“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya.
“Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang.
“Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.”
Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya.
“Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren.
***
Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak seperti yang lain, Kevin tidak mengambil buku menu itu. Ia hanya melamun dengan salah satu tangannya mencengkeram ujung dudukan kursi, sementara yang satunya memegangi dada.
Keringat dingin kembali mengucur pada pelipisnya. Kevin terus mencoba bernapas dengan tenang. Akan tetapi, lama-kelamaan napasnya berbunyi dan membuat ketiga pria yang ada di meja itu menyadari bahwa Kevin tengah kepayahan dengan tubuhnya.
“Kamu kenapa?” tanya Reyhan.
“Vin?” Juna ikut bertanya dengan raut di dahi.
Kevin benar-benar kesulitan bernapas sehingga ia hanya dapat berisyarat dengan menggerakkan mulutnya. Dengan gerak-gerik tangannya pula Kevin meminta segelas air minum.
Hilman sang bodyguard bertubuh tegap pun segera mengikuti waiter yang lekas berlalu mengambilkan air minum dari dapur.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba dua orang wanita datang dari arah pintu utama. Yang satu terlihat sederhana dengan dengan pakaian kasualnya, sedangkan yang satunya lagi begitu elegan layaknya seorang wanita karir dengan kemeja blouse dan riasan mata tegas yang makin memperindah almond eyes-nya. Ditambah pula dengan warna lisptik merahnya yang membuat kesan seksi dan dewasa pada bibirnya.
“Eh, siapa tuh? Kenapa, ya?” gumam Lauren saat melihat dua pria yang berdiri dengan cemas di samping Kevin yang duduk membelakanginya.
Tiffany melongo dan menggelengkan kepalanya. Perhatiannya langsung tertuju pada bahu Kevin yang naik turun seperti kehabisan napas.
“Juna?” gumam Tiffany sambil memicingkan matanya.
Dengan langkah yang lebar, Tiffany pun langsung menghampiri meja itu, disusul oleh Lauren. Kedatangannya di meja itu bersamaan dengan bodyguard yang mengambilkan air putih untuk Kevin.
“Juna?” gumam Tiffany sebelum ia sampai di meja itu.
“Fany?” sahut Juna.
Juna tampak begitu lega setelah melihat Tiffany.
“Kenap—”
Tiffany sontak terkejut saat melihat wajah Kevin yang tengah duduk dan sesak napas di samping Juna. Jantungnya hampir saja copot.
Begitu pula dengan Kevin, pria itu bahkan nyaris tersedak saat melihat sosok Tiffany yang berdiri tepat di hadapannya.
Kedua pasang mata itu pun akhirnya saling bertemu. Kevin kehilangan kesanggupan untuk menahan kesedihan di matanya, sementara Tiffany melongo dengan perasaan cemas dan gugup.
“K—kevin?” gumam Tiffany dengan begitu lirih.
Tiffany sontak mengalihkan pandangannya pada Juna.
“Kevin?” gumamnya dengan suara yang gemetar, meminta penegasan dari Juna.
“Kita baru datang ke sini, tapi tiba-tiba dia sesak napas kayak gitu,” tandas Juna dengan kerutan di dahi.
Tiffany kembali melirik Kevin dengan sorot mata yang begitu khawatir. Perasaan marah sekaligus cemas seketika bergelut saat itu juga.
“Kursi roda? Tolong cepet bawa ke sini,” pinta Tiffany pada waiter yang segera berlalu untuk mengambilkan kursi roda.
“Di ruangan gue ada oksigen, ke sana aja, ya? Takutnya—”
"I—iya, Fan," jawab Juna.
Beberapa kali Tiffany melirik Kevin yang rupanya belum juga melepaskan tatapan pada dirinya.
Kesedihan kian terpancar dari mata Kevin, namun tak ada yang menyadari jika kesedihan itu bukan semata-mata muncul atas rasa sesak yang ia rasakan.
Kevin pun segera dibopong untuk duduk di kursi roda yang dibawakan oleh waiter. Mereka segera beranjak ke ruangan yang dimaksud oleh Tiffany.
Sementara itu, Lauren tak ikut mengantarkan Kevin dan yang lainnya. Ia memilih untuk menunggunya di bawah sambil membuka ponsel. Memang sebaiknya orang yang sedang mengalami sesak napas itu berada di ruangan yang tidak ditempati oleh banyak orang, bukan?
Setelah sampai di ruangan pribadinya, Tiffany segera mengambilkan masker oksigen dari laci mejanya. Dengan gerakan tangan yang gesit ia pun segera memasangkannya pada tabung oksigen. Jemarinya begitu lihai saat menyalakan tabung oksigen layaknya seorang perawat.
