Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.
Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.
“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.
Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.
“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.
Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”
“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala Tiffany yang kemudian segera disingkirkan oleh wanita itu.
“Lo tuh paham nggak sih perasaan gue?” tanya Tiffany yang tampak begitu kesal.
Satria spontan mengerutkan dahi setelah ia memajukan wajahnya mendekati wajah Tiffany.
Tiffany berdecak sambil membuang mukanya lagi dari Satria. “Gue tuh cape, Sat! Gue selalu dihantui rasa bersalah sama istri lo!”
Tiffany menghentikan ucapannya. Dadanya mulai sesak menahan tangis.
“Tapi kenapa gue tuh nggak pernah bisa—”
“Fan,” potong Satria. “Jangan bicara soal itu.”
“Kenapa? Karena lo nggak suka? Iya, lo emang nggak pernah suka kalau gue ngebahas siapa pun selain kita! Bahkan lo tuh nggak pernah suka ngeliat gue bahagia selama gua pacaran sama Dimas, kan? Lo nggak pernah suka kalau gue menaruh hati ke orang lain,” gerutu Tiffany.
“Gue tau lo sayang sama gue, Sat .… Tapi bukan gini caranya, lo semakin membuat gue susah buat lepas dari lo. Dan lo semakin membuat gue nggak bisa ngelepasin lo!” seru Tiffany dengan suara yang bergetar. Kini ia mulai mengarahkan sorot matanya pada Satria.
“Karna memang nggak semestinya kita saling melepaskan, bukan?” tanya Satria dengan mata penuh harap, mengisyaratkan agar Tiffany tetap menautkan sorot pada matanya.
Bibir Tiffany bergetar dan matanya mulai basah. “Pikiran lo itu … semakin membuat gue tersiksa.” Ia kembali memalingkan pandangannya.
Satria menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. “Justru keras kepala dari diri lo sendiri yang membuat lo tersiksa."
Pria blasteran itu selalu merasa ketakutan setiap kali Tiffany mengungkit-ungkit masalah seperti ini. Ia takut jika wanita yang sudah menemaninya selama belasan tahun itu akan menyerah dengan hubungan yang memang seharusnya sudah tidak perlu mereka jalani lagi.
Tiffany mendengkus dan memberi senyuman sinis pada pernyataan Satria.
“Lu terlalu keras kepala buat ngejaga perasaan orang lain, sedangkan perasaan lu sendiri selalu dibiarin terambang nggak jelas. Lu terlalu mudah untuk menyerah dengan situasi yang melibatkan perasaan lu dan orang lain, Fan.”
“Kalau waktu itu lu nggak keras kepala buat mutusin hubungan kita, mungkin sekarang kita udah hidup bahagia. Kita udah punya anak, kita tinggal di satu rumah yang sama, bahkan lu bisa ngeliat gua setiap kali lu bangun dari tidur lu.” Satria terus melanjutkan ucapannya meskipun Tiffany tampak mengabaikannya.
“Kalau waktu itu lu mau berusaha sama gua untuk menentang perjodohan itu, mungkin Rina nggak bakal jadi orang yang udah mempermalukan lo sekarang ini.”
Dengan tatapan yang geram Tiffany kembali menoleh pada Satria. “Dan kalau lo bisa membuka hati sama mata lo buat ngeliat kenyataan bahwa Rina itu istri lo, ibu dari anak-anak lo … mungkin lo nggak bakalan terus mendesak gue, bahkan lo nggak bakal berani buat nyentuh gue lagi, dan mungkin seharusnya kejadian kemarin nggak akan pernah terjadi!”
Tiffany bangkit dan segera berlalu meninggalkan Satria.
Namun, beberapa langkah sebelum Tiffany benar-benar meninggalkan ruangan itu, ia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Satria. Ia lantas melihat sorot mata Satria yang tak pernah bisa lepas dari keberadaannya.
“Sebenernya lo tuh sadar nggak, sih? Pelukan dan kecupan lo ....” Dengan terbata-bata, ucapan Tiffany menggantung, ia tak mampu melanjutkannya dan langsung pergi sambil salah satu tangannya menutupi mulutnya yang terisak.
