Share

Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)
Waktu yang Hilang (Setelah Dia Hadir di Antara Kita)
Penulis: Lis Susanawati

Part 1 Dia Bukan Anak Haram

Waktu yang Hilang

Part 1 Dia Bukan Anak Haram

"Urusin anak haram itu, Pah. Jangan sampai bikin malu keluarga. Dia tawuran lagi katanya. Awas saja kalau sampai kita berurusan dengan polisi." Wanita yang biasa dipanggil Bu Rista itu berkata dengan nada geram disertai ancaman pada sang suami di ruang kerjanya.

Wajahnya merah menahan amarah setelah mendengarkan laporan dari salah seorang karyawan mereka di perkebunan. Kalau Saga terlibat tawuran tadi pagi.

"Siapa yang bilang?"

"Sentot," jawab Bu Rista ketus.

"Nggak ada habis-habisnya anak haram itu nyusahin kita."

"Astaghfirullah, Ma. Kenapa selalu menyebutnya anak haram. Dia lahir dari pernikahan yang sah," bantah sang suami tidak terima, walaupun sadar akan kesalahannya.

Bu Rista menatap nanar. Pak Norman, begitulah warga sekitar dan para karyawan memanggilnya.

Wanita itu masih menyimpan kobar kemarahan akhibat peristiwa yang telah berlalu hampir tiga puluh tahun yang lalu. Dia tidak akan pernah lupa, noda hitam dalam pernikahannya.

"Bagiku tetap anak haram. Kamu menikahi wanita itu tanpa izin dan sepengetahuanku."

Pak Norman menarik napas dalam-dalam. Melempar tatapan pada tumbuhan perdu di luar sana yang tampak dari jendela kaca besar ruang kerjanya. Setiap ada waktu, tiap kali Saga bertingkah, sang istri akan selalu mengungkit dan menguliti kesalahannya dulu.

Seperti biasa, laki-laki itu tidak akan banyak membantah atau membela diri. Diam adalah pilihan yang tepat daripada menimbulkan keributan panjang. Malu di dengar pembantu-pembantu di rumah mereka.

"Kalau begini terus, bikin malu keluarga karena kita selalu jadi bahan omongan orang. Apalagi sore ini ada pertemuan dengan keluarga Alita. Lebih baik biarkan dia pergi dari sini. Toh, dia sudah dewasa kan. Bisa menghidupi dirinya sendiri. Jangan meminta mama untuk ikut mengurusinya lagi. Bodo amat dengan rencana pernikahannya."

Pak Norman hanya menatap sekilas sang istri. Tidak membantah atau mengiyakan. Hingga istrinya pergi dengan kesal, laki-laki itu masih diam.

Saga Badra Alam. Pemuda dua puluh delapan tahun itu juga putranya. Lahir dari pernikahan yang sah, meski dia dan ibunya Saga menikah secara siri.

Bagaimanapun Pak Norman juga sangat menyayanginya. Saga telah kehilangan sang ibu ketika usianya menginjak sepuluh tahun. Setelah ibunya meninggal, Saga tidak memiliki siapa-siapa selain dirinya sebagai ayah.

Meski tahu istrinya tidak menyukai, tetap saja laki-laki itu mengajak sang anak tinggal bersamanya. Dia harus bertanggungjawab dan menyayangi Saga seperti ia memerhatikan anak-anaknya yang lain.

*****

"Kenapa sih, kamu selalu saja babak belur gini, Ga," gerutu Melati pada lelaki muda yang duduk membelakanginya. Sambil menunjukkan goresan luka di punggungnya.

Mereka duduk di ruang kerja perempuan itu. Di kantor perkebunan. Kebetulan mereka juga tidak berdua saja. Ada perempuan yang menjadi staf di sana. Membantu Melati mengobati luka Saga.

Lelaki itu hanya meringis menahan sakit ketika Melati membersihkan luka dengan perlengkapan seadanya. Dia tidak peduli dengan omelan teman baik yang selalu ada untuknya. Teman baik sekaligus kakak iparnya. Yang penting luka itu terobati. Sebab mengobati sendiri pasti tidak terjangkau oleh tangannya. Kalau tidak lekas di obati, sampai rumah nanti pasti mama tirinya akan murka.

"Kamu berkelahi dengan siapa, sih? Para preman itu lagi?" tanya Melati sambil terus membersihkan dan mengobati luka bekas sabetan benda tajam.

"Kamu ini nggak sayang sama nyawamu apa. Bolak-balik kayak gini." Melati masih terus mengomel walaupun pemuda itu sama sekali tidak menanggapi. Selain meringis menahan perih.

