Ruangan yang tadinya hening tiba-tiba diisi dengan suara tamparan yang terdengar nyaring, tepat mengenai wajah Amber. “Dasar kamu anak tidak tahu diuntung! Kamu benar-benar mempermalukan Ayah, Amber!” Rasa perih dari tamparan oleh gadis-gadis di sekolah sebelumnya semakin menjadi-jadi, tapi itu tidak sebanding dengan hatinya yang tersayat kata-kata sang ayah.
Mendengar amarah ayahnya membuat Amber tidak bisa berkutik, hanya air mata yang turun dari wajahnya yang bisa menggambarkan isi hatinya. Gadis itu menatap nanar ayahnya. Ketika dia pikir akan mendapat dukungan dari keluarga satu-satunya yang ia miliki, dia justru mendapatkan hinaan dan tamparan dari ayahnya sendiri.
“Bukan aku yang memulai semua ini! Aku tidak bersalah! Gadis-gadis itu yang melakukan ini karena—“ Belum selesai Amber menyelesaikan pembelaannya, sang ayah sudah menyela dengan kasar. Tidak berniat untuk mendengarkan Amber lebih jauh.
“Tutup mulutmu!” geram sang ayah sembari menatapnya nyalang. “Pers*tan dengan apa yang terjadi. Mulai hari ini kamu akan sekolah dari rumah. Dengan begitu ... kamu tidak akan berani berulah lagi.” ucapnya dengan nada tinggi seraya berlalu pergi, meninggalkan Amber menangis sendirian dalam ruang tidurnya.
Hanya ketika waktu makan malam tiba, barulah ada orang yang berani mengunjungi ruangan Amber. “Nona Amber, makanan sudah siap. Waktunya makan malam,” panggil sang pelayan sembari mengetuk ruang tidur Amber. Namun, setelah sekian lama panggilan dan beberapa kali ketukan tak kunjung mendapatkan jawaban, pembantu itu pun membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan. “Nona? Kenapa–”
Ucapan pelayan itu terhenti selagi matanya membelalak lebar menatap pemandangan mengerikan di hadapannya.
“Nona Amber!” teriak pelayan itu sembari langsung berlari menghampiri kaki Amber yang melayang di udara. Dia mencoba menaikkan tubuh gadis itu, merenggangkan cekikan tali pada leher Amber. “Tolong! Siapa pun! Tolong!”
...
Amber dibangunkan oleh perasaan sesak di dada, kedua matanya melirik ke arah ranjang yang kini hanya tinggal dia seorang. Aroma percintaan dengan tamunya tadi malam masih melekat kuat di ranjang dan juga tubuhnya.
“Sial,” ucapnya pelan sambil menghapus peluh di keningnya. Masih teringat jelas di dalam benak perihal ingatan kelam di masa lalu yang mengunjungi mimpinya. ‘Orang tua,’ batin Amber, mengulangi pertanyaan Dominic di malam sebelumnya. Hal itu membuatnya mendengus sinis.
Setelah usahanya untuk mengakhiri hidupnya sendiri, ayah Amber tidak lagi ingin bertanggung jawab atas dirinya. Pria itu mengirimkannya ke rumah terpisah, membiarkan para pelayan menjaganya. Hal itu membuka jalan bagi Amber menuju kebebasan, dan tentunya … pergaulan dunia malam yang berujung menjadi tempat dirinya menemukan kebahagiaan.
“Keluar kamu dari rumah ini! Kamu hanya bisa mempermalukanku! Mulai hari ini, namamu akan kucoret dari keluarga ini!”
Makian sang ayah di kali terakhir pertemuan mereka membuat kebencian terpancar dari manik kuning keemasan Amber. Dia menggeram rendah, memaki Dominic karena telah membuatnya teringat akan kenangan yang ingin dia lupakan itu.
‘Tenanglah, Amber,’ batin Amber seraya meraih segelas air yang berada di atas nakas, lalu meminumnya. Selesai meneguk habis air di dalam gelas, mata wanita itu melihat ke sekeliling. ‘Dia sungguh sudah pergi?’
