“Kenapa bertanya terus? Waktu terus berjalan. Kamu sengaja, ya, mau membuat waktuku habis dengan sia-sia?” Adrian kembali memasang senyum menjengkelkan.
Ayunda mendengkus. Jika bukan karena Adrian adalah klien yang membayarnya dengan mahal, dia tentu sudah menendangnya keluar—dan tentu saja melaporkan pada Venus untuk segala hal yang bisa mem-blacklist nama Adrian Laksana dari Tempus Fugit.
Namun, Ayunda sadar Adrian Laksana bukan berasal dari keluarga sembarangan. Bisa-bisa dialah yang kehilangan pekerjaan. Atau yang lebih parah, dia tidak bisa hidup lagi.
Ayunda meringis membayangkan hidupnya yang malang.
Seperti dulu, nama Adrian Laksana membayangi dirinya usai diusir dari sekolah.
“Kenapa wajahmu seakan-akan mau menangis? Kamu sedang bersiap-siap untuk kalah, ya?” ejek Adrian, disambung tawa.
Ayunda sontak kembali mengangkat wajahnya. Matanya memelotot sesaat, perlahan dia tersenyum lebar memperlihatkan kedua gigi taringnya. Adrian menarik senyum jengah.
“Kamu yang akan kalah,” tegas Ayunda.
Sungguh, Ayunda tidak ingin kalah lagi dari Adrian.
“Kalau begitu buktikan, jangan banyak bicara!” Adrian benar-benar tak sabar.
Pertama-tama Ayunda melirik jam, menghitung menit kemungkinan Adrian akan berakhir atau dirinya yang tamat. Ia lantas perlahan memegangi kedua lutut Adrian dan menatap pada apa yang menjadi kebenciannya pada pekerjaan ini.
Jika bukan karena spesies bernama ‘lelaki’, dia tidak akan melakukan pekerjaan ini. Dia benci lelaki. Dia benci jumlah nominal yang terus mengalir di rekeningnya, tapi sebagian besar bukan untuknya apalagi adik dan ibunya.
Sial, sial, sial!
Kepalanya masuk di antara kedua tungkai Adrian. Jemarinya bersiap membuka ritsleting yang ada di hadapannya. Bayaran kali ini sangat mahal, dia mungkin bisa segera melunasi utang ‘lelaki berengsek’ yang terus menghantui tidurnya. Namun, sekali lagi matanya tidak bisa berbohong. Dia benci pada pekerjaan ini.
Dia menutup matanya, dan jemarinya bergerak turun di sana. Tepat saat itu, tangannya tertahan. Lebih tepatnya tergenggam.
“Mau apa kamu?” Seruan Adrian membuat wajahnya mendongak.
“Hah?” Wajah Ayunda kebingungan.
Adrian menatapnya dengan tajam dan—dalam.
“Apa pekerjaan ini begitu menyenangkan? Kamu selalu tersenyum penuh kepalsuan—sama seperti dulu. Kamu tidak pernah benar-benar tersenyum. Kamu mungkin bisa menipu klien-klienmu yang rutin datang padamu. Tapi aku tidak.”
Tangan Ayunda tertepis begitu saja. Seketika itu, Adrian bangkit dan membenahi dirinya.
“Menyebalkan sekali.” Adrian mengambil jasnya dan pergi begitu saja, meninggalkan Ayunda yang masih tertegun kebingungan.
“Apa ada yang salah?” Wanita itu menoleh ke arah pintu yang tertutup.
Tring!
Klien Anda menutup sesi.
Gawat!
Ayunda segera bangkit dan berlari mendatangi Venus.
“Venus! Pria itu sudah pergi! Klienku pergi dengan cepat!” seru Ayunda dengan khawatir.
“Ah, iya. Dia menutup sesi dengan cepat dan pamit. Tidak ada lagi pria yang menunggumu. Kamu bisa pulang sekarang, Miss A.” Venus menanggapinya dengan santai.
“Benarkah?”
