Lebaran hampir usai. Seluruh keluarga di kampung dan rumah-rumah bersuka cita. Akan tetapi berbeda di dalam rumah sederhana milik Zeira, wajah cantiknya ditekuk murung. Kendati uang yanga ada di tangannya tidaklah sedikit jumlahnya. Bisa saja dia menggunakan uangnya untuk berlibur demi mengurai kesedihannya. Sepertinya tidak berpengaruh bagi Zeira materi untuk sekarang ini. Telepon pintarnya diperhatikan pada semua media, dari percakapan, pesan dan telepon masuk. Dia ingin meyakinkan kalau suaminya mengabari. Inisiatif untuk pergi ke agensi di Jakarta pun telah bermain di dalam sanubarinya. Itu adalah jalan satu-satunya menilik jejak Nizam. "Aku akan ke sana setelah lebaran, semoga saja ada titik terang." Pikirnya sembari menyelinap masuk ke dalam kamarnya karena waktu sudah malam. Pukul 02 : 45 menit. Tepatnya jarum pendek jam dinding rumah Zeira menunjukan ke arah angka 3 dan jarum panjangnya ke arah angka 9. Di mana tepat sekali kedua mata bulat Zeira mulai terbuka. Sudah terbiasa
Sore setelah pengusiran oleh Burhan dari kantor agensi, Zeira langsung ke perusahaan di mana suaminya bekerja sebelum pergi bersama Angel. "Pak, saya ingin ketemu dengan Pak Ruly Bachtiar. Saya Zeira istrinya Nizam Fadlan." Beritahu Zeira dengan wajahnya nampak sayu dan kelelahan. "Tuhan! Kamu ini Mbak Zeira?" Tommy tiba-tiba menyelonong dan menepis tangan satpam yang sedang me-investigasi Zeira. "Iya. Saya Zeira." Singkat wanita sambil menggendong bayi ini. "Aduh, Mbak. Mbak ke sini ada apa?" tanya Tommy tanpa ragu mengambil tas yang dijinjing Zeira dan menuntunnya ke arah gudang. "Mau meyakinkan kalau Bang Nizam benar-benar tidak ada di Jakarta." Pemberitahuan Zeira membuat Tommy terperanjat, "Mbak tidak tahu kalau Nizam ke Belanda?" "Tahu. Tapi, dia tidak ada kabar sama sekali...." Zeira pun menjelaskan kronologi kepergian Nizam pada Tommy. Jelas saja itu semua membuat lelaki asal Medan ini berasumsi spontan, "Astaga Nizam ini mungkin dibawa oleh Angel dan kawan-kawanny
Tommy sudah ada di depan penginapan syariah yang masih di wilayah sekitar agensi. Sepeda motor pun sudah diparkirkan di halaman penginapan tersebut. Pikiran Tommy pada apa yang telah dituturkan Zeira. "Kalau ada apa-apa kasih tahu saya." Tommy menawarkan penuh simpati. "Terima kasih, Bang!" ucap Zeira dengan wajah datar karena kejadian yang telah dialaminya telah membuat dirinya sedikit cemas serta takut. Zeira masuk ke dalam lobi penginapan dan mendekat ke arah resepsionis. Sementara Tommy masih menunggu di depan. Dia hanya mengantisipasi jika ada hal yang tidak diinginkan seperti tadi menimpa Zeira dibarengi tangannya dengan mencoba mengirim beberapa pesan serta membuka e-mailnya bermaksud untuk mengirim e-mail ke pada Nizam. "Kau di mana, Zam? Anak bini kau mencari-cari!" desisan spontannya. Pesan e-mail ditunggunya hingga beberapa menit. "Masa iya kau nih secepat itu melupakan istri? Kau ini setahuku bukan seorang bajingan. Di mana kau ini?" Tommy masih dengan desisannya. Sekar
Mendengar gertakan Zeira seperti itu Azyumardi pun berbicara lantang, "Wanita berkelas serta memiliki dedikasi tinggi itu tak akan mau menikah dengan lelaki yang kedua orang tuanya tidak menyetujui. Karena wanita tersebut mengetahui menikah itu bukan hanya menikahi suaminya saja, melainkan pada seluruh keluarganya. Paham itu kamu? Coba dengan kamu nekad seperti itu apa kamu didatangi mertuamu?" Hendak Zeira membuka suaranya Azyumardi kembali berbicara, "Kamu tidak merasa aneh kalau kamu menikah tapi tak pernah berkunjung ke mertua dan mertuamu pun tak pernah mau tahu kehidupanmu? Kamu tidak merasa sakit hati?" Zeira bergeming. Bibirnya bergetar, lidahnya kelu. Kata-kata pun seolah tertahan di kerongkongannya. Suasana menjadi sangat hening beberapa detik. Kemudian tiba-tiba suara Zeira pelan sekali keluar, "Mbak, saya hanya memberitahukan saja. Juga, beritahu ibu dan ayah akan kejadian ini. Assalamu 'alaikum." Hendak saja Zeira menutup teleponnya Azyumardi menyela, "Kamu jangan terla
