Di salah satu meja yang ada di sudut lantai satu Stars Peach Cafe, seorang pria bertopi oranye dan bermasker duckbill putih dengan pakaian kemeja putih tulangnya duduk membelakangi pengunjung dan panggung kafe.
Jika sekilas melihatnya, maka akan terbesit di dalam pikiran bahwa pria bertubuh cukup atletis itu adalah seorang pujangga yang sedang patah hati. Ia hanya duduk dengan kepala menunduk dan mata yang berselancar pada layar ponselnya.
Tampak foto wanita pemilik Stars Peach Cafe yang tengah berpose dengan elegan di layar ponselnya itu.
'Dia itu perempuan nggak tau malu! Artis murahan yang bisanya cuma ngerayu suami saya!'
Itulah sepatah kalimat dari Rina yang masih ia ingat. Kalimat yang lantas membuat perasaan pria di sudut kafe itu cemas tak menentu.
Dengan penuh kehati-hatian, pria berkelopak mata indah itu pun mulai membaca panel info yang muncul setelah ia melakukan pencarian dengan keywords “Tiffany Adhara”—nama dari seorang gadis remaja yang ia kenal.
[Tiffany Adhara adalah seorang pengusaha muda sekaligus penyanyi berkebangsaan Indonesia yang juga merupakan vokalis Bumantara Band; kelahiran: 15 Maret 1993 (usia 28 tahun), Bandung; tinggi: 1,67 m.]
Pria pemilik nama Kevin Lee itu sontak tergemap. Seketika pula dadanya terasa begitu tersentak. Tangannya bergetar ketika mulai menggulir sejumlah clickbait yang muncul pada pencarian internetnya.
[Profil Tiffany Adhara, Selebgram, Pengusaha, dan Vokalis Cantik Asal Bandung]
[Masa Lalu Tiffany Rintis Karir bersama Mantan Kekasih, Satria: Dia Satu-satunya …]
[Selalu Kompak, Inilah 9 Potret Kedekatan Tiffany dengan Personel Band-nya]
[Persahabatan Tiffany dengan Kim Shin, Warganet: Mereka Serasi Banget, Semoga Jadi …]
[Telah Lama Pisah, Tiffany dan Satria Masih Kompak Bermusik di Bumantara …]
[Warganet Sebut Dirinya Jatuh Cinta pada Tiffany, Lee Yul: Siapapun Akan …]
[Tiffany Diisukan Dekat dengan Artis Korea, Ini Pendapat Dimas Soal Mantan Kekasihnya]
[Sukses Bangun Kerajaan Bisnisnya, Siapa Sangka Tiffany Pernah Rela Tidak Makan …]
Mata Kevin mulai berkaca-kaca setelah membaca setiap clickbait yang muncul pada penelusuran internet. Dadanya naik turun tak beraturan dengan mulut yang sedikit terbuka. Namun, tak satu pun dari clickbait itu yang ia sentuh.
Sementara itu, wanita yang bernama Tiffany Adhara masih berjalan mondar-mandir dengan penuh kekhawatiran di ruangan pribadinya.
“Kamu nggak salah liat, Her?” tanya Tiffany pada Heru yang saat ini hanya diam tak berkutik.
Heru menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Tidak, Bu. Salah satu barista yang memberitahu saya, dia kan tidak mungkin berani bercanda dalam situasi seperti ini.”
Tiffany tiba-tiba berjongkok sambil menutupi wajah.
“Her, sumpah saya malu banget!” rintihnya yang mulai terisak pilu.
“Apa lebih baik saya sampaikan permintaan maaf kita secara pribadi saja, Bu? M—maksudnya saya datangi langsung ke mejanya, gitu,” ujar Heru.
“Saya pikir dia sedang tidak ingin dikenali di tempat ini,” tambahnya setelah ia ikut berjongkok di depan Tiffany yang merasa frustrasi karena kehadiran Kevin Lee di kafenya.
“Nggak usah!”
Tiffany spontan membuka wajahnya yang memerah dan langsung menampik inisiatif manajernya itu.
“Kamu nggak usah sampe nyamperin dia juga kali, Her!”
“Saya nggak kenal sama dia. Jadi kita nggak perlu minta maaf secara personal,” sanggah Tiffany dengan suara bergetar sambil mengusap pipinya yang basah.
“B—baik, Bu,” balas Heru. “Lalu kita harus bagaimana, Bu?”
Tiffany menjentik bibirnya. Matanya berkeliling sambil berpikir.
Ia mendengkus kesal. “Nggak tau,” lirihnya dengan memelas.
Heru menarik napasnya dalam-dalam. Ia tidak mengerti dengan apa yang telah membuat bosnya itu tampak begitu merasa cemas dengan kehadiran Kevin.
