Share

#BAB 7

“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya.

“Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang.

“Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.”

Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya.

“Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren.

***

Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang.  Namun, tak seperti yang lain, Kevin tidak mengambil buku menu itu. Ia hanya melamun dengan salah satu tangannya mencengkeram ujung dudukan kursi, sementara yang satunya memegangi dada.

Keringat dingin kembali mengucur pada pelipisnya. Kevin terus mencoba bernapas dengan tenang. Akan tetapi, lama-kelamaan napasnya berbunyi dan membuat ketiga pria yang ada di meja itu menyadari bahwa Kevin tengah kepayahan dengan tubuhnya.

“Kamu kenapa?” tanya Reyhan.

“Vin?” Juna ikut bertanya dengan raut di dahi.

Kevin benar-benar kesulitan bernapas sehingga ia hanya dapat berisyarat dengan menggerakkan mulutnya. Dengan gerak-gerik tangannya pula Kevin meminta segelas air minum.

Hilman sang bodyguard bertubuh tegap pun segera mengikuti waiter yang lekas berlalu mengambilkan air minum dari dapur.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba dua orang wanita datang dari arah pintu utama. Yang satu terlihat sederhana dengan dengan pakaian kasualnya, sedangkan yang satunya lagi begitu elegan layaknya seorang wanita karir dengan kemeja blouse dan riasan mata tegas yang makin memperindah almond eyes-nya. Ditambah pula dengan warna lisptik merahnya yang membuat kesan seksi dan dewasa pada bibirnya.

“Eh, siapa tuh? Kenapa, ya?” gumam Lauren saat melihat dua pria yang berdiri dengan cemas di samping Kevin yang duduk membelakanginya.

Tiffany melongo dan menggelengkan kepalanya. Perhatiannya langsung tertuju pada bahu Kevin yang naik turun seperti kehabisan napas.

“Juna?” gumam Tiffany sambil memicingkan matanya.

Dengan langkah yang lebar, Tiffany pun langsung menghampiri meja itu, disusul oleh Lauren. Kedatangannya di meja itu bersamaan dengan bodyguard yang mengambilkan air putih untuk Kevin.

“Juna?” gumam Tiffany sebelum ia sampai di meja itu.

“Fany?” sahut Juna.

Juna tampak begitu lega setelah melihat Tiffany.

“Kenap—”

Tiffany sontak terkejut saat melihat wajah Kevin yang tengah duduk dan sesak napas di samping Juna. Jantungnya hampir saja copot.

Begitu pula dengan Kevin, pria itu bahkan nyaris tersedak saat melihat sosok Tiffany yang berdiri tepat di hadapannya.

Kedua pasang mata itu pun akhirnya saling bertemu. Kevin kehilangan kesanggupan untuk menahan kesedihan di matanya, sementara Tiffany melongo dengan perasaan cemas dan gugup.

“K—kevin?” gumam Tiffany dengan begitu lirih.

Tiffany sontak mengalihkan pandangannya pada Juna.

“Kevin?” gumamnya dengan suara yang gemetar, meminta penegasan dari Juna.

“Kita baru datang ke sini, tapi tiba-tiba dia sesak napas kayak gitu,” tandas Juna dengan kerutan di dahi.

Tiffany kembali melirik Kevin dengan sorot mata yang begitu khawatir. Perasaan marah sekaligus cemas seketika bergelut saat itu juga.

“Kursi roda? Tolong cepet bawa ke sini,” pinta Tiffany pada waiter yang segera berlalu untuk mengambilkan kursi roda.

“Di ruangan gue ada oksigen, ke sana aja, ya? Takutnya—”

"I—iya, Fan," jawab Juna.

Beberapa kali Tiffany melirik Kevin yang rupanya belum juga melepaskan tatapan pada dirinya.

Kesedihan kian terpancar dari mata Kevin, namun tak ada yang menyadari jika kesedihan itu bukan semata-mata muncul atas rasa sesak yang ia rasakan.

Kevin pun segera dibopong untuk duduk di kursi roda yang dibawakan oleh waiter. Mereka segera beranjak ke ruangan yang dimaksud oleh Tiffany.

Sementara itu, Lauren tak ikut mengantarkan Kevin dan yang lainnya. Ia memilih untuk menunggunya di bawah sambil membuka ponsel. Memang sebaiknya orang yang sedang mengalami sesak napas itu berada di ruangan yang tidak ditempati oleh banyak orang, bukan?

Setelah sampai di ruangan pribadinya, Tiffany segera mengambilkan masker oksigen dari laci mejanya. Dengan gerakan tangan yang gesit ia pun segera memasangkannya pada tabung oksigen. Jemarinya begitu lihai saat menyalakan tabung oksigen layaknya seorang perawat.

“It’s okay, Fan,” gumam Tiffany dalam batinnya sebelum ia melangkah mendekati Kevin dan memasangkan masker oksigen itu pada hidung Kevin.

Tiffany, sang pemilik restoran itu pun merendahkan posisi tubuhnya di hadapan Kevin yang kini sudah duduk di sofa. Ia lantas menaikturunkan tangannya, memberikan aba-aba kepada Kevin untuk bernapas mengikuti tempo gerakan tangannya.

