Dominic mengguncang pelan tubuh Amber, kepala wanita itu terkulai lemah, kedua mata menutup erat, membuat Dominic panik seketika.“Sayang ... bangun, jangan bercanda,” ucap Dominic, seraya mendekatkan bibirnya di telinga Amber.Beberapa menit Dominic mencoba membuat Amber sadarkan diri, tetapi usahanya sia-sia. Wanita itu benar-benar tidak bergerak sedikit pun. Dominic bergegas melompat turun dari tempat tidur dan mengenakan celana panjang, lalu dengan tergesa mengangkat tubuh Amber, menutupi dengan kemeja dan jas miliknya.Dengan bertelanjang dada, dan membawa tubuh Amber dalam dekapannya, dia melompati beberapa anak tangga sekaligus dan membuka pintu ruang rahasia miliknya.Saat hendak kembali ke dalam kamar, Dominic berpapasan dengan Hans, pria paruh baya itu terkejut melihat Amber yang tidak sadarkan diri di dalam dekapan Dominic.“Ada apa, Tuan?”“Hans, bawakan aku minyak angin, dan alat pengompres. Jangan menatap Amber terlalu lama,” perintahnya.“Baik, saya akan ambilkan. Mung
Pembicaraan semalam berupa bumbu permintaan maaf Dominic pada Amber diacuhkan oleh wanita itu. Dia sedang tidak ingin memberikan hati pada Dominic.Amber bangkit turun dari tempat tidur, setelah semalaman beristirahat dia merasa tubuhnya menjadi sedikit lebih baik. Dia sempat berpikir, Dominic benar-benar ingin membunuh dirinya dengan membuat mati kelelahan saat bercinta dengan pria itu.Baru saja dia hendak bergerak keluar dari dalam kamar, dia mendengar suara getaran ponsel miliknya di dalam laci nakas.Amber tidak tahu, apakah Will ada menghubunginya atau tidak. Dilihatnya, tidak ada siapa pun di dalam ruangan yang bisa menjadi tempat memadu kasih antara dirinya dan Dominic.Tiba-tiba pintu terbuka, Dominic masuk membawakan satu nampan berisi bubur hangat untuk Amber.“Kamu sudah bangun, makanlah ini,” kata Dominic, berusaha menebus kesalahannya semalam pada Amber.“Hm, ya. Kamu tidak menaruh racun kan di dalam bubur itu?”“Ya Tuhan, apakah di dalam pikiranmu ... aku sama jahatnya
“Amber, kamu mau ke mana, Sayang?” ujar seorang pria dengan rambut memutih seraya melingkarkan tangannya ke pinggang wanita bertubuh molek di pinggir ranjang. Dengan sebuah senyuman mesum yang terlukis di wajahnya, pria itu memelas, “Apa tidak bisa kita melakukannya sekali lagi?” Wanita bernama Amber itu menoleh. Dia tertawa sinis, lalu menepis tangan pria itu dari pinggangnya seraya menjawab, “Kamu tahu peraturannya, ‘kan? Aku hanya menerima satu kali transaksi tanpa ada pengulangan.” Pria tersebut memasang wajah kecewa. “Huh? Apa aku tidak mendapatkan pengecualian? Aku ini sang menteri, Amber. Aku—”Amber meletakkan jari telunjuk di bibir seksinya yang tersapu gincu merah menyala. “Tidak ada pengecualian. Sebelum para tamu melakukan transaksi, mereka jelas sudah diberitahukan mengenai syarat dan ketentuan yang harus dipatuhi.”Pria berusia 45 tahun itu tertawa. Sebagai seorang petinggi pemerintahan di Kota A, ia memiliki kekuasaan, uang, dan juga dikelilingi wanita. Bisa-bisanya w
Plak!Gadis dengan kacamata tebal itu dikejutkan dengan sebuah tamparan keras yang mendarat di pipi kanannya, menyebabkan kaca matanya terlempar entah ke mana..“Lo emang benar-benar jal*ng, ya! Nggak nyangka gue cewek penampilan polos kayak lo bisa jebak Dominic kayak gitu, pake digodain segala pula!” maki seorang senior perempuan yang tadi menamparnya dengan mata nyalang. “Kalau suka, kejar yang bener! Jangan main kotor! Dasar l*nte!”“Tidak. Aku sama sekali tidak menggoda atau menjebak siapa pun! Aku hanya--” Belum sempat Amber menyelesaikan kalimatnya, gadis lain menarik paksa rambut Amber yang dikuncir kuda, membuatnya meringis kesakitan. Cengkeraman yang kuat dari gadis itu membuat kepala Amber pusing, pandangannya yang sudah buram semakin membuyar. Ketika samar-samar dia melihat satu sosok familier berdiri di dekat pintu ruangan, dia berteriak, ‘Dom?’ Amber membatin lirih. “Tolong …,” pintanya dengan suara lemah. “Tolong aku ….” Namun lelaki itu mengacuhkannya, berbalik dan p