Satria terdiam, memikirkan perkataan Tiffany. Ia begitu marah pada dirinya sendiri hingga menjambaki rambutnya.
“Lu jangan keluar dulu, semua wartawan bakal ngincer lu!” teriak Satria.
“Masa bodo! Lo pikir gue nggak punya kerjaan lain selain kerja sama lo?” teriak Tiffany setelah benar-benar hilang dari mata Satria.
***
“Oke, saya reservasi untuk enam orang ya. Sebentar lagi saya sampai di lokasi,” pungkas Juna sebelum ia menutup teleponnya.
“Restorannya lagi nggak begitu rame,” ujarnya sambil memasukkan ponsel ke saku celana.
“Baru selesai jam istirahat.” Reyhan ikut nimbrung.
“Iya. Biasanya penuh waktu malem, banyak artis yang datang,” ujar Juna sambil menoleh pada Kevin.
Kevin mengangguk kecil. Tatapannya tertuju pada jalanan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah restoran megah di kawasan Jakarta Selatan. Restoran berarsitektur khas Belanda itu sudah tiga kali dikunjunginya bersama asisten dan manajernya, termasuk kemarin malam. Bukan keinginannya untuk kembali ke restoran itu. Kevin hanya mengikuti arahan Juna, mungkin manajernya itu memperhitungkan jarak restoran terdekat dengan lokasi studio.
Setelah mobil terparkir di basement restoran, Kevin segera turun dari mobilnya. Ia berjalan memasuki restoran sambil mengamati arsitektur restoran itu dengan begitu detail sampai memicingkan matanya. Sorot matanya selalu tak bisa menutupi kekagumannya pada restoran itu. Namun, makin ia mengaguminya, makin pula napasnya tak teratur.
“Sebenarnya restoran ini milik teman kuliah saya,” ujar Juna yang tergesa menyusul langkah Kevin.
Kevin tak menggubris ucapan manajernya itu. Ia memang bukan orang yang suka basa-basi jika bukan tuntutan pekerjaannya.
“Tiffany,” lanjut personal manager-nya itu.
Deg!
Kevin sontak menghentikan langkahnya. Di saat itu pula dadanya tersentak seperti nyaris tak berdetak lagi. Kepalanya seketika berdenyut begitu kencang hingga rasanya akan pecah. Ia tak habis pikir jika nama itu masih juga mengganggu pikirannya, berturut-turut terus menguak memorinya setengah hari ini.
Kevin menghela napasnya dalam-dalam. Ia memutar bola matanya dengan sinis sambil mengerutkan keningnya dengan raut wajah yang bergetar. “Tiffany?”
Juna mengangguk dengan heran. Ia bingung dengan ekspresi Kevin yang mendadak berubah hingga menghentikan langkahnya dengan kasar.
Kevin membisu tak melanjutkan ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Kevin kembali menghela napasnya hingga rongga dadanya benar-benar mengembang. “Apa nama itu memang pasaran? Sampai-sampai seharian ini rasanya telinga saya bosan mendengar nama itu.”
“Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan nama Tiffany?” tanya Juna keheranan, sementara Reyhan dan bodyguard Kevin hanya mengamatinya dengan kening berkerut.
Juna menaikkan bahunya. “Kamu tidak tau Tiffany itu siapa?”
Kevin tak menjawab, ia langsung melanjutkan langkahnya dengan cepat tanpa mengamati arsitektur restoran itu lagi. Napasnya tidak teratur sampai ia menempelkan kepalan tangannya di dada. Udara yang keluar masuk dari mulutnya itu seperti begitu terbatas hingga tidak mampu mengisi kapasitas paru-parunya yang sesak.
“Tiffany itu vokalis band papan atas, jadi ya wajar saja kalau kamu sering dengar namanya.” Juna berteriak sambil menyusul langkah Kevin, diikuti Reyhan dan bodyguard-nya.
“Saya rasa dia memang tidak pernah iseng-iseng mencari tahu soal dunia entertainment di sini,” ujar Reyhan pada Juna.