Biarlah Melati mengomel sesuka hatinya, yang penting dialah sahabat yang selalu ada untuknya. Apapun permasalahan yang dihadapi, Melati adalah pendengar yang baik.

"Sebaiknya kamu pergi ke dokter saja. Lukamu terlalu dalam ini. Bisa-bisa nanti infeksi dan membuatmu demam. Suruh nganterin sama sopir, jangan nyetir sendiri."

"Biar saja, tak apa-apa. Biasanya juga gini kan. Nanti sembuh sendiri."

"Kamu ini bandel banget, sih!" gerutu Melati sambil membereskan kasa dan obat merah. Di masukkan lagi ke dalam kotaknya.

Sementara Saga kembali merapikan kemejanya yang sobek bagian belakang. Kemudian memakai jaketnya.

"Kamu kelahi lagi sama siapa?" tanya Melati sungguh penasaran.

Saga tidak menjawab. Pemuda berahang kokoh itu hanya menatap teman dekatnya, sekaligus sang kakak ipar.

"Sampai kapan kamu seperti ini. Gimana kalau tunanganmu yang dari kota itu tahu?"

Mereka saling pandang. Saga kemudian mengalihkan perhatian pada pot-pot bunga yang berjajar di teras kantor. Beberapa bunga mawar tampak warna kembangnya sangat menarik. Merah maroon. Sepekat darah yang mengucur dalam luka-luka di tubuhnya. Bahkan dihatinya andai saja luka itu bisa dilihat.

"Mama Rista akan semakin illfeel, kalau kamu sering buat ulah seperti ini, Ga."

"Bahkan sejak aku masih berada di perut ibuku, beliau sudah membenciku, Mel. Aku kan anak haram yang terpaksa harus diterima di rumahnya."

Hening. Melati tahu banyak tentang Saga dan segala seluk beluk kehidupannya. Mereka memang berteman sejak kecil. Meski usia Saga lebih tua dua tahun darinya, tapi Melati lebih nyaman memanggil dengan sebutan namanya saja. Terlebih pemuda itu sekarang menjadi adik iparnya.

"Kamu masak apa tadi?" tanya Saga menatap Melati yang duduk di hadapannya. Sengaja Saga mengalihkan percakapan.

"Sayur bening. Kamu mau makan?"

Saga mengangguk pelan. Perutnya memang sudah keroncongan. Sejak tadi pagi belum sarapan, kemudian harus berkelahi dengan beberapa orang yang menyerangnya di jalanan.

"Ana, ambilkan rantang yang kubawa dari rumah tadi."

Ana, gadis dua puluh dua tahun itu beranjak untuk mengambil rantang susun di pojok meja. Sekalian mengambil piring dan sendok di belakang.

Melati membongkar rantang. Mengambilkan nasi untuk adik iparnya. Secentong nasi putih, sayur bening, tempe, dan sepotong ayam goreng.

Rasanya tenang juga makan di ruang kerja Melati yang langsung berhadapan dengan area perkebunan. Makan sambil menatap sekawan burung pipit yang terbang rendah di atas tanaman teh.

Walaupun apa yang disuguhkan Melati tidak sebanding dengan menu di meja makan rumah papanya, tapi Saga sangat lahap menikmatinya. Kalau makan di rumah orang tuanya, serasa tiap suap adalah sebuah hutang budi yang harus dibayarnya kelak.

Setiap hari Melati selalu membawa bekal sendiri dari rumah. Hasil masakannya sendiri. Meski ada pembantu yang masak di rumah besar itu.

Semenjak pernikahannya dengan Akbar tidak baik-baik saja, Melati lebih banyak diam mengontrol diri.

"Kamu nggak makan?" tanya Saga.

"Sudah tadi."

Hening. Yang terdengar hanya denting sendok yang beradu dengan piring. Angin musim kemarau berembus menyegarkan siang yang terik. Ranting-ranting pepohonan rindang dipersekitaran kantor saling bergesekan mendendangkan irama alam.

Saga meletakkan piring di sebelahnya setelah menghabiskan makan. "Makasih, Mel."

Melati tidak mendengar ucapan itu, karena asyik melamun. Saga menatap perempuan yang pandangannya menerawang. Melati yatim sejak kecil, menjadi yatim piatu sejak umur lima belas tahun. Hidup bersama seorang perempuan tua yang dipanggilnya Budhe Tami sebelum dinikahi oleh Akbar. Budhe Tami merupakan kerabat yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya di ujung desa sana.

"Makasih, Mel."

