Share

Suamiku Lebih Aku Pentingkan

Seperti gayung bersambut, Nizam pun hendak menelpon istri tercintanya untuk memberikan kabar. "Dik, halo!" Ucapnya tergesa-gesa.

"Assalamu 'alaikum," Zeira mengingatkan.

"Iya, Dik. W*'alaikumsalam. Tadinya Abang mau menelpon Adik," ungkap Nizam dengan suara berbahagia.

Zeira mengernyitkan dahinya, 'Apa Bang Nizam tahu aku jual cincin kawin?' pikirnya tak terucap.

"Dik, kok di sana riuh sekali? Adik lagi di mana?" tanya Nizam heran.

"Oh, iya Bang, Adik ini mau nengok ibu di Sukabumi, Pak RT pagi sekali menelpon memberitahu kalau ibu sedang sakit." Jelas Zeira.

"Adik ini kebiasaan selalu minta izin setelah di jalan."

"Iya, maafkan, Adik. Tadi Abang mau menelpon, mau apa?"

Nizam menarik napas panjang sebelum dirinya memberitahukan kepada istrinya. Dia ternyata telah ditelpon dari pihak agensi Belanda untuk bersiap-siap bekerja di sana. Nizam memang sudah lama mengagumi negara Belanda ini serta sudah lama juga dirinya mengirim CV-nya ke agensi sana. Walaupun tadinya hanya coba-coba saja.

"Apa? Abang mau ke Belanda bulan besok? Ninggalin Adik dan Zidan, Bang?" ucap Zeira terkejut hingga suaranya terdengar ke seluruh angkot yang ditumpanginya.

"Sebelumnya Abang pulang dulu, minggu besok Abang harus medical check-up juga membuat paspor." Jelasnya dengan helaan napas kasar. Kemudian menambahkan,"Abang ke sana untuk masa depan kita, Dik. Masa kita tinggal berjauhan sedangkan masih di wilayah Indonesia. Abang di mess, adik di kontrakan."

"Tapi 'kan Bang. Kalau masih di dalam Indonesia setidaknya kalau ada apa-apa Abang bisa pulang!" Pernyataan Zeira disertai nada memelas yang terdengar di telepon genggamnya yang menempel di kuping. "Abang mengerti, salah satu dari kita harus berani berkorban demi masa depan, Adik." Nizam meyakinkan kembali, akan tetapi pembicaraan terputus dan sudah dipastikan kalau pulsa sudah habis. Deruan napas Zeira nyaring bersamaan dengan bunyi tanda telepon terputus.

Terminal sudah ada di depan mata, Zeira melirikan matanya ke arah dua bis dengan jurusan berbeda ialah Sukabumi dan Jakarta. Kemudian kakinya pun melangkah pada moda kotak persegi panjang ini. "Kini, suamiku lebih penting bagiku dari ibu tiriku yang sedang sakit." Zeira berdesis sendiri sambil dengan cepat melangkahkan kaki kanannya masuk ke dalam bis jurusan Jakarta. "Bismillahirrohmanirrohim...."

Zeira memantapkan hatinya pergi menemui Nizam. Perasaan serta pikirannya tidak menentu ketika mendengar bahwa Nizam akan ke Belanda. Zeira memang tidak sanggup berjauhan ribuan miles dari suaminya serta jangkaunnya bukan dengan bis melainkan pesawat terbang. Di dalam bis matanya memperhatikan ke seluruh deretan tempat duduk, kemudian cepat berjalan pada deretan berkursi dua dan memilih duduk di dekat jendela. "Pak, perjalanan akan dimulai jam berapa?" tanya Zeira pada Pak Kondektur bis yang menghampiri untuk membayar tiket. Dia pun menjawab, "Jam setengah sepuluh lah, Neng." Kemudian Pak Kondektur pun turun bersamaan dengan Zeira, karena dia hendak membeli beberapa biskuit untuk Zidan. Setelah membeli keperluan selama perjalanan Zeira pun kembali duduk di mana dia meletakan tas kecil berisi beberapa helai baju ganti Zidan dan dirinya.