Ayunda teringat pada ekspresi Adrian yang marah. Di satu sisi dia merasa lega karena Adrian tidak melakukan tantangan memuakkan itu dengannya, seperti pria-pria berengsek yang datang padanya untuk tujuan tertentu membeli level 'berengsek' itu.
Dia lalu mengecek akun Tempus Fugit karena penasaran. Mungkin Adrian meninggalkan poin rendah untuknya, dia akan maklum. Namun, betapa terkejutnya dia saat menemukan wajahnya masih terpampang manis di laman utama dengan jumlah poin yang tidak akan bisa dikejar oleh wanita-wanita Tempus Fugit lainnya.
“Oh, ya, Miss A. Pria itu ... memberikan poin yang begitu banyak untukmu. Jika dia kembali, tolong selalu perlakukan dia dengan baik.” Tiba-tiba saja suara Venus mengusik lamunannya.
Ayunda menutup ponselnya dengan kesal.
“Pria berengsek ....”
***
“Miss A, pria itu kembali padamu.”
Ayunda mengangkat wajahnya. Dia baru saja datang dan hendak bersiap-siap di meja rias, tapi Venus sudah datang menjemputnya.
“Siapa?”
“Pria yang terakhir malam menemuimu.”
Hanya ada satu nama yang mampir di otak Ayunda. Sejak keterkejutannya kemarin malam, dia tidak pernah bisa melupakan nama itu.
Adrian Laksana?
Benar saja, belum sempat dia berucap, ponsel miliknya sudah berbunyi. Server sudah bekerja. Tempus Fugit sudah membuka layanan malamnya.
Nama itu muncul lagi.
Rasanya waktu berlalu dengan cepat dan dia harus menemui pria itu lagi?
Dan ... mata Ayunda mendelik saat menyadari ada yang aneh di akun miliknya. Jam pasir miliknya bergerak habis ke bawah.
“Apa-apaan ini, Venus? Dia membeli semua waktuku?”
Venus mengangguk. “Benar. Dia membeli semua waktumu malam ini.”
Ayunda menyelesaikan riasan dan berganti pakaian yang sudah disiapkan dengan cepat. Kali ini gaun hitam yang cantik. Dia pun berjalan mengikuti Venus melangkah. Tempat kali ini adalah di mana mereka terakhir bertemu.
“Si Berengsek itu ...! Mau apa lagi dia? Dan kenapa dia kembali membeli level ini? Sampai malam berakhir pula.”
Ayunda meringis. Dia lupa bagaimana Adrian selalu pamer kekayaan saat sekolah dulu. Itu sangat membuatnya muak.
Venus mengetuk pintu. Terdengar sahutan pria dari dalam.
“Miss A sudah datang. Silakan nikmati waktu Anda.”
Wanita itu permisi lalu menutup pintu. Suara Adrian hanya membalas dengan gumaman. Ayunda lantas melangkah maju dan kembali bertemu tatap dengan Adrian Laksana yang kini tersenyum padanya. Senyum yang memuakkan baginya.
“Mana salammu, Miss A? Bukankah kamu diajarkan itu di sekolah?”
Ayunda mendengkus kesal.
Bersambung ....
