Share

#BAB 6

Tiffany bergeming sambil menatap ponselnya yang sedari kemarin sore belum dinyalakan. Bola matanya berputar menjelajah ke berbagai arah sambil kedua jemarinya menjentik bibir, seperti biasanya.

Jika ia mengaktifkan ponselnya, maka ia harus siap untuk menerima segala pesan yang masuk ke media sosialnya, yang tentunya akan menyinggung skandal yang tengah menyeret namanya saat ini.

“Gapapa, lu bales aja singkat-singkat. Tapi nggak perlu dibales juga gapapa sih.” Satria tiba-tiba bersuara setelah keluar dari kamar mandi.

Tiffany melirik pria berwajah blasteran itu sebelum akhirnya ia memutarkan bola matanya dengan sinis. Ia pun segera melepaskan jemari dari bibinya dan sedikit mengangkat dagunya setelah membuang mukanya dari Satria.

“Lu masih marah ya sama gua?” tanya Satria dengan lirih setelah ia duduk bersimpuh di samping Tiffany.

Tiffany mengerucutkan bibirnya yang bergetar. “Ya iyalah!”

“Iya maaf, gua salah … gua janji bakalan secepatnya selesain masalah ini.” Satria mengusap kepala Tiffany yang kemudian segera disingkirkan oleh wanita itu.

“Lo tuh paham nggak sih perasaan gue?” tanya Tiffany yang tampak begitu kesal.

Satria spontan mengerutkan dahi setelah ia memajukan wajahnya mendekati wajah Tiffany.

Tiffany berdecak sambil membuang mukanya lagi dari Satria. “Gue tuh cape, Sat! Gue selalu dihantui rasa bersalah sama istri lo!”

Tiffany menghentikan ucapannya. Dadanya mulai sesak menahan tangis.

“Tapi kenapa gue tuh nggak pernah bisa—”

“Fan,” potong Satria. “Jangan bicara soal itu.”

“Kenapa? Karena lo nggak suka? Iya, lo emang nggak pernah suka kalau gue ngebahas siapa pun selain kita! Bahkan lo tuh nggak pernah suka ngeliat gue bahagia selama gua pacaran sama Dimas, kan? Lo nggak pernah suka kalau gue menaruh hati ke orang lain,” gerutu Tiffany.

“Gue tau lo sayang sama gue, Sat .… Tapi bukan gini caranya, lo semakin membuat gue susah buat lepas dari lo. Dan lo semakin membuat gue nggak bisa ngelepasin lo!” seru Tiffany dengan suara yang bergetar. Kini ia mulai mengarahkan sorot matanya pada Satria.

“Karna memang nggak semestinya kita saling melepaskan, bukan?” tanya Satria dengan mata penuh harap, mengisyaratkan agar Tiffany tetap menautkan sorot pada matanya.

Bibir Tiffany bergetar dan matanya mulai basah. “Pikiran lo itu … semakin membuat gue tersiksa.” Ia kembali memalingkan pandangannya.

Satria menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut. “Justru keras kepala dari diri lo sendiri yang membuat lo tersiksa."

Pria blasteran itu selalu merasa ketakutan setiap kali Tiffany mengungkit-ungkit masalah seperti ini. Ia takut jika wanita yang sudah menemaninya selama belasan tahun itu akan menyerah dengan hubungan yang memang seharusnya sudah tidak perlu mereka jalani lagi.

Tiffany mendengkus dan memberi senyuman sinis pada pernyataan Satria.

“Lu terlalu keras kepala buat ngejaga perasaan orang lain, sedangkan perasaan lu sendiri selalu dibiarin terambang nggak jelas. Lu terlalu mudah untuk menyerah dengan situasi yang melibatkan perasaan lu dan orang lain, Fan.”

“Kalau waktu itu lu nggak keras kepala buat mutusin hubungan kita, mungkin sekarang kita udah hidup bahagia. Kita udah punya anak, kita tinggal di satu rumah yang sama, bahkan lu bisa ngeliat gua setiap kali lu bangun dari tidur lu.” Satria terus melanjutkan ucapannya meskipun Tiffany tampak mengabaikannya.

“Kalau waktu itu lu mau berusaha sama gua untuk menentang perjodohan itu, mungkin Rina nggak bakal jadi orang yang udah mempermalukan lo sekarang ini.”

Dengan tatapan yang geram Tiffany kembali menoleh pada Satria. “Dan kalau lo bisa membuka hati sama mata lo buat ngeliat kenyataan bahwa Rina itu istri lo, ibu dari anak-anak lo … mungkin lo nggak bakalan terus mendesak gue, bahkan lo nggak bakal berani buat nyentuh gue lagi, dan mungkin seharusnya kejadian kemarin nggak akan pernah terjadi!”

Tiffany bangkit dan segera berlalu meninggalkan Satria.

Namun, beberapa langkah sebelum Tiffany benar-benar meninggalkan ruangan itu, ia menghentikan langkahnya dan berbalik ke arah Satria. Ia lantas melihat sorot mata Satria yang tak pernah bisa lepas dari keberadaannya.