“Tapi tadi nggak ada yang cari perhatian ke dia, kan? Barista kita nggak nunjukkin ke dia kalau mereka tuh kenal sama—”
“Tidak, Bu. Lagi pula dia pakai masker, jadi kita tau kalau dia memang tidak ingin dikenali oleh orang-orang yang ada di kafe,” tukas Heru.
Barista dan seluruh karyawan di Stars Peach Caffe memang terbiasa untuk bersikap profesional, sekalipun jika pengunjungnya adalah artis idolanya.
Tiffany membuang napasnya dengan kasar. Ia lantas duduk di lantai dengan pasrah.
“Kenapa dia bisa datang ke sini ya, Her?” gumamnya tanpa melepaskan kegundahan dari wajahnya.
Heru tersenyum kecut. Jelas saja ia tidak tahu alasannya.
“Mungkin karena tempat ini hits di kalangan artis, Bu?” Heru bergumam sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tanpa aba-aba, Tiffany tiba-tiba membelalak dengan ekspresi yang penuh keterkejutan.
Heru menyeringai keheranan, lagi-lagi ia dibuat bingung oleh reaksi bosnya yang tidak bisa ditebak.
“Apa ada artis lain yang dateng?”
“Tidak, Bu. Sore ini kebetulan belum ada artis lain yang ke sini.”
Tiffany mengusap dadanya sambil menghela napas lega.
“Kamera?” Sekali lagi matanya membulat.
“Saya dan yang lain sudah memastikan kalau mereka tidak ada yang mengarahkan kameranya,” balas Heru.
“Dan beberapa orang, termasuk saya juga tadi berdiri merapat menutupi keributan,” tambahnya.
Jawaban melegakan itu spontan dibalas dengan anggukan oleh Tiffany. Namun, bukan berarti kekhawatirannya akan kehadiran Kevin hilang begitu saja. Tiffany masih tak habis pikir dengan apa yang akan ada di benak Kevin setelah melihat dirinya yang baru saja dipermalukan di kafe.
“Berarti muka saya nggak keliatan sama pengunjung ya, Her?” tanya Tiffany dengan tatapan penuh harapan.
Heru tergemap. Ia membisu dengan bola matanya yang sedikit berputar.
“Eheum,” gumam Heru sambil mengangguk ragu. Sebenarnya ia tidak begitu yakin.
“Yang bener, Her.” Tiffany kembali kehilangan harapan.
Heru tersenyum canggung. “Mungkin terlihat dari sudut pandang tertentu, Bu.”
Tiffany mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia mengerucutkan bibirnya dengan wajah lesu.
“Memangnya Kevin duduk di sebelah mana sih, Her?”
“Di pojok, Bu.”
“Pojok?” gumamnya sambil mengerling. “Di pojok tuh, pojok sebelah mana sih?”
“Di deket pintu masuk, Bu.”
Tiffany sontak membulatkan matanya sambil menelan ludah. “Serius kamu?”
“Berarti literally dia sejajar sama panggung, dong?” Tangan Tiffany bergerak sambil memeragakan posisi tempat duduk Kevin dengan panggung.
“I—iya, Bu.”
“Mampus lo, Fan!” gerutu Tiffany dalam hati.
***
“Lu cari masalah ya sama gua! Berani-beraninya lu malu-maluin Fany di depan banyak orang! Lu masih waras?” gerutu Satria sambil menyetir mobilnya.
Rina membungkam. Ia terus terisak di jok belakang sementara suaminya tak henti merutuk dengan emosi yang tidak kunjung mereda.
“Udah gua bilang, jangan sedikit pun ngusik hubungan gua sama Fany!”
“Mau sekeras apa pun usaha lu buat misahin gua sama Fany, lu nggak akan pernah bisa Rin!”
“Lagian kenapa sih lu ribet-ribet ngurusin hubungan gua sama Fany! Toh transferan pun lancar, kan? Gua kasih lu jatah bulanan, duit buat anak-anak juga lancar! Lu kagak usah khawatir soal urusan duit!” Satria kian mengeraskan suaranya memenuhi kepenatan di mobil.
“Lagian hampir semua duit gua, gua gelontorin buat urusan rumah! Kagak ada tuh sepeser pun yang gua pake buat Fany! Jadi lu kagak usah bertingkah aneh-aneh!”
Sekilas ia menyempatkan dirinya untuk melihat Rina melalui spion dalam. “Ini tuh masalah hati, lu kagak usah ikut campur!”
“Justru karena masalah hati, Mas! Aku itu istri kamu! Seharusnya kamu bisa jaga perasaan aku!” balas Rina dengan suara yang bergetar.
Satria menyeringai kesal. Wajahnya memerah disertai urat-urat pada pelipisnya tampak menonjol.
“Jangan pernah lu bahas-bahas soal urusan perasaan di antara kita!”