"Kamu ini harusnya memanggilku dengan panggilan Mbak."

"Kalau ada Mas Akbar saja aku manggil kamu Mbak."

"Ish, jangan gitu. Bagaimanapun juga aku masih iparmu?" ujar Melati.

"Masih ipar? Apakah kamu berencana untuk resign jadi iparku?"

Melati bungkam.

Saga membenahi duduknya. Rasanya dibuat bersandar di kursi terasa sangat sakit. Laki-laki itu mencondongkan tubuhnya pada sang ipar setelah menoleh sekilas pada Ana. Gadis yang sibuk dengan beberapa berkas itu masih kerabat jauh Melati. Sangat dekat dengan kakak iparnya. Untuk itu dia tidak khawatir jika apa yang dibicarakan dengan Melati akan bocor ke luar.

"Mel, benarkah rivalmu itu benar-benar pergi. Baguslah kalau perempuan itu mengundurkan diri. Bisa tenang hidupmu."

Melati tersenyum hambar. Apa setelah calon rivalnya pergi, serta merta hubungannya dengan Akbar langsung pulih? Tidak. Apa yang telah terkoyak tidak akan bisa kembali seperti sediakala.

Siapa yang bisa menjamin perasaan itu masih utuh seperti dulu. Bukankah Akbar sangat terluka saat tahu calon istri keduanya membatalkan rencana pernikahan mereka. Di depan Melati berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja, tapi mana tahu lukanya separah apa.

Hati yang telah retak, bagaimanapun juga akan sulit utuh seperti semula. Melati masih teringat jelas, saat Akbar mengenalkan perempuan itu padanya beberapa bulan yang lalu. Remuk redamnya perasaan masih membekas hingga sekarang, walaupun akhirnya dia menyerah dan memberikan izin pada Akbar untuk menikahi pujaan hatinya yang baru. Apalagi mendapatkan dukungan pula dari Bu Rista. Tanpa memperdulikan perasaan Melati.

Kenapa wanita itu begitu tega? Membuat menantunya terluka seperti yang pernah dialaminya dulu?

Memang dirinya bukan menantu yang dulu mendapatkan restu. Akbar yang ngotot menikahinya walaupun sang mama menentang. Tapi papanya sangat mendukung.

Bahkan Melati yang disalahkan atas kepergian gadis itu. Mereka mengira Melati telah mengancamnya. Padahal tidak. Untuk apa membuang waktu mengurusi hal itu. Lebih baik menata hati dan mengobati luka sendiri.

"Mel," panggil Saga ketika melihat sang ipar masih diam.

"Ya."

"Kalian masih baik-baik saja, kan?"

"Jangan tanyakan itu, Ga," jawab Melati lantas kembali fokus pada berkas-berkas di mejanya.

"Malam ini keluargamu dan keluarga Mbak Alita jadi mengadakan pertemuan, kan?" tanya Melati mengalihkan percakapan.

Pemuda itu mengangguk.

"Semoga acara kalian nanti lancar." Melati tersenyum getir. Bibirnya terlihat berkedut. Hanya sebentar bersitatap dengan laki-laki itu kemudian pandangannya kembali pada berkas di depannya.

Saga tidak menanggapi, hanya memperhatikan perempuan disebelahnya yang berubah sendu.

Mereka diam, dihinggapi kesunyian untuk beberapa saat. Hingga bunyi ponsel Saga membuyarkan lamunan.

Lelaki itu merogoh ponsel di dalam saku celana. Tertera di layar, sang papa yang menghubunginya.

"Ya, Pa."

"Kamu di mana?"

"Masih ada di kantor."

"Pulanglah sekarang, papa tunggu."

"Hmm, iya."

Saga menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Malas sebenarnya mau pulang. Rumah itu tak pernah nyaman untuknya. Namun tidak ada tempat untuk pergi. Hanya perkebunan yang sering menjadi tempatnya bermalam. Bukannya tak mau hengkang dari sana. Hanya saja kasihan sang papa yang sangat menyayanginya. Yang selalu melarangnya untuk pergi. Lelaki yang sering jatuh sakit akhir-akhir ini. Makanya urusan segala usaha di pasrahkan pada anak lelaki tertuanya.

Setelah diam sejenak, Saga lantas memandang Melati. "Aku pulang, Mel."

Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum. "Semoga sukses acaramu nanti." Kali ini Melati bicara dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Namun tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang tampak di matanya. Ia kasihan pada Saga yang tidak dianggap oleh ibu tirinya. Dirinya dan Saga terasa asing di rumah besar itu. Terlebih setelah Akbar menduakannya.

