Share

Bab 3. Touch by Touch

Sepuluh tahun lalu. 

“Adrian!” 

Adrian berhenti usai mendengar namanya terpanggil tepat saat ia melewati gerbang sekolah. Di sana, seorang siswi teladan—Adrian menyebutnya begitu karena tampilan gadis itu sungguh rapi sekali. Rambut sebahunya diikat rapi ke belakang, kemejanya licin tanpa lekuk setrika, roknya di bawah lutut menyesuaikan dan tentu saja rapi dimasukkan dalam seragam. 

“Apa lagi? Lo nggak bosan menghukum gue terus? Nih, lihat! Seragam gue masukin ke celana udah rapi, celana gue beli baru karena lo nggak suka gue pakai celana pensil, terus ... ikat pinggang, kaus kaki gue putih, sepatu gue juga hitam.” 

“Rambut,” tunjuk Ayunda.  

Adrian mendesah. Ia belum mencukur rambutnya yang sebenarnya belum panjang-panjang amat. Namun, sepertinya Ayunda memang tidak pernah bisa menolerir satu hal kesalahan dari dirinya. 

“Gue—“ Belum sempat Adrian menjelaskan, gadis itu sudah menarik telinga kirinya sampai ia menjerit kesakitan. 

“Arghhh! Sakit, Ayunda!!” 

Telinganya berdenyut nyeri. Adrian mengaduh sambil memegangi telinga kirinya. Merasa ada yang aneh, ia memeriksa jemarinya yang berlumuran darah. Ia berganti menatap Ayunda yang santai saja menunjukkan anting-anting perak padanya. 

“Kamu merasakan itu, kan? Ini adalah peraturan. Itu akibatnya kalau kamu melanggar,” ujar Ayunda. Nada bicaranya selalu datar seolah-olah dia diciptakan bicara seperti itu. Namun, cukup dengan tatapannya saja sudah membuat Adrian kesal setengah mampus. Ditambah sekarang telinganya berdenyut nyeri. Suara Ayunda jadi ikut membuatnya tambah nyeri. 

Beberapa murid yang melihatnya tampak berlarian masuk melewati mereka. Ada yang ketakutan dan tak jarang yang menghujat Ayunda. 

“Ayunda bikin telinga Adrian berdarah!! Bener-bener cewek kejam!” 

“Ya, ampun, cerita mereka kayaknya nggak abis-abis.” 

“Sejak Ayunda jadi ketua OSIS, cowok-cowok kayak Adrian selalu ditindas.” 

Ayunda sebenarnya sudah malas melakukan tindakan seperti itu, tapi mereka yang memaksa dia melakukannya. Lagi pula, Adrian pantas diperlakukan begitu.  

Cowok manja! 

*** 

“Sejujurnya ... aku hanya memastikan mataku tidak menipuku. Apakah ... wanita Tempus Fugit yang memakai rok kotak-kotak merah pendek ini benar-benar ... ketua OSIS-ku di masa SMA?” 

Ayunda mendengkus kesal. 

“Kenapa kamu punya pekerjaan seperti ini?” sambung Adrian. 

“Apa urusanmu?” seru Ayunda. “Bertanya seperti itu tidak diperbolehkan.” 

Adrian menggeleng perlahan. Dengan gaya santainya ia menjawab, “Hanya ingin tahu.” 

“Menyebalkan,” desis Ayunda. 

“Kamu masih belum berubah, ya, Ayunda? Oh—maaf, di sini kamu dipanggil Miss A. Pffft—hahaha. Miss A?”  

Tawa Adrian rasanya meledak tak henti-hentinya sampai akhirnya ia melirik jam dinding. Pria itu sengaja atau apa? Ia akan kehilangan sekian menit menuju tantangan dan mungkin akan sangat cepat mengakhirinya. Para pria yang lalu-lalu itu sangat cepat, Ayunda juga pasti bisa mengatasi Adrian. 

“Nama itu tidak buruk, cocok sekali buatmu.” Lelaki itu bersandar sambil menyampirkan lengannya di badan sofa. Sepertinya ia kelelahan tertawa. 

Ayunda menahan rahangnya kuat-kuat. Nama asli adalah privasinya di sini. Namun, pria itu dengan seenak jidat menyerukannya. 

“Ayu—nda Betari,” rapal pria itu penuh penekanan. 

“Namamu cantik, tapi kenapa harus menjadi ...,” sorot mata itu menatapnya penasaran, “Miss A?” 

Kedua tangan Ayunda mengepal kuat-kuat. Namun, bibirnya dengan cepat kembali tersenyum. 

“Kamu sudah selesai? Akan kulaporkan semua ini sebagai bentuk pelanggaran—“ 

“—Hei, aku bahkan tidak bertanya tentang nama aslimu. Karena apa? Karena aku benar-benar tahu. Lagi pula, aku hanya bertanya, kenapa harus Miss A?” 

Pria itu balas tersenyum mengesalkan. Ayunda terdiam. 

“Tidak disangka-sangka, sepuluh tahun yang lalu kamu keluar dari sekolah dan berakhir di tempat seperti ini. Apakah keluargamu tahu?” 

“Tidak usah banyak bicara,” sergah Ayunda. Dadanya tiba-tiba terasa sesak usai Adrian menyinggung masa lalu dan keluarganya. 

“Baiklah—kita akhiri saja pertanyaanku, tapi sesi ini belum berakhir,” sahutnya. “Kamu bahkan belum melakukan apa-apa sebagai tantangan.” 

Ayunda meringis kecil. Sial. Apa Adrian benar-benar ingin tidur dengannya? 

“Aku masih penasaran,” bisik Adrian dengan tatapan yang dibuat seolah-olah ia pria nakal. “Bagaimana ... kamu bisa bertahan menemani para lelaki? Bukankah kamu membenci mereka?” 

“Sumpah. Kamu banyak bicara, sama seperti dulu.” Ayunda kesal. 

“Hmm … melihat reaksimu, bekerja di sini pasti sulit.”  

Ayunda terlambat menyadari apa yang telah dilakukan pria itu. Kini Adrian seperti sengaja bermain-main dengan rok pendeknya. Wajahnya menunjukkan keterkejutan saat Adrian tersenyum miring. Kekesalannya berkobar.  

Si berengsek menyebalkan ini! 

“Ayo, cepat kita buat kesepakatan itu,” ujar Adrian tak sabar. Ayunda mengernyitkan alisnya seolah dia tidak akan menurut. 

“Kesepakatan macam apa?” tantang Ayunda. 

Adrian tersenyum jahil. Dia lalu mencondongkan wajahnya kepada Ayunda. “Tentu saja kamu tahu, bukankah ada kesepakatan macam itu di tempat ini? Hal yang akan membuatmu menyerahkan diri?” 

“Percaya diri sekali kamu, apakah kamu siap kalah dariku? Waktumu mungkin tidak akan sampai tiga menit; kamu akan kalah telak di tanganku,” ujar Ayunda, penuh kekesalan. 

Ia berdiri dan dalam beberapa saat sudah berlutut di depan sofa—menghadap Adrian yang kini makin mengembangkan senyumnya. 

Ayunda tentu saja tidak akan membiarkan Adrian menjadi orang pertama yang melewati tantangannya. Jika itu terjadi, dia mungkin akan sangat menyesal. 

Tidak ada yang berhasil menyentuh dirinya. Jika dia kalah, itu akan berakhir. Dia akan berakhir di tempat ini. 

Ayunda memastikan. “Kamu siap?” 

Bersambung .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status