Share

#BAB 3

Usai menghabiskan waktu petangnya di Stars Peach Caffe, Kevin segera beranjak ke sebuah restoran mewah yang ada di kawasan Jakarta Selatan untuk menghadiri meeting dengan dua manajer barunya.

“Jadi, apa yang harus saya lakukan besok?” tanya Kevin dengan datar.

Baru saja dirinya duduk di kursi restoran, ia langsung melontarkan pertanyaan serius itu dengan sepihak. Kedua manajer dan asisten barunya pun hanya bisa mengehela napas pasrah.

Watak Kevin yang begitu apatis dan keras kepala akan membuat siapa pun terpaksa memakluminya, bahkan CEO dari agensinya sekalipun.

“Untuk besok pagi kamu akan syuting sebagai bintang tamu di program talkshow yang tayang di channel youtube milik Dimas Prasetya.”

Juna, majaner pribadi baru Kevin yang berusia satu tahun lebih muda darinya menjawab pertanyaan Kevin dengan tak kalah ketus. Sesekali ia melirikkan matanya menuju salindia yang diproyeksikan pada layar proyektor di salah satu meeting room restoran itu.

“Program talkshow ini dipandu oleh Dimas Prasetya sendiri.”

“Dalam satu episodenya, hanya ada satu bintang tamu. Biasanya, perbincangannya mengupas mengenai karir dan kehidupan pribadi para bintang tamunya. Di akhir segmen, ada kesempatan bagi bintang tamunya untuk mempromosikan karyanya. Dan ini sangat bisa kamu manfaatkan untuk itu.”

Pada salindia yang tengah diproyeksikan tampak halaman beranda kanal Youtube milik Dimas Prasetya dengan jumlah subscriber yang sudah mencapai tujuh juta.

“Malamnya, kamu harus memandu perekaman single terbarunya Brian,” sambung Juna sambil menggeserkan selembar kertas kepada Kevin.

“Secara garis besar, ini yang akan kamu bicarakan di program talkshow Dimas. Silakan dibaca-baca dulu,” pungkasnya.

Kevin meraih kertas yang tak lain adalah skrip dari program talkshow yang akan dibintanginya besok. Dengan gerakan mata malas, ia mulai membaca skrip itu.

Ketika sampai di pertengahan halaman, tiba-tiba keningnya berkerut. Juna yang menyadari hal itu pun segera bereaksi.

“Apa ada yang kurang dimengerti?”

Kevin menggelengkan kepalanya. “Tidak,” sahutnya membantah dugaan Juna.

“Tapi, apa bagian yang ini penting untuk di bahas?” tanya Kevin setelah kembali menggeserkan kertasnya pada Juna dan menunjuk salah satu bagian skrip yang ia maksud.

Juna memicingkan matanya, membaca dan memahami bagian yang ditunjuk oleh Kevin sebelum akhirnya ia mengangkat salah satu sudut bibirnya.

“Kamu hanya perlu sedikit membahas mengenai kisah percintaan yang pernah kamu alami. Bebas, bahkan kisah ketika kamu sekolah pun boleh.”

Juna meraih kertasnya dan sedikit menggerakkannya saat memberi penjelasan pada Kevin.

“Apa kamu begitu sensitif untuk membicarakan hal ini?” tanya Juna tanpa menunggu respons Kevin.

“Bukannya agensi kita tidak terlalu banyak ikut campur untuk pesoalan ini, ya? Jadi kamu bisa bebas untuk membicarakannya, asalkan kamu bisa menjaga nama baik.” Juna menyimpulkan senyum irit.

“Lagi pula sekarang kan kamu bekerja di Indonesia dan saat ini kamu dilirik oleh banyak pasang mata masyarakat Indonesia, sehingga lingkungan pekerjaan kamu pun akan berbeda dari yang sebelumnya.”

“Di sini penggemar kamu akan cenderung mendukung kamu untuk menjalin hubungan dengan wanita yang kamu cintai, bukannya akan menjauhi kamu,” pungkasnya.