Tidak, Amber tidak peduli dengan bagaimana Dominic meninggalkan dirinya begitu saja. Dia mengharapkan hal itu.
Setelah memastikan tidak ada tanda-tanda barang pria itu dalam ruangan, Amber bergegas melompat turun dari tempat tidur. Dia berjalan menuju lemari pakaian yang pintunya telah sedikit terbuka itu.
Di sana, di nakas dalam lemari tempat sebuah brankas tergeletak, terdapat sebuah kamera yang berdiri di atasnya. ‘Sekarang, kamu yang masuk jebakanku, Dominic Grey.’
Senyum lebar menghiasi wajah Amber ketika dirinya membongkar sisi samping kamera tersebut, berniat mengambil kartu memori yang tersimpan di dalamnya. Dengan rekaman dalam kartu tersebut, dia bisa merusak reputasi Dominic dengan menyebarkan kepada dunia perihal pergumulan panasnya malam tadi.
Dirinya hanyalah seorang wanita penghibur, jadi reputasi bukanlah hal yang Amber perlukan. Bahkan, dia malah berniat menambah ketenarannya. Namun, bagi Dominic Grey yang terhormat ….
Namun, ketika matanya menatap slot kartu yang kosong, senyuman Amber sekejap menghilang. ‘Kenapa tidak ada?!’ teriaknya dalam hati. Tidak mungkin dia lupa memasukkan kartu tersebut ke dalam slotnya, bukan? ‘Aku yakin telah memasukkannya!’
Tepat pada saat itu, barulah mata Amber mendapati keberadaan selembar kertas terlipat yang berada di atas brankas. Dia segera meraih kertas itu, berniat membuka untuk membacanya.
Mendadak, dering ponsel mengejutkan wanita tersebut, membuat Amber melangkah menghampiri nakas di sebelah tempat tidur dengan tergesa-gesa. Melihat nama yang terpampang di layar, ekspresi Amber menggelap. “Ada apa?” tanyanya begitu menjawab panggilan tersebut.
“Apa yang sudah kamu lakukan?!” suara seorang pria terdengar berseru lantang. “Bagaimana dia bisa mengetahui identitasmu?!”
Mendengar hal tersebut, alis Amber bertautan. Menyadari sesuatu, dia pun membuka kertas yang sedari tadi ada di tangannya dan membaca rentetan kata di atasnya.
[Tidak semudah itu menjebakku, Amber Moore.]
Dengan emosi yang mulai mendidih di dalam hatinya, Amber meremas kertas tersebut dan berseru, “Dominic Grey, dasar pria baj*ngan!”
Seringai terpasang jelas di wajah Dominic, menggenggam sebuah kartu memori sambil keluar dari pintu lobi hotel. “Hah, dasar jal*ng kecil” batinnya. Netra cokelat muda milik lelaki itu ditundukkan ke kartu kecil di tangan kanannya.Aktivitasnya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam terparkir di depannya, menunjukkan seorang lelaki dengan setelan formal dan rambut yang disisir ke belakang. Lelaki yang merupakan asisten pribadi Dominic itu bergegas membuka pintu mobil dan mempersilakan dirinya untuk masuk.Sepanjang perjalanan, mata Dominic disibukkan oleh banyak pesan di ponsel pribadi miliknya. Barulah ketika selesai, pandangannya terangkat ke arah Will, asistennya. “Bagaimana dengan urusan muncikari di Kota B kemarin?” tanya Dominic.“Ulahnya mempengaruhi banyak klien dan juga wanita-wanita kita, Tuan. Sudah saya bereskan, kita tidak akan berurusan dengannya lagi.” jawab Will. Matanya masih fokus ke jalan sambil sesekali melirik ke atasannya.“Bagaimana dengan wanita-wanita di bawa
