“Pergilah, Ayunda. Bukankah aku sudah mengatakan tugasmu hari ini?” Suara Rose Martha menjawab Ayunda yang hanya terdiam, sementara Adrian menunggunya di depan pintu.“Bosmu sudah mengizinkanmu. Ayo, pergi,” kata Adrian. Sebelah tangannya terulur pada Ayunda.Wanita itu masih terdiam, kali ini matanya melirik jemari Adrian yang dia sadari begitu panjang dan lentik.“Waktumu begitu banyak, jangan kecewakan aku, Ayunda.” Rose lantas pergi lebih dulu, melewati mereka yang masih berdiri berhadapan.Ayunda sempat melirik wanita itu sebelum akhirnya pasrah akan tugasnya yang harus kembali berhadapan dengan Adrian Laksana.“Kenapa kamu selalu muncul di hadapanku?”“Sudah jelas tujuanku sejak awal. Aku hanya ingin kamu, Ayunda.”Ayunda menarik napas kesal usai mendengar jawaban itu, dia lalu melangkah lebih dulu tanpa menghiraukan uluran tangan Adrian.“Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Ayunda saat mereka sudah berada di lift.Adrian tersenyum miring. “Akhirnya kamu penasaran. Akan aku pastik
“Apa menjadi model untukmu ... bisa membebaskan aku?” Pertanyaan wanita itu kadang tidak pernah terduga dan terlalu mengejutkan—to the point.Adrian menatap wanita itu begitu serius, bahkan lebih dari serius.“Reuni denganmu … membuatku bertanya-tanya tentang kebebasan. Sementara aku pernah terbuang sebelumnya.”“Ayunda, kamu benar-benar ingin bebas, bukan?” tanya Adrian.Bebas?Ayunda mendadak terdiam dalam pikirannya. Tak lama ia kemudian mengedikkan bahu.“Entahlah. Aku nggak bisa pergi dari genggaman Rose. Tanpa izinnya pun, aku bahkan nggak bisa bicara seperti ini padamu,” kata wanita itu. “Kontrakku terikat tidak ada batasan. Hidup dan matiku ada di tangannya.”“Memangnya Rose Tuhan?” cibir Adrian. “Dengar ya, Ayunda. Tuhan saja bisa memberikan kesempatan untuk umatnya. Jadi, jangan ragu. Ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah percaya pada siapa pun, termasuk aku. Kamu nggak salah merasa curiga setelah kita lama nggak bertemu. Aku nggak keberatan jika kamu tetap mengang
Sepuluh tahun yang lalu. Bunyi dentum bola basket beradu dengan langkah kaki yang menyusul. Sorakan memandu di sana-sini, teriakan makin membahana di gimnasium usai operan bola lawan tertangkap oleh Adrian. Lelaki berambut cepak usai beberapa minggu lalu kena razia rambut, kini memegang kendali bola. Nama lelaki itu lantas menggema usai melakukan shooting dengan tembakan tiga poin. Ayunda memperhatikan lelaki itu—Adrian Laksana yang serius berada di lapangan. Dia tidak ikut-ikutan tertarik seperti yang lainnya; jejeritan tidak jelas dan berisik. Di sisinya, ada Manda, memasang cengiran. “Adrian ganteng juga kalau lagi main basket. Nggak kalah sama pesona kapten lawan. Kenapa nggak dari dulu aku perhatikan, ya, Ayunda? Kita kalah dari semua cewek-cewek di sini.” Ayunda diam saja. Sesaat setelahnya sebuah pesan masuk ke ponselnya, disusul dering panggilan. Gadis berambut lurus itu menyisih sambil menerima telepon. “Kenapa Egi?” serunya, sambil menyumpal satu telinganya agar lebih j
“Aku sudah memberikannya pada Ayunda.” Egi kembali membela diri usai Surya terus mendesaknya.“Baiklah, baiklah, kita akhiri aja dan cari Ayunda. Masalah ini nggak bisa dibiarkan berlarut-larut,” kata Surya.“Lebih baik lo cari Ayunda dan kalian bicarakan ini secepatnya,” saran Adrian.Surya menoleh pada yang lainnya, meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk.“Kita berdiam diri di sini aja juga nggak menghasilkan apa-apa.” Surya pun akhirnya menyetujui Adrian untuk pergi mencari Ayunda. “Oke, tapi lo harus ikut gue cari Ayunda.”“Sialan, gara-gara dia gue nggak bisa istirahat,” keluh Adrian.“Apa boleh buat. Peran lo di sekolah ini lebih dari Ayunda,” sahut Surya.Adrian pun mau tidak mau mengikuti ke mana Surya melangkah. Tujuan mereka pertama adalah kelas Ayunda, tapi gadis itu tidak ada di sana. Sementara itu, dari area gymnasium, tim lawan baru saja keluar diiringi pendukungnya. Adrian yang melihat kerumunan lawan timnya berhenti dengan cepat. Ada sesuatu yang mencuri