Kevin berdecak. “Yang saya maksud bukan persoalan didukung atau tidak didukung. Tapi, yang saya tekankan adalah penting atau tidak pentingnya.”

“Saya berdedikasi di dunia hiburan ini untuk menjual karya dan kemampuan yang saya miliki. Bukan untuk kisah percintaan seperti yang Anda maksud,” tambahnya.

Kevin dan Juna yang duduk berhadapan itu saling melemparkan tatapan yang sengit. Sontak perdebatan yang terjadi di antara mereka membuat sang asisten dan road manager Kevin yang duduk di samping kanan dan kiri mereka merasa tegang.

Reyhan, asisten baru Kevin sudah sekitar satu bulan bekerja dengannya hanya bisa bergeming sambil berdoa agar Kevin segera menyudahi ketegangan itu. Ia sudah cukup mengenali watak bosnya yang begitu angkuh dan apatis.

Sementara itu, Rian, road manager baru Kevin hanya menyilangkan tangannya di depan dada, mengamati perselisihan di antara kedua pria yang sama-sama berwatak keras itu.

“Lain kali tidak usah terima pekerjaan yang membahas masalah tidak penting seperti ini.”

Kevin mengalihkan pandangannya pada layar proyektor sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Bagaimanapun juga ini adalah konsekuensi yang harus kamu tanggung jika akan seterusnya berkarir di sini,” balas Juna.

“Saya penasaran, sebenarnya sudah berapa lama Anda bekerja sebagai manager di Seon Ju Entertainment? Apa sebelumnya Anda pernah bekerja sebagai paparazi?” tanya Kevin dengan senyum sinisnya.

“Yang saya ketahui, manajer yang baik itu adalah manajer yang mampu menjaga kehidupan privasi artisnya,” sambungnya.

“Saya tidak menyuruh kamu untuk membongkar kehidupan privasi kamu secara blak-blakan.” Juna mengangkat skrip talkshow dan menunjukkannya pada Kevin.

“Dan saya juga tidak melarang kamu untuk menjawab bahwa kamu tidak memiliki kisah asmara yang menarik untuk diceritakan. Yang terpenting adalah kamu tidak menghindari dan membuat pertanyaan ini terkesan mengambang.”

Kevin memicingkan matanya dengan tajam kepada Juna. Ia cukup merasa tersinggung olehnya. Namun, ia pun tidak dapat membantah kebenaran dari pernyataan itu.

Memang benar jika saat ini dirinya belum terbiasa untuk bekerja di lingkungan pekerjaannya yang baru, terutama dengan manajer dan asisten barunya.

Bahkan, lebih jauh lagi, ia tidak yakin jika dirinya mampu terbiasa dan bertahan di Indonesia. Terutama setelah menyaksikan keributan yang terjadi di Stars Peach Cafe sore tadi.

“Seharusnya Anda sebagai manajer bisa memfilter dan menolak pekerjaan yang sekiranya membuat artisnya merasa tidak nyaman,” pungkas Kevin sebelum pelayan restoran menyajikan hidangan ke atas meja.

***

“Fany!”

“Tiffany!”

“Tiffany Adhara! Bangun, lo! Buruan!”

Dug dug dug!

“Tiffany, buruan bangun!”

“Keluar sini lo!”

“Iya bentar, berisik banget sih lo!” teriak Tiffany sambil turun dari kasurnya dengan perasaan kesal.

Ckleek.

“Apa sih, lo? Ganggu banget, sumpah!” gerutu Tiffany sambil mengucek matanya yang masih lengket. Tangannya menjelajahi kepalanya saat merapikan rambutnya yang masih berantakan.

Tanpa banyak berkata-kata, wanita yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi geram segera menunjukkan layar ponselnya tepat di depan wajah Tiffany.

“Gila ya, lo!” seru wanita itu, Lauren.

