Share

Bab 4. Jebakan?

Ruangan yang tadinya hening tiba-tiba diisi dengan suara tamparan yang terdengar nyaring, tepat mengenai wajah Amber. “Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu benar-benar mempermalukan Ayah, Amber!” Rasa perih dari tamparan oleh gadis-gadis di sekolah sebelumnya semakin menjadi-jadi, tapi itu tidak sebanding dengan hatinya yang tersayat kata-kata sang ayah.

Mendengar amarah ayahnya membuat Amber tidak bisa berkutik, hanya air mata yang turun dari wajahnya yang bisa menggambarkan isi hatinya. Gadis itu menatap nanar ayahnya. Ketika dia pikir akan mendapat dukungan dari keluarga satu-satunya yang ia miliki, dia justru mendapatkan hinaan dan tamparan dari ayahnya sendiri. 

“Bukan aku yang memulai semua ini! Aku tidak bersalah! Gadis-gadis itu yang melakukan ini karena—“ Belum selesai Amber menyelesaikan pembelaannya, sang ayah sudah menyela dengan kasar. Tidak berniat untuk mendengarkan Amber lebih jauh.

“Tutup mulutmu!” geram sang ayah sembari menatapnya nyalang. “Pers*tan dengan apa yang terjadi. Mulai hari ini kamu akan sekolah dari rumah. Dengan begitu ... kamu tidak akan berani berulah lagi.” ucapnya dengan nada tinggi seraya berlalu pergi, meninggalkan Amber menangis sendirian dalam ruang tidurnya.

Hanya ketika waktu makan malam tiba, barulah ada orang yang berani mengunjungi ruangan Amber. “Nona Amber, makanan sudah siap. Waktunya makan malam,” panggil sang pelayan sembari mengetuk ruang tidur Amber. Namun, setelah sekian lama panggilan dan beberapa kali ketukan tak kunjung mendapatkan jawaban, pembantu itu pun membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. “Nona? Kenapa–”

Ucapan pelayan itu terhenti selagi matanya membelalak lebar menatap pemandangan mengerikan di hadapannya.

“Nona Amber!” teriak pelayan itu sembari langsung berlari menghampiri kaki Amber yang melayang di udara. Dia mencoba menaikkan tubuh gadis itu, merenggangkan cekikan tali pada leher Amber. “Tolong! Siapa pun! Tolong!”

...

Amber dibangunkan oleh perasaan sesak di dada, kedua matanya melirik ke arah ranjang yang kini hanya tinggal dia seorang. Aroma percintaan dengan tamunya tadi malam masih melekat kuat di ranjang dan juga tubuhnya.

“Sial,” ucapnya pelan sambil menghapus peluh di keningnya. Masih teringat jelas di dalam benak perihal ingatan kelam di masa lalu yang mengunjungi mimpinya. Orang tua, batin Amber, mengulangi pertanyaan Dominic di malam sebelumnya. Hal itu membuatnya mendengus sinis.

Setelah usahanya untuk mengakhiri hidupnya sendiri, ayah Amber tidak lagi ingin bertanggung jawab atas dirinya. Pria itu mengirimkannya ke rumah terpisah, membiarkan para pelayan menjaganya. Hal itu membuka jalan bagi Amber menuju kebebasan, dan tentunya … pergaulan dunia malam yang berujung menjadi tempat dirinya menemukan kebahagiaan.

Keluar kamu dari rumah ini! Kamu hanya bisa mempermalukanku! Mulai hari ini, namamu akan kucoret dari keluarga ini!” 

Makian sang ayah di kali terakhir pertemuan mereka membuat kebencian terpancar dari manik kuning keemasan Amber. Dia menggeram rendah, memaki Dominic karena telah membuatnya teringat akan kenangan yang ingin dia lupakan itu.

Tenanglah, Amber,batin Amber seraya meraih segelas air yang berada di atas nakas, lalu meminumnya. Selesai meneguk habis air di dalam gelas, mata wanita itu melihat ke sekeliling.Dia sungguh sudah pergi?

Tidak, Amber tidak peduli dengan bagaimana Dominic meninggalkan dirinya begitu saja. Dia mengharapkan hal itu.

Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda barang pria itu dalam ruangan, Amber bergegas melompat turun dari tempat tidur. Dia berjalan menuju lemari pakaian yang pintunya telah sedikit terbuka itu.

Di sana, di nakas dalam lemari tempat sebuah brankas tergeletak, terdapat sebuah kamera yang berdiri di atasnya. Sekarang, kamu yang masuk jebakanku, Dominic Grey.’ 

Senyum lebar menghiasi wajah Amber ketika dirinya membongkar sisi samping kamera tersebut, berniat mengambil kartu memori yang tersimpan di dalamnya. Dengan rekaman dalam kartu tersebut, dia bisa merusak reputasi Dominic dengan menyebarkan kepada dunia perihal pergumulan panasnya malam tadi. 

Dirinya hanyalah seorang wanita penghibur, jadi reputasi bukanlah hal yang Amber perlukan. Bahkan, dia malah berniat menambah ketenarannya. Namun, bagi Dominic Grey yang terhormat ….

Namun, ketika matanya menatap slot kartu yang kosong, senyuman Amber sekejap menghilang. Kenapa tidak ada?! teriaknya dalam hati. Tidak mungkin dia lupa memasukkan kartu tersebut ke dalam slotnya, bukan? Aku yakin telah memasukkannya!

Tepat pada saat itu, barulah mata Amber mendapati keberadaan selembar kertas terlipat yang berada di atas brankas. Dia segera meraih kertas itu, berniat membuka untuk membacanya.

Mendadak, dering ponsel mengejutkan wanita tersebut, membuat Amber melangkah menghampiri nakas di sebelah tempat tidur dengan tergesa-gesa. Melihat nama yang terpampang di layar, ekspresi Amber menggelap. “Ada apa?” tanyanya begitu menjawab panggilan tersebut.

“Apa yang sudah kamu lakukan?!” suara seorang pria terdengar berseru lantang. “Bagaimana dia bisa mengetahui identitasmu?!”

Mendengar hal tersebut, alis Amber bertautan. Menyadari sesuatu, dia pun membuka kertas yang sedari tadi ada di tangannya dan membaca rentetan kata di atasnya. 

[Tidak semudah itu menjebakku, Amber Moore.]

Dengan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya, Amber meremas kertas tersebut dan berseru, “Dominic Grey, dasar pria baj*ngan!”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Fenny Agnes
bab 3 & 4 sama plek..judulnya aja dibedain.
goodnovel comment avatar
aniek mardiana
masa lalu yang suram 🥲🥲
goodnovel comment avatar
aniek mardiana
masa lalu yang suram 🥲🥲
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status