“Buka matamu, Amber.” Serangan kasar sang lelaki tak meninggalkan ruang bagi Amber yang kini berada tepat di depan cermin besar untuk menjawab. Dia hanya bisa memberikan balasan melalui lenguhan dan desahan selagi menyerahkan diri sepenuhnya untuk lelaki yang terus menggerayangi tubuhnyaDesakan dari Dominic memaksa Amber untuk membuka mata. Netranya disambut oleh pantulan tubuhnya yang berada di bawah kungkungan pria tersebut. Terlihat Dominic menarik kedua tangan rampingnya dan menahannya dari belakang, membuat Amber tak bisa berkutik.“Mengapa dirimu yang menikmati ini, Amber? Tidakkah memuaskan tamu adalah tugasmu, bukan tugasku?” Dominic bertanya dengan seringai licik di wajah tampannya. Amber tahu lelaki ini hanya menggodanya, dan itu menunjukkan bahwa dirinya telah kalah telak dalam pergumulan keduanya. ‘Sial!’Sejujurnya, Amber merasa harga dirinya tersakiti. Selama ini, dirinya selalu melayani klien-kliennya dengan kuasa. Namun entah apa yang merasuki dirinya, kali ini dia be
Ruangan yang tadinya hening tiba-tiba diisi dengan suara tamparan yang terdengar nyaring, tepat mengenai wajah Amber. “Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu benar-benar mempermalukan Ayah, Amber!” Rasa perih dari tamparan oleh gadis-gadis di sekolah sebelumnya semakin menjadi-jadi, tapi itu tidak sebanding dengan hatinya yang tersayat kata-kata sang ayah.Mendengar amarah ayahnya membuat Amber tidak bisa berkutik, hanya air mata yang turun dari wajahnya yang bisa menggambarkan isi hatinya. Gadis itu menatap nanar ayahnya. Ketika dia pikir akan mendapat dukungan dari keluarga satu-satunya yang ia miliki, dia justru mendapatkan hinaan dan tamparan dari ayahnya sendiri. “Bukan aku yang memulai semua ini! Aku tidak bersalah! Gadis-gadis itu yang melakukan ini karena—“ Belum selesai Amber menyelesaikan pembelaannya, sang ayah sudah menyela dengan kasar. Tidak berniat untuk mendengarkan Amber lebih jauh.“Tutup mulutmu!” geram sang ayah sembari menatapnya nyalang. “Pers*tan dengan apa
Seringai terpasang jelas di wajah Dominic, menggenggam sebuah kartu memori sambil keluar dari pintu lobi hotel. “Hah, dasar jal*ng kecil” batinnya. Netra cokelat muda milik lelaki itu ditundukkan ke kartu kecil di tangan kanannya.Aktivitasnya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam terparkir di depannya, menunjukkan seorang lelaki dengan setelan formal dan rambut yang disisir ke belakang. Lelaki yang merupakan asisten pribadi Dominic itu bergegas membuka pintu mobil dan mempersilakan dirinya untuk masuk.Sepanjang perjalanan, mata Dominic disibukkan oleh banyak pesan di ponsel pribadi miliknya. Barulah ketika selesai, pandangannya terangkat ke arah Will, asistennya. “Bagaimana dengan urusan muncikari di Kota B kemarin?” tanya Dominic.“Ulahnya mempengaruhi banyak klien dan juga wanita-wanita kita, Tuan. Sudah saya bereskan, kita tidak akan berurusan dengannya lagi.” jawab Will. Matanya masih fokus ke jalan sambil sesekali melirik ke atasannya.“Bagaimana dengan wanita-wanita di bawa
“Kamu mengatakan bagaimana dia bisa mengetahui identitasku? Seharusnya aku yang bertanya padamu, Will!” teriak Amber, masih merasakan kesal karena rencananya yang gagal. “Oh ayolah, Amber. Sekarang kamu melemparkan kesalahanmu itu kepadaku? Seharusnya kamu bisa lebih berhati-hati. Aku sudah beberapa kali mengingatkanmu, kan?” ucap Will sembari memutar bola matanya.Tak pernah sekalipun terlintas di kepalanya kalau Dominic akan mengetahui identitas wanita itu terlebih dahulu. Amber merasakan amarahnya meluap mendengar jawaban dari lelaki itu, mengingat ketika Selena menghampiri Amber di kamar hotel dan memberi informasi baru terkait pekerjaan Dominic yang sebenarnya. “Hati-hati? Kamu bahkan tidak memberitahuku sosok Dominic yang sebenarnya, Will! Apa kamu pikir bisa semudah itu untuk mengetahui profil lelaki yang ternyata merupakan seorang mafia bengis?!” Amber mendengus kesal di telepon.Meskipun kesal, Amber tidak akan melupakan sosok Will yang merangkulnya dulu. Ketika SMA, hanya W