Share

7 Ramadhan Tanpamu
7 Ramadhan Tanpamu
Penulis: TheCalm

Pertama Ramadhan Tanpamu

Betul, penghuni di atas muka bumi ini tidak semuanya beruntung bisa berkumpul bersama keluarga setiap hari atau momen tertentu. Apalagi di saat munggahan yang sudah mentradisi di tempat kelahiran wanita bernama Zeira Marhamah berusia 26 tahun, ialah Jawa Barat. Kehidupan wanita ini memang disebut unik serta dominan itu terlihat dari beberapa sudut pandangan orang-orang sekitar dirinya tinggal. Wajah berbentuk mungil, hidung mancung serta mata bulatnya seperti boneka, terlebih lagi lentik bulu matanya memastikan kalau Zeira wanita berparas cantik. Belum lagi tubuh sintal menyempurnakan ciptaan Allah ini, serta tingginya seperti layaknya foto model yang hilir mudik di depan layar kaca.

Munggahan adalah tradisi berbagi makanan sebelum malamnya selepas isya adalah dilaksanakannya sholat tarawih. Ya, itulah malam menjelang 1 Ramadhan. Wewangian makanan ke luar dari dapur-dapur para tetangga yang akan berbagi serta untuk sajian berkumpulnya semua sanak keluarga. Akan tetapi, berbeda di dalam rumah Zeira, ibu muda beranak satu ini dapurnya masih bersih rapi serta tak ada tanda-tanda akan memasak. Anak kecil berjenis kelamin laki-laki yang diberi nama Zidan Nurrahman, baru menginjak 1 tahun bulan febuari nanti ini tak menuntut banyak, pasalnya dia pun tidak mengerti apa-apa selain minum susu serta makan nasi serta lauk pauk yang di-steam.

Para tetangga yang sangat asing di tempat dia tinggal pun nampaknya tidak mempedulikan itu. Zeira tinggal di kota ini memang baru setelah suaminya menyuruhnya pulang. Sebab Zeira ini diketahui sebagai istri dari lelaki asal Padang yang mereka tadinya sama-sama merantau di kota Jakarta. Alasan disuruh pulang karena besarnya biaya kehidupan tak sesuai dengan pendapatan, terlebih lagi setelah Zeira berhenti bekerja. Menerima serta pasrah, Zeira hanya menurut apa yang diperintahkan suaminya.

Hiasan lampu-lampu di kota Tasikmalaya ini begitu indah bagi yang melihatnya, hiasan bulan sabit berkelap kelip mengitari sisi-sisinya. Suara bedil bleson terdengar memekakan telinga yang dimainkan oleh anak-anak kampung ini. Zeira di dalam ruang tamu rumah petak yang disewanya ini hanya terdiam sembari memberi asi anaknya. Bulan ramadhan ini adalah bulan pertama setelah menikah. Jauh dari keluarga suami terlebih lagi keluarga semuanya merupakan saudara tiri peninggalan dari ayahnya.

"Bang, pulanglah! Walaupun hanya punya uang sedikit," bujuk Zeira memelas pada suaminya, mereka berbicara lewat telepon genggam.

"Nanti aku kembali ke sini dengan jalan kaki?" adalah jawaban realiti Nizam Fadlan.

Nizam Fadlan adalah suami dari Zeira Marhamah, dia seorang sarjana ekonomi yang telah di PHK dua kali oleh dua perusahaan penyebabnya adalah pengurangan karyawan. Wajah manisnya tak semanis nasibnya. Postur tubuhnya tinggi walaupun badannya tidak atletis akan tetapi masih enak dipandang. Nasibnya memang tidak seperti gelar ataupun parasnya. Kurang beruntung adalah tepat disandang olehnya dari dia lulus kuliah hingga kini. Karena sebagai manusia dia sudah cukup bersabar serta berikhtiar dan melakukan kewajiban sesuai kemampuannya.

"Nanti pulangnya jual saja cincin kawin, Bang. Daripada Adik di sini seperti tak memiliki suami." Lagi-lagi Zeira memelas.