“Kamu mengatakan bagaimana dia bisa mengetahui identitasku? Seharusnya aku yang bertanya padamu, Will!” teriak Amber, masih merasakan kesal karena rencananya yang gagal. “Oh ayolah, Amber. Sekarang kamu melemparkan kesalahanmu itu kepadaku? Seharusnya kamu bisa lebih berhati-hati. Aku sudah beberapa kali mengingatkanmu, kan?” ucap Will sembari memutar bola matanya.Tak pernah sekalipun terlintas di kepalanya kalau Dominic akan mengetahui identitas wanita itu terlebih dahulu. Amber merasakan amarahnya meluap mendengar jawaban dari lelaki itu, mengingat ketika Selena menghampiri Amber di kamar hotel dan memberi informasi baru terkait pekerjaan Dominic yang sebenarnya. “Hati-hati? Kamu bahkan tidak memberitahuku sosok Dominic yang sebenarnya, Will! Apa kamu pikir bisa semudah itu untuk mengetahui profil lelaki yang ternyata merupakan seorang mafia bengis?!” Amber mendengus kesal di telepon.Meskipun kesal, Amber tidak akan melupakan sosok Will yang merangkulnya dulu. Ketika SMA, hanya W
Brak!Suara gebrakan di meja cukup menyita perhatian beberapa pengunjung yang ada di dalam restoran. Bukan hanya gebrakan, tapi dua orang lelaki menawan dengan warna mata yang sama itu memang sudah cukup menarik perhatian bagi siapapun yang melihat keduanya.“Perjodohan? Ayah sudah gila, ya? Memanfaatkanku sebagai alat transaksi?” Dominic sedikit mencondongkan tubuhnya, kedua matanya menatap tajam ke lelaki paruh baya dengan rambut sedikit memutih yang ada di hadapannya. “Kecilkan suaramu,” balas lelaki itu, seraya memberikan Dominic segelas air mineral dingin dan meletakkan di depan Dominic. Dominic merasakan wajahnya memerah, melihat ayahnya sendiri memasang wajah yang santai, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Zaman sekarang, mana ada lelaki yang ingin dijodohkan? “Aku tidak akan pernah setuju.” tegas Dominic sekali lagi, tidak ingin menerima perintah ayahnya. Dominic bukanlah pria menyedihkan, untuk apa mengikat diri dengan satu wanita, jika dengan wajahnya saja dia bisa mendat
Dominic mendongak cepat, terkejut melihat sosok wanita yang kini ada di depannya. Netranya disambut oleh manik keemasan milik Amber yang menatapnya dengan menggoda.Amber menaikkan satu alisnya sambil menyeringai, seakan mengejek Dominic dengan kehadirannya.“Kenalkan, ini putri saya, Amber Moore. Amber, ini Dominic Grey. Dia yang akan menjadi pasanganmu nanti.” Lelaki paruh baya dengan setelan berwarna biru dongker itu dengan bangga memperkenalkan putrinya pada kedua pria berbeda generasi di hadapannya saat ini. “Dominic Grey,” ucap Dominic seraya menyambut uluran tangan Amber. Keduanya beradu tatap, bersandiwara seakan tidak pernah mengenal satu sama lain. Jabatan itu tidak langsung dilepas, Dominic bahkan sempat mengelus jemari Amber sebelum melepas tangannya.Suasana di ruangan privat restoran itu terasa dingin ketika semua sudah duduk. Kedua lelaki paruh baya yang sudah lama tidak bertemu itu disibukkan dengan pembicaraan bisnis, membiarkan Amber dan Dominic. Amber membolak-bali
“Lakukan dalam dua minggu lagi.” Ucapan yang dikeluarkan dari mulut Dominic membuat Amber terkejut. Maniknya bergerak ke arah Dominic, mencari isyarat dari lelaki itu yang menunjukkan bahwa dia hanya bergurau. Namun, yang Amber dapatkan hanyalah wajah tampan Dominic yang menatapnya tanpa ekspresi. “Dua minggu? Apakah kamu yakin dengan keputusan itu?” tanya Jonathan, tidak percaya bahwa perjodohan atas dasar kerja sama perusahaannya akan berjalan dengan mudah. Ketika menjabat tangan Dominic untuk pertama kali, dia merasakan aura yang kuat dan dingin dari lelaki itu. Seakan, apa yang dia inginkan, pasti dia dapatkan. Oleh karena itu, Jonathan merasa terkejut dengan Dominic yang menerima perjodohan itu dengan senang hati.“Sangat yakin, Tuan Jonathan. Bahkan, saya sudah bicarakan ini dengan putri Anda tadi. Benar, Amber?” Dominic melirik Amber, menunggu jawaban. Wanita itu menatap Dominic dengan kilatan emosi di matanya, mencoba menahan amarah dengan menggigit bibirnya yang merah. Domi