"Kamu yakin Zeira punya uang atau perhiasaan? Aa yakin itu hanya foto-foto lama saja sama surat tanah!" Arman meyakinkan itu pada istrinya."Apa salahnya kita lihat dan buktikan!" jawab Neni sambil berjalan ke arah jalan setapak."Kamu mau ke mana?" pekik kasar Arman."Aa mau kelaparan hari ini?" ketus Neni dan masih melanjutkan langkahnya. Iya, Neni suami tak kerja jalan satu-satunya minta bantuan orang tuanya. Itulah Neni. Rumah orang tua Neni memang hanya terhalang 10 rumah saja dari rumah suaminya, beda gang akan tetapi masih satu RT."Mak...Mak...." Datang-datang Neni langsung berbising dengan kemanjaannya."Apa?" Mak Arfiah langsung menyambut anak bungsunya itu. "Suamimu nganggur? Tak ada uang? Tak ada beras?" tambahnya menebak kebiasaan Neni kalau sepagi ini mendatanginya. "Sudah Mak bilang dari dulu jangan mau sama Si Arman, Bapaknya saja dulu malas-malasan dan menurunlah sama anaknya!" Mak Fiah masih menggerutu kendati dia cekatan sekali mengambil beras yang ada di dalam gento
Tommy sekarang setidaknya memahami keadaan rumah tangga Nizam. 'Pantas saja dia tidak membiarkan istrinya tinggal di Padang. Padahal lebih aman seatap dengan orang tuanya daripada mengontrak seorang diri, ternyata itu permasalahannya.' Enigma itu akhirnya terpecahkan dan mengerti semuanya seiring dengan batinnya yang bergaduh pandangannya pun sekarang menyorot ke arah wajah lugu Zeira kemudian pada Zidan. "Hidup kalian sekarang hanya berdua saja, Mbak?" tanyanya pelan. "Iya berdua." Singkat Zeira sambil mengeluarkan uang sebesar 5 juta rupiah kemudian diberikan ke pada Tommy. "Usahakan cari penginapan yang wajar ya, Bang. Agar setidaknya tidak terlalu membengkak dananya." Sambung Zeira dengan menghela napas panjang. 'Uang yang semestinya untuk modal usaha malah untuk mencarimu, Bang. Ini mengartikan tidak ada keberkahan pada uang yang cukup ini.' Ucapan yang membeku di dalam hati Zeira menambah sesak dadanya. Tommy bergeming melihat tumpukan uang yang sudah tertata di dalam amplop
"Tadi saya disuruh bibi saya untuk mengantar sepupu ke tempat badminton. Nah, makanya punya helm perempuan." Tommy menjelaskan dengan tegas, sementara tangannya mulai men-starter motornya. Motor Tommy memang sangat besar walaupun tidak seperti milik suaminya. Motor keluaran baru itu membuat Zeira agak susah menaikinya dan bahkan harus rapat sekali di belakang Tommy. "Bang, Zeira pakai busway saja, ah. Gak nyaman!" Zeira mulai protes. Waktu itu Zeira menumpang karena sambil menggendong Zidan. Jadi, dia tidak langsung bersentuhan. Sekarang berdeda. Dadanya hampir menyentuh punggung Tommy. "Kalau naik busway sekarang, sampai jam berapa ke sana? Lalu pulang naik apa? Tidak mungkin dengan busway lagi karena batasnya hingga pukul 19:30 saja." "Cepatlah, naik!" Tommy menoleh ke arah Zeira yang masih mematung di belakang jok motor. Pelan, dia pun berusaha naik ke atas jok motor. Kemudian tangannya memegang bahu Tommy. Sekarang Zeira pun sudah duduk tepat di belakang Tommy. Tak menunggu
Espresso bercampur cream yang ada di dalam cangkir mungil pun diambilnya kemudian diteguknya perlahan. Mata Tommy tak berkedip melihat cara-cara Zeira seperti itu dan menurutnya sangat menawan. Sepintas mata Rizal pun melirik ke arah pandangan Tommy yang sedang memperhatikan Zeira. Secara bersamaan Revina pun melirik calon suaminya. Seolah ingin menyampaikan sesuatu akan apa yang sedang terjadi. "Ehem," Rizal berdehem. Sedangkan tangannya sibuk membuka beberapa dokumen milik Munandar, dari fotokopi KTP dan beberapa berkas lainnya. "Mas Tommy, ini mungkin bisa menjadi patokan-patokan untuk memulai pencarian nanti. Hanya sekedar mengingatkan, untuk mencari Munandar seharusnya memakai trik. Takutnya akan membuat kecurigaan pada anak buahnya, nanti disangka Mas Tommy mau macam-macam lagi." Ungkap Rizal seolah ingin mengubah perhatian Tommy pada wanita yang masih berstatus menikah itu. 'Oh, iya, Bang!" Tommy bergegas mengalihkan perhatiannya pada fotokopi KTP Munandar. "Terima kasih, Ban