“Udah denger kabar, belum? Ketua OSIS kita yang sok perfeksionis itu ternyata nilep duit dari dana amal acara sekolah kemarin.”“Serius??”“Iya.”“Hari ini dia bahkan dipanggil kepala sekolah. Nggak tahu deh gimana, dipecat kali, atau mungkin dilaporin polisi.”“Nggak nyangka, kok bisa, ya? Jahat banget.”“Dia mungkin nggak pernah ngeliat uang sebanyak itu.”“Eh, denger-denger sih, katanya dia sengaja ngambil uang itu untuk biaya berobat ibunya di rumah sakit.”“Hahh??”“Sampai sebegitunya?”“Nggak heran, sih. Dia kelihatan kampungan, kalaupun bukan karena beasiswa dia juga nggak bisa masuk sekolah ini, kan?”***“Ayunda! Semua orang bicara yang nggak-nggak tentang kamu.”“Biar aja.”Manda kebingungan menghibur temannya yang terasa makin menjauh darinya. Dia juga makin bingung yang mana yang benar. Semua bukti dikatakan nyata oleh OSIS. “Apa semua yang mereka katakan benar begitu, Ayunda? Apa benar kamu ….”Ayunda menatap Manda agak lama, lalu tersenyum tipis. “Menurutm
“Anda nakal,” bisik Ayunda dengan riasan wajah yang menggoda. “Miss A ...,” suara parau itu berbisik di telinganya, tangannya hinggap di pangkuan sambil tersenyum. “Kenapa kamu tidak pernah mau pergi denganku? Aku berjanji, kita akan bersenang-senang.” Kliennya yang kali ini terlihat tua mendekatkan wajahnya. Napasnya berbau alkohol dan rokok. Sementara itu, dasi dan bajunya longgar dan kusut—sepertinya hari ini benar-benar melelahkan buatnya. “Aku juga lelah,” batinnya. Miss A—nama samaran Ayunda—sangat istimewa di Tempus Fugit. Bahkan tarifnya sangat tinggi dari yang lainnya. Namun, tidak ada yang berhasil menyentuhnya dalam arti khusus. “Anda tentu terlalu banyak waktu. Lain kali pastikan tambah durasi bersamaku, ya?” Ayunda menolaknya dengan halus. Dia lalu memindahkan tangan pria itu hati-hati dari atas pangkuannya sambil tertawa genit. Tersisa dua menit lagi sesi pria itu berakhir bersamanya. Dia berharap tidak ada lagi yang ‘memesan’ dirinya. “Aku benci pekerjaan ini.”
“Miss A datang untuk Anda,” seru Venus, sebelum akhirnya dia pamit. Ayunda kembali menemui Adrian Laksana. Respons pertama mereka satu sama lain adalah ... saling tatap. Pria itu tengah duduk bertelekan satu kaki panjangnya di sofa berlengan. Jasnya tersampir di sana meninggalkan terusan kemeja berlekuk lelah di gulungan siku. “Tutup pintunya.” Jantung Ayunda berdebar kencang saat mendengar titah itu. Ia lantas mengikuti permintaan itu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati dan perlahan. Seperti sengaja untuk memperlambat waktu. “Kemari.” Setiap langkah, jantung Ayunda tampak berdebar lebih cepat. Ia berhenti tepat di depan seorang Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di masa SMA dulu. Ia sempat mengalami hal ini. Adrian duduk di hadapannya di atas meja kelas. Sementara itu ia dipanggil untuk menghadapnya sendirian. Sensasi menegangkan itu masih teringat jelas sampai sekarang. Sial. Adrian lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia jauh lebih tinggi dari yang Ayunda i
Sepuluh tahun lalu. “Adrian!” Adrian berhenti usai mendengar namanya terpanggil tepat saat ia melewati gerbang sekolah. Di sana, seorang siswi teladan—Adrian menyebutnya begitu karena tampilan gadis itu sungguh rapi sekali. Rambut sebahunya diikat rapi ke belakang, kemejanya licin tanpa lekuk setrika, roknya di bawah lutut menyesuaikan dan tentu saja rapi dimasukkan dalam seragam. “Apa lagi? Lo nggak bosan menghukum gue terus? Nih, lihat! Seragam gue masukin ke celana udah rapi, celana gue beli baru karena lo nggak suka gue pakai celana pensil, terus ... ikat pinggang, kaus kaki gue putih, sepatu gue juga hitam.” “Rambut,” tunjuk Ayunda. Adrian mendesah. Ia belum mencukur rambutnya yang sebenarnya belum panjang-panjang amat. Namun, sepertinya Ayunda memang tidak pernah bisa menolerir satu hal kesalahan dari dirinya. “Gue—“ Belum sempat Adrian menjelaskan, gadis itu sudah menarik telinga kirinya sampai ia menjerit kesakitan. “Arghhh! Sakit, Ayunda!!” Telinganya berdenyut nyeri