Nizam meninggikan suaranya bermaksud agar Zeira tidak manja dan menerima keadaan, "Zeira! Biasakan prihatin dan tidak kolokan, ya! Abang nanti pulang pertengahan puasa kalau jualan Abang mencapai target!" Sebetulnya Nizam sangat sedih mengatakan pada istri tercintanya ini. "Sudah dulu, nanti pulsa Abang habis, nanti tidak bisa menelpon kostumer. Assalamu'alaikum," sambungnya kemudian sembari menutup telepon. Ya, posisi Nizam sekarang ialah seorang sales susu kotak di perusahaan ternama, akan tetapi masih kontrak.

Zeira hanya bergeming serta tak berucap sepatah kata pun. Kemudian dia beranjak ke luar dari petak seharga 450 ribu per bulan ini dan memetik kangkung yang ditanamnya beberapa minggu lalu. Apa daya Zeira yang hanya lulusan D1 perkantoran ini sudah menganggur selama setahun akan menikmati tumis kangkung untuk sahur nanti ditemani nasi serta seorang diri pastinya. Zeira bukan pasrah, namun sekarang dia sedang menerima nasibnya.

Lalu, bagaimana kelanjutan hidup Zeira serta Nizam?

***

Tasikmalaya yang terkenal kota santri serta sejuk udara menambah kesyahduannya terlebih lagi suara tabuhan bedug ciri khas untuk membangunkan warga bersahur. Itu pun menemani Zeira bersantap sahur seorang diri, air matanya mengalir tak terbendung membasahi pipinya. Tatkala deraian air mata itu menandakan kesedihan hidup seorang diri pada momen yang sekiranya disebut kebanyakan orang lain waktu untuk keluarga berkumpul, terlebih lagi suami.

"Hhh!" deruan napas kasar ditarik dari pernapasan Zeira dan ke luar melalui mulutnya.

Kedua tangannya sibuk membereskan piring setelah santapannya selesai. Beserta menyeka kasar tangisannya yang enggan berhenti itu. Dentingan telepon genggam jadulnya membuat aktivitasnya berhenti. "Siapa sepagi ini menelpon?" tanyanya pada diri sendiri serta dengan cepat mengambil telepon genggamnya. Setelah diperiksa ternyata yang tidak dikenalinya menelpon, "Assalamu'alaikum, siapa ini?" sahutnya bernada parau karena hasil dari menangis tadi.

"W*'alaikumsalam, ini nomor Neng Zeira?" sahut Si Penelpon yang belum diketahui namanya di ujung telepon sana.

"Betul, Bapak siapa ya?"

"Gini Neng, nama Bapak Adam disuruh ibu Neng menelpon. Ibu Neng sakit." Beritahunya dengan suara agak berbisik.

"Walaupun ibu tiri, setidaknya dia pernah mengurus Neng sebelum Neng menikah." Imbuhnya kemudian namun ucapannya masih berbisik.

Adam adalah ketua RT di mana ibu tiri Zeira tinggal serta tepatnya Zeira dibesarkan, Sukabumi. "Halo, Neng." Teriakan Adam membuat Zeira tersadar dalam keterpakuan karena mendengar pernyataan darinya.

"Iya, Pak. Nanti Zeira usahakan pulang," ujarnya tak yakin.

"Jangan diusahakan, tapi harus!"

"Insya Allah!"

"Ya sudah Neng, Bapak tutup ya. Assalamu'alaikum!"

Zeira menutupnya sembari membalas salam dan bergumam, "Buat makan sekarang ini aku susah, bagaimana aku harus pergi menengok ibu?"

Sudah terbayang di dalam pikiran Zeira jika menggunakan bis ke sana. Biaya tiket bis dari Tasikmalaya ke Sukabumi setidaknya harus mengeluarkan uang 200 ribuan. Belum lagi ke sana setidaknya harus membawa oleh-oleh dan uang buat ibu. Apalagi dia dalam keadaan sakit. Pikiran Zeira bekerja keras hingga dirinya lupa untuk minum setelah makan tadi. Suara imsak sudah terdengar dari mesjid sekitar kontrakan Zeira. Dia pun bergegas mengambil gelas lalu menuangkan air putih ke dalamnya dan meminumnya. "Duh, di mana aku harus mencari uang sebanyak 500 ribu untuk menemui ibu?" desah dilema sembari melirik ke arah cincin kawin 2,5 gram ini dengan nominal kurang lebih 1,250.000 ini. "Jual cincin ini atau aku jujur saja kalau aku tidak mampu untuk menemuinya?" ucapan keraguan berdesis di antara benturan piring dan sendok yang sedang dicucinya.

