," kata Reska begitu telfonnya diangkat oleh Gladis.
"Alah lebay lo, apaan sih? gangguin orang mulu kerjaannya."
"Lo di mana sih? tau gak gue habis meeting sendiri dan lo tau gak kita berhasil dapetin proyek kali ini."
"Ah, yang bener jangan bohong deh, gak mempan gue kalo lo kibulin."
"Ya Tuhan, ini anak curigaan banget, pake acara gak percaya."
"Paling juga ini alibi lo kan, supaya gue mau ketemu sama lo? ngaku deh?"
"Gue berani sumpah, bakal jomblo 5 tahun deh kalo bohong kali ini," jawab Reska yang selalu tidak dipercaya oleh Gladis, karena Reska memang pandai bersilat lidah.
"Mana buktinya?"
"Udah gue email tuh tanda tangan kontrak sama berkas berkasnya," kata Reska.
"Ini beneran?hahaha, yes" sambung Gladis sesaat setelah dia melihat email masuk di ponselnya dari Reska.
Dia merasa bahagia seperti menang lotre kali ini.
"Nanti kita ketemu di kamar lo deh, ada yang harus gue tanyain sama lo."
"Hemm," Lalu mereka mengakhiri percakapan mereka di telfon.
Arsen yang dari tadi duduk di ayunan sebelah Gladis terheran melihat ekspresi Gladis yang kegirangan setelah menerima telfon tersebut.
"Ada apa?" tanyanya penasaran.
"Ini aku dapat telfon dari bosku, katanya berhasil dapetin proyek yang aku inginkan di sini," jawab Gladis penuh semangat.
"Wah bagus dong, selamat ya sayang."
"Iya sama-sama," jawab Gladis sambil tersenyum kegirangan.
Tetapi setelah mendengar kata proyek Arsen seperti mengingat sesuatu dan kepalanya menjadi sakit. Dia berteriak sambil memegang kepalanya yang masih di balut perban, tentu saja membuat Gladis terkejut.
"Aarrgghhh!"
"Ada apa? apa terasa nyeri? pusing?" tanyanya dengan penuh perhatian kepada Arsen.
"Sekilas seperti mengingat sesuat tetapi tidak jelas".
Mendengar jawaban dan respon Arsen, Gladis jadi merasa bersalah. Dia hanya bisa mengeluhkan keadaan dalam hatinya.
'Andai lo gak hilang ingatan, pasti proyek ini lo yang dapet, maaf,' gumannya dalam hati.
"Laper nih cari makan yuk," ajak Arsen yang tak mau wanita di hadapannya menjadi khawatir kepadanya walau kepalanya masih terasa nyeri.
"Oke ayo, aku juga laper nih."
Kemudian mereka bergegas ke luar mencari restoran.
Tibalah mereka di resto dekat hotel, tetapi apesnya di sana ada Kevin yang terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Bisa di pastikan dia berbicara dengan seseorang dari kantornya untuk memberitahukan bahwa Arsen belum bisa di hubungi, serta tidak seorangpun tau keberadaannya hingga saat ini.
'Owh shit, lagi lagi asisten itu,' batin Gladis sambil menghentikan langkahnya.
"Emm, pindah resto aja ya," ucapnya kepada Arsen.
Dia tidak mau kalau Kevin sampi tau keberadaannya.
"Kenapa? sudah sampai di sini loh, ini tadi juga resto kamu yang pilih kan?" ucap Arsen membuat Gladis kehabisan kata-kata.