Kedua mata Selena membelalak tidak percaya, belum lagi dia merasa telinganya barusan pasti salah mendengar.“Maaf, apa aku tidak salah mendengar nama yang baru saja kamu sebutkan?” Selena bertanya pada Amber, karena dia ingin meyakinkan dirinya jika telinganya tidak sedang bermasalah.Amber menggeleng singkat.“Bagaimana bisa, Amber?”“Sebuah keajaiban mungkin? Selena ... ucapkan selamat, aku akan menikah dengan pria itu. Jadi setelah ini kamu tidak akan bekerja mengurus masalah klien ranjangku,” kata Amber.Selena mendesah pelan, dia hanya mengikuti apa yang diinginkan Amber, karena selama ini dia hanya bekerja pada wanita itu.“Lalu?”“Lalu, kamu akan tetap menjadi sekretarisku. Kamu tenang saja, Selena. Kemana pun aku pergi, kamu akan tetap ikut,” jawab Amber dengan yakin.Setidaknya Selena sedikit merasakan lega, dia tidak akan kehilangan pekerjaannya.“Hilangkan apa pun pikiran buruk yang ada di dalam otakmu, Selena. Kamu tidak akan pernah beranjak dari sisiku. Hubungan profesion
“Tu-tunggu sebentar, Ayah mengundang mereka?” tanya Amber. Seringai tipis tersirat samar di wajah cantik Amber.Sungguh tidak terduga sama sekali dia akan bertemu kembali dengan Dominic dalam keadaan ‘normal’, bukan pertemuan yang menciptakan hawa panas dan juga penuh gairah. “Maaf, Ayah tidak memberitahumu. Awalnya aku ingin memberikan kejutan padamu, Amber. Tetapi setelah mendengar semua ceritamu, mari kita mengubah segalanya, apa kamu bahagia?” Jonathan bertolak pinggang, dengan anggun Amber menggandeng tangan kokoh ayahnya.“Hm, aku sudah tidak sabar.”Keduanya menuruni satu per satu anak tangga.Ada sedikit perasaan lega di dalam hati Amber, setidaknya akan ada Jonathan yang membantu meluluskan semua rencananya setelah ini. Berdamai dengan ayahnya, tetapi belum dengan masa lalu. Karena masa lalunya masih belum juga tuntas bagi Amber.“Maaf membuat kalian menunggu.” Kalimat Amber adalah pembuka percakapan di antara mereka malam ini.Kedua mata Dominic terpana untuk sesaat melihat
Dua minggu kemudian pernikahan antara keduanya pun terjadi. Bukan resepsi yang diselenggarakan secara besar-besaran, memang mewah tapi hanya keluarga besar kedua belah pihak yang diundang.Amber selain meminta Jonathan mengundang keluarga besarnya, dia pun sengaja mengundang beberapa klien yang pernah melakukan transaksi dengan dirinya. Dia memang sengaja melakukannya.Dominic terus memperhatikan apa yang akan diperbuat wanita itu. Senyum Amber tak henti menghiasi wajah cantik dan angkuh miliknya, sesekali wanita itu sengaja melirik ke arah suaminya, hanya sekadar ingin mengetahui seperti apa reaksi Dominic.Amber memijat tengkuk lehernya, sedikit pegal, dan dia benci acara resmi seperti ini.“Sayang sekali gedung sebesar ini hanya dihadiri beberapa puluh orang. Kenapa kamu tidak mengatakan sebelumnya jika kamu hanya mengundang segelintir orang saja?” Ada sedikit nada keluhan dari mulut Dominic.Amber melihat perdana menteri yang pernah tidur dengannya pun ada di resepsi pernikahan mer