“Tarik napas lewat pernapasan perut, keluarin lewat mulut. Oke?” ucap Fany sambil menggerakkan tangannya, sementara Kevin mengangguk mengiyakan.

Kedua pasang matanya lagi-lagi bertemu. Ada banyak makna yang bersembunyi di balik tatapan itu. Terutama Kevin, matanya seolah tersihir dan hanya mampu berkedip beberapa kali saja. Ia benar-benar jatuh pada sorot mata Tiffany. Bahkan, di antara sekian banyak wanita Korea Selatan yang ia temui, tak ada satu pun yang dapat membuatnya seperti itu.

Beberapa lama setelah itu, akhirnya Kevin mulai bisa bernapas dengan stabil dengan memberikan anggukan pada Tiffany.

Tiffany membuang napas lega dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sontak Kevin pun kian dibuat terpesona olehnya, lantas ia membalas senyum wanita itu dengan ragu-ragu.

Kevin masih tak menyangka jika sosok wanita yang ada di hadapannya saat ini adalah Tiffany, wanita yang kini memperlakukannya dengan begitu baik. Bahkan tanpa ragu duduk bersimpuh di hadapannya.

“Pake aja dulu, jangan langsung dilepas,” ujar Tiffany menunjuk masker oksigennya.

Kevin mengangguk. “Makasih"

“Thanks banget, Fan. Gue nggak tau gimana jadinya kalau tadi lo nggak dateng,” sambung Juna yang berdiri di samping sofa.

Tiffany tersenyum menanggapi keduanya.

“Gue curiga lo kuliah ngambil dua prodi,” gurau Juna yang mencoba mencairkan suasana.

Tiffany tertawa sambil menggelengkan kepalanya, “Ajaib banget kalau gue double degree, satu aja udah kayak anak ilang."

“Haha, gue yakin sih kalau lo punya gelar sarjana keperawatan,” lanjut Juna.

Reyhan ikut tertawa, sementara Kevin bergeming mencoba memahami perbincangan mereka.

Tiffany melirik Kevin, tiba-tiba rasa cemas dan malunya kembali, membuatnya merasa ciut di hadapan Kevin. Tatapan pria itu membuatnya teringat pada sosok Kevin yang begitu dingin dan kaku.

Seperti kebetulan yang menyelematkan, Reyhan mendekati Kevin dan memberikannya segelas air minum sehingga Tiffany bisa sementara keluar dari rasa canggungnya pada tatapan Kevin.

“By the way, lo ke mana aja sih Jun? Sombong banget perasaan,” gurau Tiffany saat berjalan menuju mejanya.

Kevin dibuat terkejut oleh ucapan itu. Lebih tepatnya, mengapa bukan dia yang ditanya seperti itu?

“Yeh … Bukannya gue sombong. Tapi emang waktunya aja yang suka bentrok. Waktu gue bisa, lo yang malah nggak bisa.”

“Ih emang sih lo tuh orang sibuk banget ya,” olok Tiffany sambil terkekeh saat ia duduk di meja kerjanya.

“Lo juga sama aja kali.” Juna berjalan menuju salah satu kursi meja makan yang ada di seberang Tiffany.

“Eh, kok lo nyimpen tabung oksigen, sih? Lo punya—” Juna mengipaskan tangannya di depan dada.

Tiffany terkekeh. “Enggak!"

“Kenapa, ya …” gumamnya, “ya gue jaga-jaga aja, sih. Takutnya kan ada sesuatu yang nggak terduga. Kayak sekarang?”

Juna mengangguk-angguk, sementara Kevin tetap bergeming sambil mengamati wajah Tiffany yang tak banyak berubah setelah belasan tahun lamanya tak bertemu.

Sementara itu, Reyhan ikut duduk di samping Kevin. Asisten itu merasa begitu gugup untuk berada di sana, lantaran ia adalah penggemar berat Tiffany dan band-nya.

“Iya juga yah … Tadi juga tiba-tiba sih dia sesak.” Juna dan Tiffany sama-sama melihat ke arah Kevin.

“Oh ya, Vin. Kenalin, dia Tiffany. Teman yang saya maksud tadi,” ucap Juna.

Mendengar ucapan Juna, Tiffany sontak tergemap. Jangan-jangan Juna sudah mengetahui skandal yang baru saja menimpa dirinya dan memberitahu Kevin soal itu.

Tiffany benar-benar malu hingga rasanya ingin bersembunyi dari orang-orang yang ada di sana. Ia hanya bisa tersenyum, meskipun sebenarnya ia begitu cemas dan tak berani lagi melihat ke arah Kevin.

Kevin melihat Tiffany dengan canggung. Ia bingung dengan apa yang harus dikatakannya. Berjabat tangan kah? Namun, dia kan memang sudah mengenali Tiffany, bahkan sejak belasan tahun silam.

Sementara itu, Tiffany sama sekali tak memikirkan apa yang tengah ada di pikiran Kevin. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah harga dirinya di hadapan Kevin atas skandal yang ia buat kemarin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status