“Sebenernya lo tuh sadar nggak, sih? Pelukan dan kecupan lo ....” Dengan terbata-bata, ucapan Tiffany menggantung, ia tak mampu melanjutkannya dan langsung pergi sambil salah satu tangannya menutupi mulutnya yang terisak.

Satria terdiam, memikirkan perkataan Tiffany. Ia begitu marah pada dirinya sendiri hingga menjambaki rambutnya.

“Lu jangan keluar dulu, semua wartawan bakal ngincer lu!” teriak Satria.

“Masa bodo! Lo pikir gue nggak punya kerjaan lain selain kerja sama lo?” teriak Tiffany setelah benar-benar hilang dari mata Satria.

***

“Oke, saya reservasi untuk enam orang ya. Sebentar lagi saya sampai di lokasi,” pungkas Juna sebelum ia menutup teleponnya.

“Restorannya lagi nggak begitu rame,” ujarnya sambil memasukkan ponsel ke saku celana.

“Baru selesai jam istirahat.” Reyhan ikut nimbrung.

“Iya. Biasanya penuh waktu malem, banyak artis yang datang,” ujar Juna sambil menoleh pada Kevin.

Kevin mengangguk kecil. Tatapannya tertuju pada jalanan hingga akhirnya mereka sampai di sebuah restoran megah di kawasan Jakarta Selatan. Restoran berarsitektur khas Belanda itu sudah tiga kali dikunjunginya bersama asisten dan manajernya, termasuk kemarin malam. Bukan keinginannya untuk kembali ke restoran itu. Kevin hanya mengikuti arahan Juna, mungkin manajernya itu memperhitungkan jarak restoran terdekat dengan lokasi studio.

Setelah mobil terparkir di basement restoran, Kevin segera turun dari mobilnya. Ia berjalan memasuki restoran sambil mengamati arsitektur restoran itu dengan begitu detail sampai memicingkan matanya. Sorot matanya selalu tak bisa menutupi kekagumannya pada restoran itu. Namun, makin ia mengaguminya, makin pula napasnya tak teratur.

“Sebenarnya restoran ini milik teman kuliah saya,” ujar Juna yang tergesa menyusul langkah Kevin.

Kevin tak menggubris ucapan manajernya itu. Ia memang bukan orang yang suka basa-basi jika bukan tuntutan pekerjaannya.

“Tiffany,” lanjut personal manager-nya itu.

Deg!

Kevin sontak menghentikan langkahnya. Di saat itu pula dadanya tersentak seperti nyaris tak berdetak lagi. Kepalanya seketika berdenyut begitu kencang hingga rasanya akan pecah. Ia tak habis pikir jika nama itu masih juga mengganggu pikirannya, berturut-turut terus menguak memorinya setengah hari ini.

Kevin menghela napasnya dalam-dalam. Ia memutar bola matanya dengan sinis sambil mengerutkan keningnya dengan raut wajah yang bergetar. “Tiffany?”

Juna mengangguk dengan heran. Ia bingung dengan ekspresi Kevin yang mendadak berubah hingga menghentikan langkahnya dengan kasar.

Kevin membisu tak melanjutkan ucapannya. Matanya berkaca-kaca. Kevin kembali menghela napasnya hingga rongga dadanya benar-benar mengembang. “Apa nama itu memang pasaran? Sampai-sampai seharian ini rasanya telinga saya bosan mendengar nama itu.”

“Memangnya kenapa? Apa ada yang salah dengan nama Tiffany?” tanya Juna keheranan, sementara Reyhan dan bodyguard Kevin hanya mengamatinya dengan kening berkerut.

Juna menaikkan bahunya. “Kamu tidak tau Tiffany itu siapa?”

Kevin tak menjawab, ia langsung melanjutkan langkahnya dengan cepat tanpa mengamati arsitektur restoran itu lagi. Napasnya tidak teratur sampai ia menempelkan kepalan tangannya di dada. Udara yang keluar masuk dari mulutnya itu seperti begitu terbatas hingga tidak mampu mengisi kapasitas paru-parunya yang sesak.

“Tiffany itu vokalis band papan atas, jadi ya wajar saja kalau kamu sering dengar namanya.” Juna berteriak sambil menyusul langkah Kevin, diikuti Reyhan dan bodyguard-nya.

“Saya rasa dia memang tidak pernah iseng-iseng mencari tahu soal dunia entertainment di sini,” ujar Reyhan pada Juna.

Selama satu bulan menjadi asisten pribadi Kevin, Reyhan memang jarang sekali melihat Kevin begitu lama menatap layar ponselnya layaknya orang-orang pada umumnya. Bahkan, jika Reyhan disuruh menebak, maka dapat ia perkirakan jika Kevin tidak memiliki kekasih, bahkan kedekatan dengan satu wanita pun.

Juna tersenyum kecil dengan raut yang masih tak habis pikir.

“Saya rasa dia itu salah satu kenyataan keberadaan manusia modern yang primitif.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status