Selama satu bulan menjadi asisten pribadi Kevin, Reyhan memang jarang sekali melihat Kevin begitu lama menatap layar ponselnya layaknya orang-orang pada umumnya. Bahkan, jika Reyhan disuruh menebak, maka dapat ia perkirakan jika Kevin tidak memiliki kekasih, bahkan kedekatan dengan satu wanita pun.
Juna tersenyum kecil dengan raut yang masih tak habis pikir.
“Saya rasa dia itu salah satu kenyataan keberadaan manusia modern yang primitif.”
“Lo serius nggak bakalan ada wartawan di sana?” tanya Tiffany dengan skeptis sambil mengaplikasikan eyeshadow berwarna nude pada kelopak matanya. “Nggak ada, udah gue pastiin nggak bakalan ada wartawan yang ke sana,” sahut Lauren sambil menoleh ke kursi belakang. “Udah, lo tenang aja, udah gue atur semuanya. Mereka nggak bakalan dateng ke restoran, palingan juga ke kafe.” Tiffany hanya bergumam menanggapi penegasan Lauren. Ia tengah fokus pada riasan wajahnya. Jarang-jarang sekali Tiffany berdandan dengan make-up bold seperti saat ini. Ia sendiri pun merasa begitu geli saat melihat dirinya dari pantulan cermin, tampak lebih tua dari biasanya. “Pokoknya entar lo diem aja di ruangan lo, jangan ke mana-mana lagi. Kelar deh,” tegas Lauren. *** Di salah satu meja restoran berarsitektur khas Belanda, Kevin duduk bersama dengan ketiga pria lainnya. Seorang waiter berseragam rapi pun segera menyambut kedatangan mereka dan memberikan buku menu pada masing-masing orang. Namun, tak sepert
“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!” “Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria. “Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!” Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!" "Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya. Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!" "Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri. “Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fa
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya
“Kalau seperti ini terus, kita harus segera check up,” tegas Juna. Ia berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di samping Kevin yang tengah duduk di kursi kerjanya. Kevin memijiti tengkuknya. “Tidak perlu. Saya hanya kelelahan, bukan apa-apa.” Juna mendengkus seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Kamu nggak usah berdalih lagi. Saya sudah tau dari Reyhan, kalau kamu itu memang sering muntah-muntah seperti tadi.” Kevin mati kutu, ia tidak dapat berkutik membalas ucapan Juna. Memang benar jika selama berada di Indonesia, Reyhan kerap mendapati Kevin sedang kepayahan mengeluarkan isi perutnya. Pada awalnya, Reyhan mengira bahwa Kevin hanya sedang kelelahan atau mabuk alkohol. Namun, setelah ia menyadari bahwa hal itu terjadi berulang dengan frekuensi yang cukup tinggi, akhirnya Reyhan memutuskan untuk memberitahu Juna. “Kamu sakit apa? Maag?” Kevin terdiam, ia cukup terkejut dengan pertanyaan Juna. Sejenak Kevin berpikir keras untuk mendapatkan jawaban yang tepat, hingga a
“Loh, kok seperti itu ya, Bu? Kita kan sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerjasamanya,” protes Heru.Ia berusaha untuk tetap berbicara dengan santun, meskipun sebenarnya sudah begitu kesal pada wanita yang kini tengah mengibas-ngibaskan kipas di depannya.“Iya, saya juga sebenarnya jadi merasa tidak enak sama Bapak.”“Ya kalau begitu kenapa Ibu harus membatalkan kerjasamanya dengan sebelah pihak seperti ini?”“Maaf, tapi kita masih dalam tahap perencanaan Pak, belum sampai pada kesepakatannya.” Angela, sosialita berpenampilan glamour yang lengkap dengan kalung dan cincin berliannya itu dengan elegan menginterupsi pernyataan Heru.Heru mengangguk dan menarik napas panjang. “Ya, saya salah berbicara.”“Jadi apa yang sudah membuat Ibu berubah pikiran terhadap rencana kerjasama ini?”Angela menyimpan kipasnya di atas meja. Sosialita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Heru. Ia tampak berpikir beberapa saat.“Bos kamu.”Heru agak menarik kepalanya ke bel