“It’s okay, Fan,” gumam Tiffany dalam batinnya sebelum ia melangkah mendekati Kevin dan memasangkan masker oksigen itu pada hidung Kevin.
Tiffany, sang pemilik restoran itu pun merendahkan posisi tubuhnya di hadapan Kevin yang kini sudah duduk di sofa. Ia lantas menaikturunkan tangannya, memberikan aba-aba kepada Kevin untuk bernapas mengikuti tempo gerakan tangannya.
“Tarik napas lewat pernapasan perut, keluarin lewat mulut. Oke?” ucap Fany sambil menggerakkan tangannya, sementara Kevin mengangguk mengiyakan.
Kedua pasang matanya lagi-lagi bertemu. Ada banyak makna yang bersembunyi di balik tatapan itu. Terutama Kevin, matanya seolah tersihir dan hanya mampu berkedip beberapa kali saja. Ia benar-benar jatuh pada sorot mata Tiffany. Bahkan, di antara sekian banyak wanita Korea Selatan yang ia temui, tak ada satu pun yang dapat membuatnya seperti itu.
Beberapa lama setelah itu, akhirnya Kevin mulai bisa bernapas dengan stabil dengan memberikan anggukan pada Tiffany.
Tiffany membuang napas lega dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sontak Kevin pun kian dibuat terpesona olehnya, lantas ia membalas senyum wanita itu dengan ragu-ragu.
Kevin masih tak menyangka jika sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Tiffany, wanita yang kini memperlakukannya dengan begitu baik. Bahkan tanpa ragu duduk bersimpuh di hadapannya.
“Pake aja dulu, jangan langsung dilepas,” ujar Tiffany menunjuk masker oksigennya.
Kevin mengangguk. “Makasih"
“Thanks banget, Fan. Gue nggak tau gimana jadinya kalau tadi lo nggak dateng,” sambung Juna yang berdiri di samping sofa.
Tiffany tersenyum menanggapi keduanya.
“Gue curiga lo kuliah ngambil dua prodi,” gurau Juna yang mencoba mencairkan suasana.
Tiffany tertawa sambil menggelengkan kepalanya, “Ajaib banget kalau gue double degree, satu aja udah kayak anak ilang."
“Haha, gue yakin sih kalau lo punya gelar sarjana keperawatan,” lanjut Juna.
Reyhan ikut tertawa, sementara Kevin bergeming mencoba memahami perbincangan mereka.
Tiffany melirik Kevin, tiba-tiba rasa cemas dan malunya kembali, membuatnya merasa ciut di hadapan Kevin. Tatapan pria itu membuatnya teringat pada sosok Kevin yang begitu dingin dan kaku.
Seperti kebetulan yang menyelematkan, Reyhan mendekati Kevin dan memberikannya segelas air minum sehingga Tiffany bisa sementara keluar dari rasa canggungnya pada tatapan Kevin.
“By the way, lo ke mana aja sih Jun? Sombong banget perasaan,” gurau Tiffany saat berjalan menuju mejanya.
Kevin dibuat terkejut oleh ucapan itu. Lebih tepatnya, mengapa bukan dia yang ditanya seperti itu?
“Yeh … Bukannya gue sombong. Tapi emang waktunya aja yang suka bentrok. Waktu gue bisa, lo yang malah nggak bisa.”
“Ih emang sih lo tuh orang sibuk banget ya,” olok Tiffany sambil terkekeh saat ia duduk di meja kerjanya.
“Lo juga sama aja kali.” Juna berjalan menuju salah satu kursi meja makan yang ada di seberang Tiffany.
“Eh, kok lo nyimpen tabung oksigen, sih? Lo punya—” Juna mengipaskan tangannya di depan dada.
Tiffany terkekeh. “Enggak!"
“Kenapa, ya …” gumamnya, “ya gue jaga-jaga aja, sih. Takutnya kan ada sesuatu yang nggak terduga. Kayak sekarang?”
Juna mengangguk-angguk, sementara Kevin tetap bergeming sambil mengamati wajah Tiffany yang tak banyak berubah setelah belasan tahun lamanya tak bertemu.
Sementara itu, Reyhan ikut duduk di samping Kevin. Asisten itu merasa begitu gugup untuk berada di sana, lantaran ia adalah penggemar berat Tiffany dan band-nya.
“Iya juga yah … Tadi juga tiba-tiba sih dia sesak.” Juna dan Tiffany sama-sama melihat ke arah Kevin.