“Duh, aku sudah memberimu poin sangat banyak, loh. Poinmu sangat tinggi malam lalu, kan? Ya, meskipun kemarin kamu nggak membuatku puas. Aku hargai usaha dan namamu yang besar itu, Miss A.” Ayunda mendelik. Adrian lantas tersenyum miring. “Kenapa kamu menyambutku seperti itu? Itu nggak membuatku senang, loh.” Ayunda sungguh geram. Ia bisa bertingkah biasa pada semua pria yang sebenarnya ia benci. Namun, Adrian adalah spesies laki-laki yang sangat berbeda. Sejak dulu, ia sangat—tidak pernah bisa simpati pada lelaki itu. “Kamu mau aku melakukan apa?” Akhirnya, Ayunda berkata begitu. Adrian bangkit dari sofa dan menghampirinya lebih dekat. “Sapa aku dengan imut?” Senyum pria itu kembali mengembang. “Entahlah, apakah kamu melakukan itu pada klienmu?” Ayunda menahan kesal. Ia bisa melakukan itu. Ia sudah terbiasa bermuka dua sekarang. Satu sisi begitu muak, sisi lainnya menyukai sikapnya yang menjijikkan. “Kamu mau aku melakukannya?” Sekejap, Ayunda tersenyum; memperli
“Kamu salah paham.” Adrian geleng-geleng kepala. “Iya, meskipun memang kenyataannya Boy selalu bicara soal betapa cantiknya wanita bernama Miss A di tempat ini.” Ayunda kembali mendelik. “Gaun yang kamu pakai—yang aku maksud.” Pandangan Adrian mengarah pada gaun yang melekat pada tubuh Ayunda. Seketika wanita itu merasa aneh. Ia lekas menutup tubuh bagian depannya yang memang tampak menonjolkan dirinya. “Gaun?” “Ehm, jadi ... jujur saja, ya. Aku ingin kamu berhenti dari sini dan jadi modelku.” “Model?” Ayunda membeo. Adrian sangat kesal sekali. Ayunda makin lama membuatnya sakit kepala. Ia lantas kembali mengangguk dan berusaha untuk sabar. “Bukankah aku sudah katakan itu?” sahutnya. “Tentu semua yang kamu lakukan akan dibayar.” Ayunda menggeleng. “Aku nggak mau.” “Aku akan bayar kamu sebesar tip yang aku beri malam lalu. Tiga kali lipat,” ujar Adrian dengan nada meyakinkan. Itu terlalu banyak, tapi tidak sebanding dengan apa yang selama ini menjerat dirinya. Ayunda lanta
Dua malam lalu.Kelab malam itu agak terpencil di lingkungan kelas atas yang nyaman, menyamar dengan pintu rahasia. Lokasinya sudah begitu dihapal seorang teman karena pekerjaan dan kebutuhan saat ini. Mereka tiba di sebuah pintu yang tertutup rapat tanpa seorang penjaga.“Tempus fugit ....” Pandangan tajam seorang pria mengarang pada pintu berpelat jam pasir dengan sepasang sayap kupu-kupu yang cantik berwarna keemasan. Adrian Laksana, seorang pria yang akan selalu memperhitungkan segala hal termasuk wanita dan tempat yang ia datangi. Wajah tegasnya mengangguk perlahan, mengakui kelab ini cukup filosofis.“Bukankah itu—menandakan waktu akan terbang ... berlalu dengan indah?”Temannya—seorang pria yang tampilannya begitu kontras merangkul pundaknya. “Mau membuktikannya?”Adrian berdecih. Ia melirik pria berambut biru pirus seleher di sampingnya. Sejujurnya, bukanlah kebiasaan baginya untuk membeli kesenangan; kebanyakan wanita dengan senang hati akan melebarkan kaki mereka lebar-leba
Peraturan Tempus Fugit:1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang. Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula
“Kamu tegang sekali.” Adrian benar-benar tidak bisa mengelak. “Kamu tegang sekali, Ian. Mau kubantu?” Wajah Ayunda yang menggoda terus-menerus melesak di antara celah kedua tungkai kakinya. Adrian mereguk air liurnya. Ia menahan napas seketika wanita itu kembali tersenyum dan bicara, “Kubantu sini ..., kamu tegang sekali.” Seketika gigi taring Ayunda terlihat. Tawa wanita itu lantas terdengar keras lalu—HAP. “ARRGHHHH!” Adrian bangkit berteriak keras, membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, seseorang masuk begitu saja dalam kamarnya. “Ada apa, Ian?! Kenapa?!” Adrian melihat teman lelakinya yang berambut biru pirus dengan setelan pakaian tidur yang tak kalah mentereng berdiri di depan tempat tidurnya dengan wajah cemas. Kenapa pakaian pria itu selalu membuatnya sakit mata? Boy memang selalu tampil nyentrik! Adrian lantas tersadar dan bernapas lega. Sial. Tadi itu cuma mimpi ternyata. “Heh, lo kenapa?!” Boy kembali bersuara. Adrian bersandar di ranjangnya. Ia
Malam ini, Adrian tak datang lagi.Ayunda memastikan itu berkali-kali di ponselnya. Laman itu sudah sekian kali ia refresh, tapi tidak ada daftar klien lain yang masuk. Sementara itu, Venus sudah memanggilnya untuk menemui klien selanjutnya. Sepertinya ini klien terakhir. Sudah lewat tengah malam dan Venus sudah menutup akses.Ayunda merutuki notifikasi yang muncul. “Pria itu lagi! Tidak ada Adrian.”Malam berikutnya pun sama.Dan berikutnya.Berikutnya.Dipikir-pikir, kenapa ia jadi gelisah seperti ini. Adrian sepertinya memang tidak serius dengan tujuannya. Apa lelaki itu memang ingin mengerjainya lagi seperti di masa sekolah dulu? Sampai membuatnya mundur dari jabatan ketua OSIS dan dihujat satu sekolah hingga berakhir membuatnya keluar dari sana.Adrian memang tidak pernah bisa dipercaya.Lagi pula kenapa ia jadi kepikiran tentang poin yang besar selama dua malam lalu berturut-turut memenuhi akunnya? Bukan hanya sekali ini saja kan dia dapat hal seperti itu. Adrian masih menduduk
“Kamu datang setiap malam?“ Ayunda bertanya dengan nada marah.“Kamu berharap aku datang?“ goda Adrian.Wanita itu salah tingkah. “Ehm, bukan begitu.“Adrian terkekeh. “Kamu menungguku. Aku tahu itu, kamu selalu gelisah memandang ke arah pintu,“ bisiknya. Senyumnya benar-benar membuat Ayunda ingin kembali menamparnya.“Kamu menungguku, kan?“ Pria itu kembali menggoda Ayunda.Ayunda menarik napas kesal.“Sebenarnya ... aku ingin bicara denganmu, tapi jadwalmu selalu penuh. Aku selalu terlambat datang. Tapi dipikir-pikir bicara denganmu itu melelahkan, selalu saja ada perdebatan. Aku heran kenapa para pria itu betah sekali—““—Kamu yang selalu mengajakku berdebat,” sergah Ayunda dengan mata memelotot. “Dan, maaf sekali, ya. Aku nggak mau bicara denganmu lagi. Sudah jelas kukatakan pada malam lalu, kan? Aku nggak mau menerima tawaranmu.“Adrian menghela napas. Wanita di depannya ini tidak pernah mau mengalah. Ia akui agak kesulitan hanya untuk sekedar bicara baik-baik.Namun, dilihat lag
“Maaf, saya terlambat.” Ayunda menghela napas terengah-engah seketika membuka ruangan yang kini penuh dengan para wanita berpakaian anggun dan menggoda. Di depan mereka semua, Venus berdiri dan menoleh pada Ayunda. Wajahnya yang datar, tatapannya yang tajam tanpa perlu penekanan langsung menusuk Ayunda. “Kamu tahu minggu ini poinmu sangat tinggi dan tentunya tidak pernah bisa dikejar yang lain, tapi jangan lupa—semua staf harus mematuhi peraturan terutama soal kehadiran tanpa ter-kecuali.” Ayunda mengangguk. Ia tahu tentang itu, tapi Venus pun lebih tahu bahwa dirinya tak hanya fokus pada pekerjaan ini. Itulah sebabnya ia selalu datang tidak tepat waktu. “Kamu berkeringat banyak sekali. Mandi dan cepat bersiap-siap.” “Baik, Venus. Aku permisi.” Venus berbalik pada yang lainnya dan menutup briefing. Ayunda masuk ke ruang staf dan segera mengurus dirinya. Ia sebenarnya terlalu lelah untuk semua pekerjaan ini. Namun, keadaan memaksanya sampai sekarang. Apalagi kontraknya dengan