Share

Bab 2. Bad Girl Good Girl

“Miss A datang untuk Anda,” seru Venus, sebelum akhirnya dia pamit.  

Ayunda kembali menemui Adrian Laksana. Respons pertama mereka satu sama lain adalah ... saling tatap. 

Pria itu tengah duduk bertelekan satu kaki panjangnya di sofa berlengan. Jasnya tersampir di sana meninggalkan terusan kemeja berlekuk lelah di gulungan siku. 

“Tutup pintunya.” 

Jantung Ayunda berdebar kencang saat mendengar titah itu. Ia lantas mengikuti permintaan itu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati dan perlahan. Seperti sengaja untuk memperlambat waktu. 

“Kemari.” 

Setiap langkah, jantung Ayunda tampak berdebar lebih cepat. Ia berhenti tepat di depan seorang Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di masa SMA dulu. 

Ia sempat mengalami hal ini. Adrian duduk di hadapannya di atas meja kelas. Sementara itu ia dipanggil untuk menghadapnya sendirian. Sensasi menegangkan itu masih teringat jelas sampai sekarang.  

Sial. 

Adrian lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia jauh lebih tinggi dari yang Ayunda ingat. Satu tangannya bergerak dengan lembut menangkup dagunya dan mengangkatnya. Tatapan mereka lantas kembali bertemu.  

Matanya sangat memesona. Terlalu memesona. 

Adrian tidak salah ingat. Ia benar soal Miss A. 

Kenapa harus bertemu di saat seperti ini? Reaksi macam apa ini?

Adrian pun bisa merasakan panas mengalir dari tubuhnya dari tempat menyentuh perempuan itu. Ia tahu tidak seharusnya melakukannya, tetapi ia tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk bereaksi.  

Napasnya sedikit tidak teratur. Ia mengamati pakaian Miss A saat ini. Bagian atas menempel di lekuk tubuhnya dan mendorong dadanya ke atas untuk memberikan ilusi yang lebih penuh. 

“Mau dengar ceritaku? Ketua OSIS-ku dulu bukan tipe cewek yang suka memakai riasan apalagi berpakaian ketat.” 

Berengsek! Ayunda memelotot. 

Namun, bukannya mengikuti apa yang tubuhnya teriakkan untuk dia lakukan, Ayunda menampik lengan Adrian. 

“Bukankah itu tidak sopan, Miss ... A?” Dia jelas menggoda Ayunda. 

Dan, Ayunda tidak bisa berdiam diri saja. “Maaf.” 

Adrian terlihat bosan, dia lalu duduk kembali di sofa. “Mungkin sebaiknya kamu menuangkan minuman untukku?” 

Ayunda buru-buru membungkuk dan meraih satu botol minuman yang ada di meja. “Ten-tu saja.” 

Sepuluh tahun memang waktu yang lama. Tetap saja, Adrian menyadari tangan perempuan itu sedikit gemetar saat menuangkan minum untuknya. 

“Kenapa kamu tidak ikut duduk, Miss A?”  

Perempuan itu tampak terkejut dengan permintaannya. Adrian pun harus menahan tawa saat perempuan itu dengan hati-hati duduk di tepi sofa di sebelahnya. 

Ayunda bergeser dengan gugup di sofa berlengan. Ia tidak yakin bagaimana memahami situasi ini. Ia bisa merasakan mata Adrian yang terus menelisik dirinya. 

Sedangkan pria itu seakan-akan ingin menyemburkan tawa keras-keras. 

Ia pasti tengah menertawakan aku sekarang.

Lalu apa setelahnya?

Mengambil gambar dan mempostingnya di internet? Oh, itu bahkan dilarang. Sayang sekali.

Ayunda tersenyum lamat-lamat. 

“Ada yang lucu?” Ayunda mengerjap, mendengar teguran Adrian. Tatapannya kembali terfokus pada pria itu. 

“Oh, tidak.” Dia menggeleng. “Aku hanya bertanya-tanya. Mengapa kamu ada di sini?” Ayunda kemudian berseru. Mata Adrian berkedip-kedip karena terkejut dengan pertanyaan itu. 

“Bukankah pria sepertimu bisa pergi untuk mendapatkan kesenangan tanpa harus repot-repot datang ke sini untuk mengobrol apalagi bermain-main denganku?” 

Adrian terkekeh. “Apa maksudmu ... dengan pria sepertiku? Memangnya seperti apa aku di matamu?” 

Ayunda tersenyum miring.  

“Kamu ... suka bermain-main?” jawab Ayunda sambil memastikan. 

“Aku tidak bermain-main denganmu. Aku sedang serius menantangmu sekarang.” 

Tantangan bodoh. Mereka—termasuk Adrian Laksana hanya buang-buang waktu dan uang. Ayunda rasanya ingin menjerit sekuat tenaga. 

“Jadi, kamu ingin menantangku? Dari semua wanita yang jelas kamu tahu jauh lebih cantik dariku, mengapa kamu memilihku?” 

Dan ... nasib buruk macam apa ini? Bukankah lebih baik dia pergi saja? 

Sial. Sial. Sial. 

“Kenapa?” Adrian berseru. “Mungkin untuk alasan yang sama semua pria lain datang ke sini, Miss A—yunda.” Adrian meletakkan gelas dan menaruh jemarinya di pangkuan wanita yang baru saja dipanggil Ayunda. 

Mata Ayunda terpancang sempurna. 

“Yang terpenting, aku datang untuk menyewamu dengan pantas, kan? Apa masalahnya?” 

Adrian menunjukkan senyum geli sebelum kembali bicara. “Rumornya kamu adalah wanita yang membuat setiap pria puas. Tidak ada yang bisa melewati tantanganmu. Kamu bahkan cukup pintar mengaturnya sehingga kamu tidak perlu disentuh. Aku yakin semua pria cukup tertarik. Mereka tentu ingin terus kembali lagi sampai mereka berhasil. Aku ... penasaran.” 

Ayunda menyipitkan mata padanya. Seolah-olah Adrian sedang menyelidikinya, lalu diam-diam kembali menertawakan dirinya. Itu seperti di SMA dulu, di mana dia selalu menjadi bahan tertawaan Adrian dan teman-temannya soal semua pidato dan kebijakannya di sekolah. 

“Kenapa kamu tidak mencobanya?” Ayunda membalas dengan dingin. 

Senyum tersungging di bibir Adrian. “Ya, kenapa tidak?” 

Bersambung .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status