“Oh ya, Vin. Kenalin, dia Tiffany. Teman yang saya maksud tadi,” ucap Juna.
Mendengar ucapan Juna, Tiffany sontak tergemap. Jangan-jangan Juna sudah mengetahui skandal yang baru saja menimpa dirinya dan memberitahu Kevin soal itu.
Tiffany benar-benar malu hingga rasanya ingin bersembunyi dari orang-orang yang ada di sana. Ia hanya bisa tersenyum, meskipun sebenarnya ia begitu cemas dan tak berani lagi melihat ke arah Kevin.
Kevin melihat Tiffany dengan canggung. Ia bingung dengan apa yang harus dikatakannya. Berjabat tangan kah? Namun, dia kan memang sudah mengenali Tiffany, bahkan sejak belasan tahun silam.
Sementara itu, Tiffany sama sekali tak memikirkan apa yang tengah ada di pikiran Kevin. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah harga dirinya di hadapan Kevin atas skandal yang ia buat kemarin.
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya
“Kalau seperti ini terus, kita harus segera check up,” tegas Juna. Ia berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di samping Kevin yang tengah duduk di kursi kerjanya. Kevin memijiti tengkuknya. “Tidak perlu. Saya hanya kelelahan, bukan apa-apa.” Juna mendengkus seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Kamu nggak usah berdalih lagi. Saya sudah tau dari Reyhan, kalau kamu itu memang sering muntah-muntah seperti tadi.” Kevin mati kutu, ia tidak dapat berkutik membalas ucapan Juna. Memang benar jika selama berada di Indonesia, Reyhan kerap mendapati Kevin sedang kepayahan mengeluarkan isi perutnya. Pada awalnya, Reyhan mengira bahwa Kevin hanya sedang kelelahan atau mabuk alkohol. Namun, setelah ia menyadari bahwa hal itu terjadi berulang dengan frekuensi yang cukup tinggi, akhirnya Reyhan memutuskan untuk memberitahu Juna. “Kamu sakit apa? Maag?” Kevin terdiam, ia cukup terkejut dengan pertanyaan Juna. Sejenak Kevin berpikir keras untuk mendapatkan jawaban yang tepat, hingga a
“Loh, kok seperti itu ya, Bu? Kita kan sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerjasamanya,” protes Heru.Ia berusaha untuk tetap berbicara dengan santun, meskipun sebenarnya sudah begitu kesal pada wanita yang kini tengah mengibas-ngibaskan kipas di depannya.“Iya, saya juga sebenarnya jadi merasa tidak enak sama Bapak.”“Ya kalau begitu kenapa Ibu harus membatalkan kerjasamanya dengan sebelah pihak seperti ini?”“Maaf, tapi kita masih dalam tahap perencanaan Pak, belum sampai pada kesepakatannya.” Angela, sosialita berpenampilan glamour yang lengkap dengan kalung dan cincin berliannya itu dengan elegan menginterupsi pernyataan Heru.Heru mengangguk dan menarik napas panjang. “Ya, saya salah berbicara.”“Jadi apa yang sudah membuat Ibu berubah pikiran terhadap rencana kerjasama ini?”Angela menyimpan kipasnya di atas meja. Sosialita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Heru. Ia tampak berpikir beberapa saat.“Bos kamu.”Heru agak menarik kepalanya ke bel
“Tadi pagi si Juna nelpon soal apa, Fan?” tanya Satria yang tengah mengemudikan mobilnya sambil mengunyah dimsum di dalam mulutnya. Tiffany tertegun dengan mulut yang melongo. “Eum?” Ia berlagak tidak menangkap suara Satria dengan jelas. “Tadi Juna nelpon soal apa?” “Oooh,” sahut Tiffany sebelum membuang mukanya ke jendela sambil mengerutkan dahinya. “Itu … dia lagi ngurusin artisnya.” “Artis? Lu artisnya?” tanya Satria bersandiwara tidak mengetahui apa-apa. “Ya bukan lah. Gue kan nggak ikut agensi gitu-gitu, Sat. Lo ngaco deh nanyanya.” Satria tertawa kecil. “Ya terus kenapa nelpon lu? Kan lu nggak ada kaitannya sama agensi-agensi begituan.” Tiffany melirik Satria dengan tajam sambil menyidik raut wajahnya. “Kenapa?” Satria bertanya. Tiffany menggelengkan kepalanya dan kembali menyuapi Satria. Beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama membisu sebelum akhirnya Tiffany selesai dengan pikirannya. “Lo beneran nggak tau? Apa lagi pura-pura nggak tau?” tanya Tiffany sambil men