"Kenapa? sudah sampai di sini loh, ini tadi juga resto kamu yang pilih kan?" ucap Arsen membuat Gladis kehabisan kata-kata. "I-itu ... anu." Dia mencoba mencari alasan, melihat Arsen sambil tersenyum seperti bocah yang kehabisan akal. Sepertinya hari-hari yang akan datang Gladis tidak bisa tenang, karena kebohongan yang dia buat sendiri. Mulai dari dikejar Reska dan juga takut ketahuan Kevin, dan parahnya lagi saat ini mereka sedang diburu oleh Mr. X dan tentunya mata-mata Mr. X sangat banyak di luar sana. Entah apa yang akan terjadi padanya jika salah satu dari mereka behasil mengetahuinya. "Baiklah, tapi aku ingin duduk di situ," ujar Gladis sambil menunjuk meja kosong dengan posisi tertutupi tirai di bagian belakang kursi sehingga tidak terlihat dari tempat duduk Kevin. Jika ketahuan oleh Kevin, dia bisa langsung lari keluar karena posisi mereka dekat dengan
Dengan Reska yang kekeh masih ingin masuk, dan dengan sigap Gladis menghalangi di depan pintu agar Reska tak bisa masuk. Pintu yang sedikit terbuka dan di halangi oleh badan Gladis, Reska tetap mencoba mendorongnya tetapi tetap tidak bisa membukanya. "Apaan sih? mau masuk juga gak boleh," keluh Reska. "Udah mau bilang apa, cepetan di sini aja, mau masuk juga mau ngapain?" kata Gladis yang masih menahan pintu dengan badannya. Reska mulai menyelidik, dia terus bertanya, "Itu siapa sih?" "Apaan? kagak ada." "Terus yang ngomong di dalam itu tadi siapa? setan? atau anak jin?" ucap Reska sambil cemberut sudah seperti anak yang merajuk minta mainan. "Gak ada, kalo gak ada yang penting mending sana deh pergi jauh jauh, hush hush," usirnya kepada Reska dengan gerakan seperti mengusir anak itik. Tetapi pria bertubuh jangkung it
Pesan singkat masuk ke ponsel pria yang masih membuntuti Kevin. [Lenyapkan juga karyawan itu agar tidak menjadi beban saat dia kembali ke Jakarta nanti!] Setelah dia melihat isi pesan itu kemudian dia bergegas untuk melancarkan aksinya. Dia mulai mempercepat laju mobilnya, menyalip Kevin dan membunyikan klaksonnya bertubi-tubi dan aksinya itu membuat Kevin terkejut. Seketika dia membanting stirnya ke kiri. Pada saat itu kondisi jalanan sedang senggang, jadi aksi salip menyalip yang dilakukan pria tersebut berjalan dengan mulus. Naasnya Kevin malah terperosok ke jurang di kiri jalan, dia mencoba mengejar si pria tersebut tetapi ban mobil sudah terlanjur terlalu masuk ke kiri jalan. Dia mencoba menginjak rem, tetapi malah keliru pedal gas yang diinjak karena saking paniknya. Kemudian mobil Kevin menabrak pepohonan dan seketika itu mobil mengluarkan asap yang berasal dari depan b
Pelukan Arsan semakin erat, dan kini wajah arsen menjadi menempel ke tengkuk Gladis membuat dia semakin gusar tidak karuan. 'Ya Tuhan Tolong Aku! ini dia beneran tidur kan? kenapa nempel gini sih?' ucap Gladis dalam hatinya sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Arsen, untuk memastikan dia memang sudah tidur atau hanya pura-pura saja. Sebenarnya dia juga takut, karena ini kali pertamanya ia tidur satu ranjang dengan seorang pria. Jika sebelumnya dia sering bersama pria tapi tidak merasakan hal aneh yang mengusik hati dan pikirannya, seperti saat ini. 'Ini jamnya kenapa juga jadi lama banget sih? Kenapa nggak cepet-cepet ke pagi aja,' Gladis yang masih bermonolog dengan dirinya sendiri, sambil menatap jam dinding yang sepertinya lama sekali untuk berdetik. Yang semakin cepat berdetak adalah jantung Gladis, sudah seperti orang yang sedang lomba lari maraton. Karena lelah dengan