Setelah menunggu selama hampir 30 menit bis pun melaju dengan kecepatan sedang menelusuri tol cipali ini dan beberapa daerah lainnya. Di dalam bis Zeira segera mengirimkan pesan pada Pak Adam mengabarkan bahwa dirinya kali ini tidak bisa menjenguk ibu karena ada kepentingan lain di Jakarta.

Lalu kenapa Zeira tidak tinggal bersama keluarga ibu tirinya? Kenapa memilih kota Tasikmalaya?

Bis berhenti di rest area waktu maghrib berkumandang berarti tanda berbuka telah tiba, Zeira bersama penumpang lainnya turun sejenak sembari menukarkan voucher makan dengan sepiring hidangan ala kadarnya akan tetapi itu lumayan cukup membuat air liur Zeira menetes. Ala kadarnya memang untuk penumpang lain dengan tingkat ekonomi yang baik. Akan tetapi tidak untuk Zeira, hidangan ini jauh lebih baik dari menunya beberapa hari lalu. Di rumahnya dia hanya bisa memakan tumis kangkung dan daun singkong, itu pun karena ditanam olehnya.

"Makanan apa ini?" ucap Si ibu berpostur tubuh gendut sambil melirik ke arah di mana Zeira duduk di sampingnya. Zeira hanya tersenyum dan menikmati makananya hingga suapan terakhir. "Ih, kamu cantik-cantik mau saja makanan seperti ini!" sindir Si ibu. "Zeira lapar, Bu!" jawabnya singkat dan beranjak dari tempat duduknya.

Kebanyakan orang selalu memandang manusia lain dan tingkat makanan yang dikonsumsinya adalah penentu level kedudukannya. Si ibu melirik pada wajah serta pakaian Zeira dirinya menyimpulkan bahwa dia tidak seperti kaum kurang beruntung pada umumnya, akan tetapi lahap hingga habis memakan makanan berlauk sayur lodeh campur kepala ayam dan ikan pindang tongkol serta sepotong goreng tempe dengan rasa anyep. Prediksi menusia selalu salah memang, ingat; gula memang hampir sama dengan garam, namun jelas berbeda setelah diketahui rasanya.

"Alhamdulillah," syukur Zeira sambil menaruh gelas berisi teh hangat yang barusan diminumnya.

Sedangkan Si ibu menaikan bibir kanan atasnya tanda keheranan. Kemudian dia pun mengikuti Zeira yang kembali ke dalam bis, "Kamu asal mana, Neng?" tanyanya dengan logat bahasa jawa medok. "Saya asli Sukabumi, tapi tinggal di Tasikmalaya." Jawab Zeira ramah sambil menoleh ke arah Si ibu.

"Kamu bisa-bisanya makan makanan anyep tadi?"

"Kamu kelaparan karena puasa?"

Penuturan Si Ibu membuat Zeira tertawa kecil dan menjawab pendek, "Saya tambahkan garam sedikit dan sambal."

Si ibu hanya mendelik lalu duduk di depan bangku Zeira di mana asal dia duduk pertama kali.

Bersyukur dan ikhlas, maka hidupmu selalu bahagia serta tercukupi. Itulah Zeira sekarang pasca dia memilih untuk membesarkan anaknya oleh tangannya sendiri.

Kota-kota yang dilalui untuk menuju Jakarta sudah Zeira nikmati bersamaan dengan terpejamnya mata. Dia rupanya terlelap setelah kenyang berbuka puasa tadi.

"Neng, Neng...mau tidur di terminal?" gertak Si Ibu tadi.

Zeira tersentak kaget sembari melirik ke arah kanan dan kiri. "Kita sudah sampai terminal, ya Bu?" lirihnya disertai membenahi dirinya. "Iya, cepatlah!" jawab Si Ibu sekarang sepertinya dia sedikit khawatir akan keamanan Zeira. Zeira pun bergegas membetulkan hijab panjangnya dan mengencangkan gendongan. Sigap sekali dia mengambil tas yang ada di sampingnya bekas tadi dipakai menyender.