Zeira bimbang pada kenyataannya kendati suaminya menolak pulang terlebih lagi karena tawarannya untuk menjual cincin kawin harta berharga satu-satunya yang dimiliki. Sedang keterpakuannya suara adzan menggema membuat dirinya bergegas untuk menunaikannya. Tempat curahan hati kala bimbang adalah bersujud pada Empunya Jiwa. Ya, tatkala itu yang paling mujarab untuk meminta petunjuk dari-Nya. Setelah sholat Zeira membuka pintu rumah, matanya memusat ke arah upuk timur dengan langit yang mulai mengeluarkan warna orange bersamaan masuknya semilir angin sejuk. Hari ini diprediksi bumi Tasikmalaya akan cerah.

"Neng, tak baik diam di tengah-tengah pintu!" sapa Mak Iyem tetangga sebelah sambil tersenyum ramah.

"Eh, Mak. Mau cari kayu bakar?" Zeira membuyarkan lamunannya disertai melangkahkan kakinya ke luar pekarangan kontrakan.

"Iya, biasa, Neng." Jawaban Mak Iyem sambil berlalu.

Mak Iyem adalah tetangga Zeira yang rumahnya sebrang kontrakannya dan dia adalah tetangga paling asik menurut Zeira. Asiknya adalah dia menyapa namun tak berdesis di belakangnya. Dari kata lain Zeira yang sudah berjauhan dengan suaminya hampir 5 bulan semenjak pindah ini selalu saja menjadi dipergunjingkan. Ya, wanita sendiri tanpa keluarga serta suami akan diperhatikan makhluk sosial lain karena lumrahnya.

"Ya, sudah aku mau jual saja cincin ini. Separuhnya aku pakai untuk makan sehari-hari!" akhirnya Zeira memantapkan niatnya karena dia tidak mungkin minta uang dari suaminya sekarang, terlebih lagi persediaan susu serta beras pun sudah habis."

Pukul 08: 00 pagi, Zeira sembari menggendong Zidan pergi ke pasar naik becak dari gang hingga toko mas yang jauhnya ada sekitar 1.5 kilometer. Tak menyita waktu banyak abang tukang becak sudah menghentikan becaknya tepat di Toko Emas Surya. Padahal entah di mana Nizam dulu membelinya. "Terima kasih, Mang." Ucap Zeira sambil memberikan uang sebesar 5000 rupiah pada Abang becak.

"Neng, harga ini zaman sebelum proklamasi bukan zaman milenium seperti sekarang." Abang becak menggerutu sembari mengacungkan uang 5000 tersebut.

Zeira menjawab bernada lirih dengan wajah menunduk, "Mang, hanya itu yang saya punya. Atau, Mamang tunggu sebentar, saya mau ke toko emas dulu."

Mang becak hanya diam dan tak menjawab apa-apa. Sedangkan Zeira bergegas masuk ke dalam toko emas dan mengutarakan maksudnya. Selang beberapa saat pemilik toko emas ke luar dengan memberikan penawaran, "Aku hargai 950.000 rupiah! Setuju?" Mendengar itu Zeira mengernyitkan dahinya karena diluar penaksirannya. "Pak, ini emas 90 karat takarannya, waktu suamiku membelinya senilai 450.000 per gram. Itu sudah hampir 3 tahun. Ini cincin kawin, Pak." Pak pemilik toko memberikan kembali cincin itu, "Kalau tidak setuju, ya sudah. Aku tidak bisa membayar lebih!" ujarnya. "Tolonglah, Pak. Setidaknya berikan saya harga yang wajar, saya ini lagi kesusahan." Zeira memelas minta belas kasihan.