Tiffany menyeringai kebingungan. Ia lantas memicingkan matanya saat mencoba membaca tulisan yang ada pada layar ponsel Lauren.

Beberapa kali ia mengedipkan matanya dengan cepat lantaran penglihatannya masih cukup kabur usai tidur semalaman.

“What?” Tiffany membelalak terkejut.

“Nggak nggak nggak, nggak mungkin! Gila! Karyawan-karyawan gue udah mastiin kalau nggak ada yang rekam, kok!”

Tiffany merampas ponselnya sebelum ibu jari kanannya menggulirkan layar ponsel itu dengan tempo cepat, membaca seluruh clickbait yang muncul.

Pemilik sorot mata berwarna kecoklatan itu dengan jelinya membaca setiap clickbait yang menyeret nama dirinya dengan Satria. Ia pun tak tanggung-tanggung membuka video amatir atas keributan yang terjadi di kafenya kemarin.

Dengan tangannya yang bergetar saat memegang ponsel, kepalanya bergerak berusaha menyangkal apa yang telah ia lihat di video itu.

Tiffany mengerutkan keningnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Mengapa wajahnya tampak begitu jelas muncul di video itu?

Ia kembali menoleh pada Lauren yang kini sudah menatapnya dengan begitu tajam. Manajer pribadinya itu berkacak pinggang seperti sudah bersiap hendak memarahinya.

Tiffany begitu gelisah. Ia mulai merintih sambil memegangi kepalanya. Ketakutan dan kecemasannya akan peristiwa yang ia alami kemarin menyambut paginya dengan begitu intim. Ia bahkan tak bisa berpikir apa-apa lagi sekarang selain hanya menangis dan mengeluh pada Lauren.

“Lo kenapa kagak ngasih tau gue, hah? Kalau gue nggak ngecek hp, lantas gue dengan begonya nggak bakalan update soal ulah lo itu, gitu?” seru Lauren yang bersungut-sungut.

“Gue harus gimana, Lau? Gue nggak seperti apa yang dituduh di artikel ini. Lo percaya sama gue, kan?” tanya Tiffany mencari pembelaan sambil mengacungkan ponsel Lauren.

“Kagak! Gue seratus persen percaya sama artikel-artikel itu! Udah jelas-jelas tuh muka lo ada di video!” tegasnya sambil melotot.

“Lagian kan gue udah berkali-kali bilang sama lo, jaga jarak sama Satria! Lo tuh cantik, Fan. Kenapa sih lo masih aja lengket sama cowok beristri itu!”

Lauren menyeringai kesal mengamati penampilan Tiffany dari bawah hingga atas. Dilihatnya seorang Tiffany yang saat ini tampak begitu menyedihkan, dengan rambutnya yang begitu berantakan dan juga masih memakai baju yang dipakainya kemarin.

“Lo tuh susah banget sih kalau dikasih tau! Jauhin Satria! Lo cari masalah mulu, deh!”

Lauren memicing kesal saat melihat mata sembap Tiffany dan wajah memelasnya.

Ia berdecak. “Ya oke, gue percaya sama lo! Tapi sekarang ini masalahnya gimana cara kita ngatasin semua ini? Kita harus cepet-cepet mikirin tindakan apa yang harus kita ambil, ini skandal yang paling dibenci sama publik!”

Tiffany mengangguk dengan cepat. “G—gue telpon Satria dulu.”

“Astagaaaa, Tiffany Adhara!” pekik Lauren hingga membuat tubuh Tiffany tersentak dan spontan menjentik bibirnya.

“Nggak usah!” sentaknya.

“Ngapain sih lu pake nelpon Satria segala? Jelas-jelas dia yang udah bikin lo jadi terjerumus ke dalem masalah kayak gini!”

Lauren merampas ponselnya dari tangan Tiffany. “Lo tuh kapan sih sadarnya, Fan? Sadar dong, Fan!”

Tiffany tergemap menatap Lauren dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis sekaligus keinginannya untuk memaki wanita yang ada di hadapannya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status