'Duh, dia Kapan bangunnya? tahu nggak ya, apa yang gue omongin?' batin Gladis takut kalau kebohonganya diketahui oleh Arsen. Gladis yang pikirannya sudah kalut, takut kalau Arsen marah. Dia mencoba menghampirinya, "Hei, morning." Sambil memeluk Arsen dari belakang, saat lelaki bertubuh kekar itu masih menyeduh kopi kemudian berbalik badan. Arsen mencium kening Gladis, seketika membuatnya terkejut dan heran. 'Kalau gue es krim ya, gue udah meleleh kalau kayak gini,' gumannya dalam hati. "Morning kiss," kata Arsen sambil menyodorkan segelas kopi kepadanya. "M-makasih." "Tadi siapa? kok, kaya marah-marah ke kamu," tanya Arsen yang kini mereka tengah duduk di meja makan. "Oh, itu tadi bosku, emang kamu dengar apa?" tanya Gladis memastikan. "Enggak sih, cuma denger sekilas aja terus pas aku keluar dia u
"Di mana arsen?" bentaknya dengan keras membuat Kevin seketika menjauhkan ponselnya dari telinga. Melinda adalah tunangan Arsen yang sebenarnya, tapi Arsen tidak mencintainya sama sekali. Mereka dapat tunangan karena perjodohan dari almarhum Ayah Melinda, dia salah satu Profesor di Universitas Indonesia. Guru sekaligus sahabat Arsen. Meski selisih usia mereka cukup jauh, namun mereka disatukan dengan kejeniusan yang mereka miliki. Karena sang Profesor hanya memiliki anak semata wayang Melinda, jadi dia menginginkan yang terbaik untuk anaknya termasuk menjodohkan Melinda dengan Arsen. 'mampus lo vin, badan masih sakit ; mobil remuk, tambah kuping bakal panas nih,' gerutunya dalam hati. Telepon dari wanita bermata sipit tersebut dapat dipastikan bahwa dia hanya akan memarahi Kevin, karena pria yang dicarinya tidak bisa dihubungi berhari-hari.
Setelah dia kembali ke meja untuk melanjutkan makan bersama Arsen, sebuah pesan masuk ke ponsel Gladis. [Dia siapa? biar aku cari tau] isi pesan masuk dari Steve. [Arsen Mahavir Putra, CEO Adyatama Group, tahu kan?] balas Gladis, tetapi sudah tidak mendapat balasan lagi. Sementara itu, Steve yang mengetahui siapa orang yang ditolong oleh adiknya. Dia merasa kesal dan kecewa, "Hah, si dosen gila itu? anak ini kenapa belum melepaskan seseorang yang membuatnya tersiksa sih." Lelaki bertato itu langsung tau dari namanya, karena dulu dia pernah berselisih dengan Arsen. Saat Gladis kuliah, jika tugasnya mendapat nilai nol pasti dia akan mengadu sambil menangis karena merasa dirinya yang paling bodoh. Tetapi mau tak mau, Steve harus melaksanakan perintah yang di berikan oleh Gladis. Karena dia tidak mau jika adik kesayangannya itu kecewa.
Dia mengarahkan pistol ke arah Gladis, "Hey, gadis kecil kau butuh pematik?" Dan .... Dor! Satu tembakan meluncur begitu saja, di arah kan tepat ke kepala gadis paras cantik itu. Jarak antara Gladis dengan pria itu berdiri tidaklah terlalu jauh tapi Gladis, dengan gesit dapat menghindari tembakan itu. "Hahaha, oops ...," tawa Gladis dengan nada mengejek. "Sialan kau gadis j*lang!" seru si pria dengan mata melotot. Dia merasa diremehkan oleh gadis kecil yang membuatnya semakin meradang. Lagi, pria itu mengarahkan pistolnya ke arah Gladis. Dengan Sigap, Gladis menendang tangan yang sedang memegang senjata api itu. Pistol itu terlepas dan terlempar dari genggaman pria berkulit kecoklatan itu, dan dengan cepat pula pistol itu kini sudah berpindah ke tangan Gladis. "Sekarang giliranku kan?" tanyanya sambil seny