“Anda nakal,” bisik Ayunda dengan riasan wajah yang menggoda. “Miss A ...,” suara parau itu berbisik di telinganya, tangannya hinggap di pangkuan sambil tersenyum. “Kenapa kamu tidak pernah mau pergi denganku? Aku berjanji, kita akan bersenang-senang.” Kliennya yang kali ini terlihat tua mendekatkan wajahnya. Napasnya berbau alkohol dan rokok. Sementara itu, dasi dan bajunya longgar dan kusut—sepertinya hari ini benar-benar melelahkan buatnya. “Aku juga lelah,” batinnya. Miss A—nama samaran Ayunda—sangat istimewa di Tempus Fugit. Bahkan tarifnya sangat tinggi dari yang lainnya. Namun, tidak ada yang berhasil menyentuhnya dalam arti khusus. “Anda tentu terlalu banyak waktu. Lain kali pastikan tambah durasi bersamaku, ya?” Ayunda menolaknya dengan halus. Dia lalu memindahkan tangan pria itu hati-hati dari atas pangkuannya sambil tertawa genit. Tersisa dua menit lagi sesi pria itu berakhir bersamanya. Dia berharap tidak ada lagi yang ‘memesan’ dirinya. “Aku benci pekerjaan ini.”
“Miss A datang untuk Anda,” seru Venus, sebelum akhirnya dia pamit. Ayunda kembali menemui Adrian Laksana. Respons pertama mereka satu sama lain adalah ... saling tatap. Pria itu tengah duduk bertelekan satu kaki panjangnya di sofa berlengan. Jasnya tersampir di sana meninggalkan terusan kemeja berlekuk lelah di gulungan siku. “Tutup pintunya.” Jantung Ayunda berdebar kencang saat mendengar titah itu. Ia lantas mengikuti permintaan itu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati dan perlahan. Seperti sengaja untuk memperlambat waktu. “Kemari.” Setiap langkah, jantung Ayunda tampak berdebar lebih cepat. Ia berhenti tepat di depan seorang Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di masa SMA dulu. Ia sempat mengalami hal ini. Adrian duduk di hadapannya di atas meja kelas. Sementara itu ia dipanggil untuk menghadapnya sendirian. Sensasi menegangkan itu masih teringat jelas sampai sekarang. Sial. Adrian lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia jauh lebih tinggi dari yang Ayunda i
Sepuluh tahun lalu. “Adrian!” Adrian berhenti usai mendengar namanya terpanggil tepat saat ia melewati gerbang sekolah. Di sana, seorang siswi teladan—Adrian menyebutnya begitu karena tampilan gadis itu sungguh rapi sekali. Rambut sebahunya diikat rapi ke belakang, kemejanya licin tanpa lekuk setrika, roknya di bawah lutut menyesuaikan dan tentu saja rapi dimasukkan dalam seragam. “Apa lagi? Lo nggak bosan menghukum gue terus? Nih, lihat! Seragam gue masukin ke celana udah rapi, celana gue beli baru karena lo nggak suka gue pakai celana pensil, terus ... ikat pinggang, kaus kaki gue putih, sepatu gue juga hitam.” “Rambut,” tunjuk Ayunda. Adrian mendesah. Ia belum mencukur rambutnya yang sebenarnya belum panjang-panjang amat. Namun, sepertinya Ayunda memang tidak pernah bisa menolerir satu hal kesalahan dari dirinya. “Gue—“ Belum sempat Adrian menjelaskan, gadis itu sudah menarik telinga kirinya sampai ia menjerit kesakitan. “Arghhh! Sakit, Ayunda!!” Telinganya berdenyut nyeri
“Kenapa bertanya terus? Waktu terus berjalan. Kamu sengaja, ya, mau membuat waktuku habis dengan sia-sia?” Adrian kembali memasang senyum menjengkelkan. Ayunda mendengkus. Jika bukan karena Adrian adalah klien yang membayarnya dengan mahal, dia tentu sudah menendangnya keluar—dan tentu saja melaporkan pada Venus untuk segala hal yang bisa mem-blacklist nama Adrian Laksana dari Tempus Fugit. Namun, Ayunda sadar Adrian Laksana bukan berasal dari keluarga sembarangan. Bisa-bisa dialah yang kehilangan pekerjaan. Atau yang lebih parah, dia tidak bisa hidup lagi. Ayunda meringis membayangkan hidupnya yang malang. Seperti dulu, nama Adrian Laksana membayangi dirinya usai diusir dari sekolah. “Kenapa wajahmu seakan-akan mau menangis? Kamu sedang bersiap-siap untuk kalah, ya?” ejek Adrian, disambung tawa. Ayunda sontak kembali mengangkat wajahnya. Matanya memelotot sesaat, perlahan dia tersenyum lebar memperlihatkan kedua gigi taringnya. Adrian menarik senyum jengah. “Kamu yang
“Duh, aku sudah memberimu poin sangat banyak, loh. Poinmu sangat tinggi malam lalu, kan? Ya, meskipun kemarin kamu nggak membuatku puas. Aku hargai usaha dan namamu yang besar itu, Miss A.” Ayunda mendelik. Adrian lantas tersenyum miring. “Kenapa kamu menyambutku seperti itu? Itu nggak membuatku senang, loh.” Ayunda sungguh geram. Ia bisa bertingkah biasa pada semua pria yang sebenarnya ia benci. Namun, Adrian adalah spesies laki-laki yang sangat berbeda. Sejak dulu, ia sangat—tidak pernah bisa simpati pada lelaki itu. “Kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, Ayunda berkata begitu. Adrian bangkit dari sofa dan menghampirinya lebih dekat. “Sapa aku dengan imut?” Senyum pria itu kembali mengembang. “Entahlah, apakah kamu melakukan itu pada klienmu?” Ayunda menahan kesal. Ia bisa melakukan itu. Ia sudah terbiasa bermuka dua sekarang. Satu sisi begitu muak, sisi lainnya menyukai sikapnya yang menjijikkan. “Kamu mau aku melakukannya?” Sekejap, Ayunda tersenyum; memperli
“Kamu salah paham.” Adrian geleng-geleng kepala. “Iya, meskipun memang kenyataannya Boy selalu bicara soal betapa cantiknya wanita bernama Miss A di tempat ini.” Ayunda kembali mendelik. “Gaun yang kamu pakai—yang aku maksud.” Pandangan Adrian mengarah pada gaun yang melekat pada tubuh Ayunda. Seketika wanita itu merasa aneh. Ia lekas menutup tubuh bagian depannya yang memang tampak menonjolkan dirinya. “Gaun?” “Ehm, jadi ... jujur saja, ya. Aku ingin kamu berhenti dari sini dan jadi modelku.” “Model?” Ayunda membeo. Adrian sangat kesal sekali. Ayunda makin lama membuatnya sakit kepala. Ia lantas kembali mengangguk dan berusaha untuk sabar. “Bukankah aku sudah katakan itu?” sahutnya. “Tentu semua yang kamu lakukan akan dibayar.” Ayunda menggeleng. “Aku nggak mau.” “Aku akan bayar kamu sebesar tip yang aku beri malam lalu. Tiga kali lipat,” ujar Adrian dengan nada meyakinkan. Itu terlalu banyak, tapi tidak sebanding dengan apa yang selama ini menjerat dirinya. Ayunda lanta
Dua malam lalu.Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.“Tempus fugit ....” Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-leba
Peraturan Tempus Fugit:1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang. Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula