Share

Bab 9. No Matter What I Do

“Kamu tegang sekali.” Adrian benar-benar tidak bisa mengelak.

“Kamu tegang sekali, Ian. Mau kubantu?” Wajah Ayunda yang menggoda terus-menerus melesak di antara celah kedua tungkai kakinya. Adrian mereguk air liurnya. Ia menahan napas seketika wanita itu kembali tersenyum dan bicara, “Kubantu sini ..., kamu tegang sekali.”

Seketika gigi taring Ayunda terlihat. Tawa wanita itu lantas terdengar keras lalu—HAP.

“ARRGHHHH!”

Adrian bangkit berteriak keras, membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, seseorang masuk begitu saja dalam kamarnya.

“Ada apa, Ian?! Kenapa?!” Adrian melihat teman lelakinya yang berambut biru pirus dengan setelan pakaian tidur yang tak kalah mentereng berdiri di depan tempat tidurnya dengan wajah cemas.

Kenapa pakaian pria itu selalu membuatnya sakit mata? Boy memang selalu tampil nyentrik!

Adrian lantas tersadar dan bernapas lega. Sial. Tadi itu cuma mimpi ternyata.

“Heh, lo kenapa?!” Boy kembali bersuara. Adrian bersandar di ranjangnya. Ia tertawa terbahak-bahak dan memandang temannya itu dengan tatapan kosong. 

Ian sudah nggak waras, batin Boy.

Pria itu lantas geleng-geleng kepala. “Sejak dua malam ini lo jadi nggak waras gini. Diapain sih sama Miss A?”

“Berengsek. Ini semua gara-gara lo,” seru Adrian.

Boy tidak mengerti. Semalam Adrian menghilang begitu saja usai sesi berakhir dan malah meneleponnya sudah berada di mobil.

“Eh, tapi, omong-omong ... semalam gimana? Sesinya cepet banget. Lo nggak pernah cerita apa-apa setelah keluar dari sana. Lo benar-benar serius nggak, sih, Ian?”

Pikiran Adrian lantas kembali fokus. “Semalam gue ....”

Ia mengingat kejadian semalam. Setelah ia keluar dari pintu terkutuk itu, ditinggalkan Miss A, wajahnya malah memucat dan lututnya lemas bukan main hingga memilih mendekam di salah satu bilik toilet.

Adrian berdecak. Apa dia sudah keterlaluan?

“Woy, Ian. Kenapa?” Boy berkacak pinggang. “Lo nggak menyia-nyiakan kesempatan semalam, kan? Ngaku lo!” Pria itu menunjuk dan mengancamnya. “Lo ... benar-benar tidur dengan Miss A?!”

“Belum.” Adrian menjawabnya begitu singkat.

“Apa maksudnya belum? Lo kalah?” Boy terkekeh pelan. “Nggak heran. Berarti apa yang dikatakan orang-orang soal Miss A itu benar.”

Boy melihat Adrian diam saja.

“Sabar, Ian. Kita masih punya cara lain untuk dekat dengan Miss A. Lo bisa kunjungi dia lagi dan mulai fokus buat bicara soal project kita. Fokus, Ian. Miss A itu memang nggak bisa ditaklukkan buat hal-hal kayak gitu.”

Adrian menatap Boy yang tampak mengejek buatnya.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” Adrian terus diam sambil menatap tajam Boy. “Hei, jangan bilang—lo berhasil?!”

Adrian tidak ingin bangkit sekarang. Bisa-bisa Boy menertawakan dirinya, tapi sumpah—Boy bikin keki pagi ini.

“Yang jelas gue udah bicara dengannya,” tekan Adrian.

Boy sontak mendelik tajam.

“Lo benar-benar tertarik dengan Miss A?”

Senyum Adrian tak bisa dibaca dengan jelas, tapi yang jelas ia tersenyum mendengar kata ‘tertarik’. Sejak dulu memang ia tertarik pada wanita itu. Ayunda Betari.

Bukan hanya tertarik, dia ingin Ayunda Betari! Miss A! Atau siapakah sebutannya sekarang.

“Whoaa, itu bagus,” Boy tertawa keras menyadari perubahan raut wajah Adrian, tapi kemudian dia terdiam. Wajahnya terlihat khawatir.

“Tapi ... gimana caranya lo bikin dia mau bekerjasama dengan kita? Lo bilang kenal dia? Apakah itu artinya ... lo bisa membuat dia keluar dari tempat itu?!” Boy mendadak heboh.

Adrian tersenyum miring. “Dia akan lakukan itu.”

Boy geleng-geleng kepala. “Nggak mungkin. Dia itu nomor satu di sana, nggak mungkin dia meninggalkan pekerjaan yang udah membuat dia jadi seperti sekarang.”

“Berisik! Kenapa lo jadi peduli akan hidup orang lain? Bukankah lo mau Ayu—“ Adrian menggigit lidahnya, “Ehm, maksud gue Miss A jadi bagian dari project kita?”

Boy mengangguk-angguk antusias.

“Ya, tapi ... gimana dengan Rose?” Pria itu kembali berpikir.

“Rose? Rose Martha?“ Adrian memicingkan mata, bertanya-tanya. “Apa urusannya dengan wanita ceking itu?“

Boy terlihat kikuk. Dia garuk-garuk kepala dan tersenyum seakan menyembunyikan sesuatu.

“Ada hal yang nggak gue tahu?“ tembak Adrian.

Sahabatnya itu kembali tersenyum takut-takut. “Ehm ... sebenarnya, Tempus Fugit, tempat di mana Miss A berada itu punya Rose. Secara nggak langsung, kita akan berurusan dengan Rose kalau sampai Miss A keluar dari sana dan bekerja dengan kita.“

Adrian memelotot. “Kenapa lo nggak bilang dari awal?“

“Sori, Ian. Tapi ....“

“—Kita nggak akan berurusan dengan Rose,” sergah Ian. “Biar wanita itu aja yang berurusan langsung dengan Rose.”

Tatapan Adrian tidak main-main, membuat Boy bertanya-tanya.

“Gimana caranya?“

Adrian tersenyum. Senyum yang terlihat licik di mata Boy.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status