Saga hanya mengangguk pelan. Kemudian bangkit menuju motor sport-nya yang terparkir di bawah pohon mangga depan kantor.

"Mel, bunga melatimu mekar semua ini," tunjuk lelaki itu pada serumpun bunga mekar yang berada di dekat pohon mangga. Bunga yang ditanam oleh Melati.

"Hu um," jawab Melati sambil melangkah ke arah pintu.

"Putih bersih dan wangi seperti yang nanam. Sayangnya Mas Akbar tidak menyadarinya!"

"Nggak usah ngegombal, deh. Buruan pulang sana. Entar kena omel lagi."

Saga tersenyum kecut. Seperti anak kecil yang selalu kena omel setelah membuat kesalahan. Kalau bukan karena papanya, Saga tidak mungkin bertahan di sana. Lelaki yang selalu menatapnya penuh cinta. Sosok yang senantiasa mengingatkan Saga pada ibu yang telah tiada.

"Aku pulang dulu. Makasih, ya. Udah ngobatin lukaku. Jangan bosan-bosan kalau aku terluka lagi."

Melati berdecak lirih. "Setelah kamu menikah, istrimu yang akan ngurusi itu. Udah pulang sana! Aku masih banyak kerjaan." Perempuan itu berbalik dan masuk ke kantor. Di tutupnya pintu meski Saga belum pergi.

Meski hari Minggu, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Walaupun papa mertuanya melarang, tapi Melatih memilih lembur. Toh Akbar juga tidak sedang di rumah. Sedang ke pabrik teh untuk membicarakan rencana perpanjangan kontrak kerjasama.

***LS***

Rumah sepi saat Saga sampai. Biasanya kalau tengah hari begini mamanya pasti tidur siang. Kadang juga bermain dengan cucunya yang baru umur dua tahun.

Setelah menaruh motor di carport, Saga melangkah masuk lewat pintu samping. Luka di punggungnya terasa perih dan membuatnya mendesis menahan sakit.

"Dari mana kamu, Ga?" tanya sang papa yang duduk di ruang santai yang menghadap langsung ke kebun sayur.

"Benar kamu kelahi lagi?"

Saga duduk di kursi sebelah sang papa. Tidak berani bersandar karena punggungnya terasa sakit luar biasa. Bahkan tubuhnya sudah mulai meriang. Laki-laki muda itu hanya mengangguk tanpa bersuara. Tak perlu dijelaskan lagi kenapa para preman itu selalu mengeroyoknya. Tidak mungkin dia yang sudah berumur dua puluh delapan tahun akan bersifat kekanak-kanakan dengan berkelahi tanpa sebab. Kalau dia terdesak, apa tidak boleh membela diri?

"Nanti malam keluarga Alita pulang dari Jogja mampir ke sini. Kita mulai membicarakan tentang hubungan kalian. Usiamu dah matang untuk menikah. Hanya saja ubah perangaimu. Ubah kebiasaanmu. Kamu tahu kan apa tujuan papa menikahkan kamu sama Alita? Lagi pula kalian juga sudah kenal sejak sama-sama masih kuliah. Sudah akrab lama."

Tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Saga. Harusnya dia bahagia menikah dengan gadis itu. Terpelajar, anak orang berada, cantik, dan menarik tentunya.

"Pa, aku ke kamar dulu!" Saga sudah tidak tahan dengan rasa nyeri di punggungnya. Lukanya kali ini mungkin lebih parah dari sebelumnya.

Pria itu bergegas masuk ke kamarnya yang berada di bagian paling belakang. Kamar tersisih yang dipilihnya sendiri, walaupun banyak kamar luas dan lengkap perabot, tapi pilihan Saga jatuh ke kamar sederhana itu.

Norman Hazami, seorang pemilik perkebunan teh yang sangat disegani di daerahnya. Selain terkenal baik hati, juga dermawan. Terlepas dari masa lalunya yang pernah memiliki dua istri.

Saga melepaskan kemeja yang sudah terkoyak dan banyak bercak darah di sana sini. Darah kering yang sudah menghitam. Untungnya dia memakai kemeja warna gelap, jadi tidak begitu kentara.

Dari cermin dia bisa melihat luka di dekat tulang belikatnya. Sabetan pisau itu cukup panjang rupanya. Nyawanya memang benar-benar diinginkan lenyap dari raganya.

* * *

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
udah lama itu buka gemboknya tapi baru sempat baca sekarang setelah mampir di cerita Gama dulu
goodnovel comment avatar
Idadalia Mutiara79
baru hadir
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
aku baca kak lis...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status