“Tapi kan ak—”
“Gua nggak pernah minta lu buat punya perasaan sama gua!”
***
Tiffany mengerutkan keningnya di depan jendela sambil mengintip parkiran kafe dari sela-sela gorden.
“Dia pake baju apa, Her?” tanya Tiffany untuk yang ke sekian kalinya tanpa mengalihkan pandangannya ke arah parkiran.
“Saya lupa, Bu. Pokoknya dia pake topi sama masker.”
Heru ikut mengintip dari sisi jendela yang satu lagi.
Tiffany menjentik bibir. Sebenarnya ia merasa enggan untuk melakukan hal konyol ini. Namun, rasa penasarannya untuk melihat Kevin secara langsung mengalahkan segala perasaan getirnya.
Bagaimanapun, ia merasa penasaran dengan keadaan pria yang sudah belasan tahun tidak dijumpainya itu.
“Oooh, itu Her?” seru Tiffany dengan mata membulat.
“Nah, itu Bu.” Heru mengangguk tanpa melepaskan pandangan.
“Eumm,” gumam Tiffany sambil mengangguk kecil. Beberapa kali ia menelan ludahnya menahan perasaan tegang. Hingga tak lama setelah itu ia pun segera menutup gordennya rapat-rapat dan berlalu dari jendela.
“Ibu penggemarnya, ya?” celetuk Heru setelah Tiffany kembali duduk di depan mejanya.
Tiffany sontak menyeringai terkejut.
“Enggak,” balasnya menunjukkan keengganan.
“Memangnya kenapa?” tanya Tiffany penasaran.
“Oh, tidak apa-apa Bu. Saya hanya menebak saja.” Heru tersenyum kecil sambil menggaruk tengkuknya.
“Enggak kok, saya nggak ngefans sama dia. Saya juga nggak kenal sama karya-karyanya,” ketus Tiffany dengan sinis.
Heru mengangguk dengan segan sementara Tiffany tampak tengah menimbang-nimbang sesuatu.
“Kamu nggak perlu kasih tau siapa-siapa ya soal Kevin yang dateng ke sini.”
“M—maksudnya jangan dikasih tau kepada siapa, Bu?”
Tiffany menggerakkan bola matanya dengan canggung. “Ya siapa pun itu. Apalagi Satria.”
Heru bergeming, benaknya spontan bertanya-tanya akan kaitan Kevin dan Satria.
Tiffany melirik Heru dengan ekor matanya. “Urusannya bakalan ribet kalau Satria sampe tau ada artis yang liat kejadian tadi. Apalagi artis Korea,” tambah Tiffany sebelum ia menelan ludahnya lagi.
“Ooooh, iya-iya Bu. Siap,” balas Heru sambil mengangguk-angguk paham.
Usai menghabiskan waktu petangnya di Stars Peach Caffe, Kevin segera beranjak ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan dua manajer barunya. “Jadi, apa yang harus saya lakukan besok?” tanya Kevin dengan datar. Baru saja dirinya duduk di kursi restoran, ia langsung melontarkan pertanyaan serius itu dengan sepihak. Kedua manajer dan asisten barunya pun hanya bisa mengehela napas pasrah. Watak Kevin yang begitu apatis dan keras kepala akan membuat siapa pun terpaksa memakluminya, bahkan CEO dari agensinya sekalipun. “Untuk besok pagi kamu akan syuting sebagai bintang tamu di program talkshow yang tayang di channel youtube milik Dimas Prasetya.” Juna, majaner pribadi baru Kevin yang berusia satu tahun lebih muda darinya menjawab pertanyaan Kevin dengan tak kalah ketus. Sesekali ia melirikkan matanya menuju salindia yang diproyeksikan pada layar proyektor di salah satu meeting room restoran itu. “Program talkshow ini dipandu oleh Dima
Suasana di dalam studio seketika tergugah ketika Kevin baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam tempat itu. Para kru wanita dari program Dimas Talkshow pun sejurus memberikan senyum malunya.Beberapa kali Kevin membungkukkan badannya saat berpapasan dengan para kru program talkshow tersebut.Setelah sampai di ruang tunggu, akhirnya ia pun bertemu dengan pemilik acara sekaligus kanal youtube-nya, Dimas Prasetya.Pria berwajah kecil dengan kacamata metal round yang bertengger di hidungnya itu segera bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Kevin. Ia membungkukkan badannya mengikuti Kevin sebelum akhirnya keduanya mengulurkan tangan untuk saling berjabatan.“Dimas,” ujar sang pemilik acara saat memperkenalkan dirinya dengan senyum ramah khasnya.“Kevin.” Kevin mengangguk kecil.Dimas segera mempersilakan Kevin untuk duduk di salah satu bangku yang masih kosong, sementara seorang kru
Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”Satria sejenak menoleh pada Tiffany.“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa
Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah