"Di mana arsen?" bentaknya dengan keras membuat Kevin seketika menjauhkan ponselnya dari telinga.
Melinda adalah tunangan Arsen yang sebenarnya, tapi Arsen tidak mencintainya sama sekali. Mereka dapat tunangan karena perjodohan dari almarhum Ayah Melinda, dia salah satu Profesor di Universitas Indonesia.
Guru sekaligus sahabat Arsen. Meski selisih usia mereka cukup jauh, namun mereka disatukan dengan kejeniusan yang mereka miliki.
Karena sang Profesor hanya memiliki anak semata wayang Melinda, jadi dia menginginkan yang terbaik untuk anaknya termasuk menjodohkan Melinda dengan Arsen.
'mampus lo vin, badan masih sakit ; mobil remuk, tambah kuping bakal panas nih,' gerutunya dalam hati.
Telepon dari wanita bermata sipit tersebut dapat dipastikan bahwa dia hanya akan memarahi Kevin, karena pria yang dicarinya tidak bisa dihubungi berhari-hari.
Setelah dia kembali ke meja untuk melanjutkan makan bersama Arsen, sebuah pesan masuk ke ponsel Gladis. [Dia siapa? biar aku cari tau] isi pesan masuk dari Steve. [Arsen Mahavir Putra, CEO Adyatama Group, tahu kan?] balas Gladis, tetapi sudah tidak mendapat balasan lagi. Sementara itu, Steve yang mengetahui siapa orang yang ditolong oleh adiknya. Dia merasa kesal dan kecewa, "Hah, si dosen gila itu? anak ini kenapa belum melepaskan seseorang yang membuatnya tersiksa sih." Lelaki bertato itu langsung tau dari namanya, karena dulu dia pernah berselisih dengan Arsen. Saat Gladis kuliah, jika tugasnya mendapat nilai nol pasti dia akan mengadu sambil menangis karena merasa dirinya yang paling bodoh. Tetapi mau tak mau, Steve harus melaksanakan perintah yang di berikan oleh Gladis. Karena dia tidak mau jika adik kesayangannya itu kecewa.
Dia mengarahkan pistol ke arah Gladis, "Hey, gadis kecil kau butuh pematik?" Dan .... Dor! Satu tembakan meluncur begitu saja, di arah kan tepat ke kepala gadis paras cantik itu. Jarak antara Gladis dengan pria itu berdiri tidaklah terlalu jauh tapi Gladis, dengan gesit dapat menghindari tembakan itu. "Hahaha, oops ...," tawa Gladis dengan nada mengejek. "Sialan kau gadis j*lang!" seru si pria dengan mata melotot. Dia merasa diremehkan oleh gadis kecil yang membuatnya semakin meradang. Lagi, pria itu mengarahkan pistolnya ke arah Gladis. Dengan Sigap, Gladis menendang tangan yang sedang memegang senjata api itu. Pistol itu terlepas dan terlempar dari genggaman pria berkulit kecoklatan itu, dan dengan cepat pula pistol itu kini sudah berpindah ke tangan Gladis. "Sekarang giliranku kan?" tanyanya sambil seny
Gladis berjalan menuju ke kamar mandi, tetapi terhenti karena pertanyaan dari Arsen yang membuatnya terkejut. "Boleh nggak mandi bareng?" tanya Arsen dengan polosnya, seketika membuat wajah Gladis merona. pertanyaan yang direspon dengan gelak tawa oleh Gladis sambil mengibas-ngibaskan tangannya seperti orang kegerahan. "Ya, gak boleh lah." "T-tapi aku melihatnya tadi di TV ada anak mandi bareng kok." "Beda dong, kamu kan udah gede, gak malu apa?" "Oh, tapi kenapa wajahmu menjadi semerah itu?" "G-gak papa," jawab Gladis malu sambil balik badan. Dia berlalu meninggalkan pria yang masih duduk di depan tv itu, sambil berguman sendiri. "Duh, santainya yang ngasih pertanyaan kaya bocah gak tau apa-apa aja, otak gue jadi traveling kemana-mana kan." Sementara itu, suasana di ruma
Sebelumnya dia sudah mengira jika ayahnya pasti akan menanyakan perihal tersebut, tetapi dia tidak menyangka akan secepat itu 'Alasan apa yang harus aku katakan? aduh gawat ini kalau sampai daddy tau semuannya.' "A-aku sibuk dengan sesuatu." "Apa yang kau lakukan di sana?" "Ini sebuah investasi di bidang furnitur dan ini juga rencana Gladis kau bisa bertanya kepadanya." Steve memang anak seorang mafia, tetapi dia tidak bisa menggunakan uang dengan seenaknya sendiri. Karena bagaimanapun mereka semua terorganisir. "Oke tidak masalah ini seperti memiliki investor baru dan kamu tidak perlu uang keluarga kan?" Steve mulai mengelak, dia tidak mau jika ayahnya menghentikan seluruh fasilitas yang ia dapatkan selama ini. "N-no daddy bukan seperti itu, ini semua aku gunakan untuk membelikan barang-barang kep
Jenni hanya terkekeh melihat ekspresi sahabatnya itu. "Paling seneng emang kalau jahilin kamu." "Udah ya, gue udah dijemput sama anak setan, kalau lo udah balik kabarin gue ya," ucap Reska ditelepon kemudian matikan sambungannya. Reska yang saat ini sudah pulang sampai ke rumahnya, tetapi ketika hendak turun dari mobil dia di cegah oleh Jenni. Dia penasaran oleh apa yang sebenarnya terjadi kepada dua sahabatnya itu di Bali, sehingga membuat mereka tidak pulang bersama-sama. Jenni juga penasaran kenapa bisa Reska seperti tidak digubris oleh Gladis, biasanya mereka seperti anak dan ibu yang selalu menempel ke sana kemari. "Tunggu!" Reska mendengus kesal, sudah ingin membuka pintu mobil tetapi diurungkan lagi niatnya. Sementara Jenni menahan tangan Reska. "Gue butuh penjelasan." "A-apa sih, udah kayak gue hamilin a
"A-ada satu hal yang menurutku sangat aneh?" "Hhmm, apa itu?" "Kenapa kau seperti agak menghindar dan membuat jarak denganku? apa semua pasangan kekasih seperti ini?" Gladis tertegun mendengar pertanyaan pria tampan itu, sebenarnya ia merasa canggung jika berada di dekatnya. 'Please, jangan mulai lagi,' batinnya. Gladis mendekatinya, dia tersenyum melihat Arsen dan jawaban Gadis cantik itu malah membuat lawan bicaranya semakin bingung. "Jawaban apa yang ingin kau dengar? kebohongan atau kejujuran?" "Bagaimana jika aku memilih kebohongan? apa yang akan kamu katakan?" "Aku akan mengatakan bahwa ..., aku tidak ingin terlalu dekat denganmu sebelum kamu benar-benar pulih, karena mungkin jika nanti kamu sudah sembuh, aku takut dipermainkan oleh kenyataan." "T-takut?" Lagi, Gladis hanya tersenyum, dia menggengg
"Ih, ya sakit lah," rengek Gladis manja, tapi tiba-tiba dia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. "Permi ...." Belum selesai ucapan pramuniaga tersebut harus terhenti karena terkejut, Gladis tiba-tiba menarik tangan penjaga toko yang menepuk pundaknya. Hampir saja pramuniaga itu terjatuh. "Aduh, mbak maaf reflek, nggak papa kan?" "Ng-nggak papa mbak, silakan memilih dulu," jawab pramuniaga tersebut sambil memegangi tangan yang mungkin terasa nyeri. Arsen hanya melongo menyaksikan spontanitas yang dilakukan Gladis. Selama ini ia mengira jika wanita yang kini di cintainya itu sangat lemah lembut dan kalem, karena kepribadian yang ditunjukkan Gladis kepada Arsen selama ini. Untuk memecah suasana canggung di antara mereka bertiga, Gladis menarik ujung baju Arsen. "Sayang, mau beli yang mana?" &nbs
Mereka berdua hendak masuk ke dalam rumah berlantai dua itu, Gladis membuka pintu dan Arsen masih melihat sekeliling. "Ayolah ...," ajak Gladis sambil menggandeng Arsen. Wanita cantik tersebut dibuat kagum dengan suasana rumahnya saat ini, dia tidak menyangka kakaknya benar-benar mengabulkan permintaan konyolnya itu. Dia melihat barang-barang berpasangan tersusun selaras dan rapi, 'kakakku memang hebat, ia selalu bisa diandalkan,' batinnya. "Apakah ada sesuatu yang kau ingat?" tanya Gladis pada pria yang sedari tadi hanya melihat-lihat sekeliling. Arsen hanya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, kita coba pelan-pelan saja jangan terlalu di paksakan." Arsen dituntun wanita cantik itu menuju lantai atas, mereka memasuki ruang baca yang diubah sedemikian rupa, dengan rak buku besar serta tatanan buku yang sangat rapi dan satu ranjang yang sudah disiapkan oleh Steve. "Ini ...?