Zeira dan Si ibu pun turun dengan beruntun. Mata Zeira memutar ke seluruh terminal untuk mencari bis antar kota kopaja agar bisa ke Blok M ke tempat mess suaminya bekerja.

"Kamu nunggu suamimu menjemput?" tanya Si ibu yang memperhatikan sambil duduk karena anaknya memang akan menjemputnya.

"Naik bis saja, Bu. Suami pasti kerjanya sampai jam 23:00." Singkat Zeira dengan melangkahkan kakinya ke arah kopaja yang nampak satu-satunya ini karena waktu memang sudah menunjukan pukul 22:15. Dan inilah bus terakhir jurusan Blok M.

"Ikut anak ibu saja, kamu perempuan bawa anak kecil pula!" ajaknya bersimpati.

"Tunggu sini!" tambah Si Ibu kemudian.

"Tidak usah, Bu. Biar naik bis saja, insya Allah saya baik-baik saja." Tolak Zeira karena buatnya ini bukanlah yang pertama kali ditambah lagi kota Jakarta adalah tempatnya mengais rezeki semenjak dia SMA.

Malam di Ibukota tidak seseram kampung halaman Zeira yang gelap gulita walaupun sudah ada di zaman seperti sekarang. Sekarang Zeira sudah duduk di kursi paling depan dekat sopir bus. Tiba-tiba saja Si Ibu gendut tadi sudah duduk di sebelahnya. "Loh, kok ibu di sini? Anak ibu tidak jadi menjemput?" Zeira bingung disertai lirikan.

Si ibu hanya terdiam saja hingga kopaja melaju dengan cepat. Sedangkan Zeira hanya mengernyit heran juga bergeming sedangkan tangannya memeluk Zidan erat. Hanya memakan waktu 45 menit lamanya, kopaja berhenti di depan pemberhentian terakhir yaitu Blok M. Zeira melirik pada Si ibu yang sudah berdiri memberi jalan kepadanya. Zeira semakin bingung di buatnya, terlebih lagi saat si ibu kembali mengikutinya. Mess Nizam memang tidak begitu jauh dari kopaja berhenti, hendak saja Zeira menoleh pada Si ibu dia sudah menghilang. Dia pun hanya menghela napas dan bergumam, "Kenapa dengannya?"

Persis di depan pintu gerbang mess Nizam, Zeira dikejutkan oleh tepukan pundaknya dari belakang. "Lain kali jangan gegabah pulang sendirian, kamu itu diikuti dua pemuda dari terminal!" beritahu Si ibu gemuk yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya. "Masa iya sih, Bu? Lalu anak ibu tidak jadi jemput?" Zeira menimpali tidak percaya.

"Dik?" sapa Nizam yang baru datang dengan sepeda motornya. "Kamu malam-malam begini ke sini? Katanya mau ke Sukabumi?" tambahnya dengan cepat menghampiri dan membuka helmnya.

"Iya, Bang. Adik mau meyakinkan dengan apa yang abang beritahu di telepon!" jawabnya namun pandangan masih pada Si ibu berbadan gemuk yang masih berdiri di sampingnya.

"Syukurlah, kalau sudah bersama suamimu, Neng!" ucap Si Ibu lega sambil mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Kemudian dia menelpon seseorang untuk menjemputnya. Sepertinya rumahnya pun memang tidak begitu jauh dari mess Nizam, tak lama mobil avanza hitam sudah ada di depannya. "Lain kali minta temani siapa saja kalau jalan malam-malam, kamu ini wong ayu!" ungkapnya sambil menepuk pundak Zeira.

Zeira melongo sambil bertakbir, "Allahu Akbar!" Serta kemudian dia pun berteriak, "Terima kasih, Bu. Hati-hati."

Si ibu yang belum diketahui namanya olehnya itu hanya melambaikan tangannya dan berlalu. Sementara Zeira masih memperhatikan hingga mobil lenyap tak terlihat. Dari sini Zeira semakin yakin kalau Allah SWT akan melindungi hamba-hambanya jika langkahnya niat karena kebaikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status