"Neng, aku sudah menunggu di sini lebih dari 10 menit! Tolong cepat berikan 8000 lagi!" Teriakan Mang becak membuat pikiran Zeira panik dan kacau balau. "Ayolah, Pak. Saya minta dihargai setidaknya 1,250.000. Mohon, Pak!" Zeira memelas agar setidaknya harganya tidak dibawah penafsiran harga emas sekarang, menurutnya harga emas akan naik sesuai harga sekarang. Terlebih lagi cincin kawinnya ini masih mulus tanpa cacat.

Bapak pemilik toko kekeh dengan pendiriannya, "Tidak!"

Ya, karena di sini ini hanya dua toko emas yang berjualan. Mata Zeira pun melirik ke arah toko emas di sebrangnya dan berucap, "Ya, sudah. Saya coba ke toko lain." Zeira bergegas melangkah ke arah toko Tiara Murni. "Mbak, coba mau berikan harga berapa untuk ini?" Zeira langsung menanyakan penawaran pada penjaga yang masih muda serta cantik ini. "Sebentar, ya Mbak. Biar saya cek terlebih dahulu!" jawabnya dengan cepat tangannya mengambil kotak berisi cincin itu. Lima menit berlalu, si Mbak kembali menghampiri Zeira serta menjelaskan, "Saya hargai, 1,500.000. Karena harga emas untuk hari ini 600,000."

Subhanallah Maha Suci Allah dengan segala isinya. Zeira terperangah mendengar ucapan dari Si Mbak. "Saya setuju sekali, Mbak." Ujarnya tanpa berpikir panjang disertai senyuman lebar. Sesaat jeda satu detik Zeira mengucapkan persetujuan, Si Mbak berbicara. "Mbak, bukannya lebih baik digadai saja? Bukannya ini cincin kawin?"

Zeira tersentak mendengar ucapan dari Si Mbak, "Tapi, bagaimana kalau tidak bisa menebusnya, Mbak? Kalau digadai dapat berapa?"

"Mbak, bukan orang sini, ya?" tanya Si Mbak sambil menghitung uang lalu diberikan pada Zeira. "Ini, 1,500.000. Saya minta fotokopi KTP, Mbak." Tambahnya.

Zeira mengambil uang serta memasukan uang tersebut ke dalam dompetnya. Setelah diambil sebesar 100,000 rupiah. Sedangkan reaksinya heran kenapa Si Mbak minta fotokopi KTP-nya ini. Sementara Si Mbak langsung menjelaskan, "Syarat gadai hanya KTP saja. Waktunya enam bulan."

Zeira tersenyum getir dan memberikan foto kopi KTP-nya walaupun dirinya tidak yakin bisa menebusnya kembali. Setidaknya Zeira tidak kehilangan hampir separuh harga emasnya. "InsyaAllah, ya Mbak."

Dibalas Si Mbak hanya melirik dan memandang lembut wajah Zidan yang sedang tertidur di pangkuan Zeira.

"Mbak, setengah jam aku di sini! Mau bayar nggak?" teriak Mang becak.

"Iya, Pak. Sebentar...."

Sebelumnya dia menanyakan, "Punya uang receh?"

Si Mbak mengangguk serta memberikan uang receh sebanyak 50,000 dan memberikannya.

"Terima kasih banyak, Mbak."

Si Mbak mengangguk kembali.

Zeira cepat sekali menghampiri Mang becak dan memberikan uang 10,000 rupiah, "Tak usah dikembalikan." Lirihnya. Dan dibalas ketus oleh Mamang, "Masa iya, hanya 2,000 perak masih mau kembalian, aku nunggu hampir sekarat!"

"Maaf, Mang!" desis Zeira, namun si Mamang tak menghiraukannya.

Zeira pun langsung menuju angkot bermaksud untuk ke terminal bus. Duduk di dalam angkot, akan tetapi pikirannya pada Si Mbak tukang pemilik ataupun penjaga yang menurutnya sangat jujur dan jarang untuk zaman sekarang. "Semoga kebaikanmu Allah membalasnya. Aamiin." Gumamnya sambil memegang tangan Zidan dan meriah telepon genggamnya bertujuan untuk meminta izin dari suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status