Share

Part 2 Luka

Waktu yang Hilang

Part 2 Luka

Dari jendela kamarnya yang terbuka lebar, Saga menghirup udara segar menjelang senja. Hawa yang terasa sejuk di kulit. Di kejauhan ia bisa melihat kabut telah turun menyelimuti pemukiman penduduk dan perbukitan nun jauh di sana. Di langit barat, senja sudah semerah saga.

Laki-laki itu mendesis menahan sakit di punggungnya tadi. Badannya juga mulai meriang efek dari luka. Dia tidak mandi dan hanya mengelap tubuhnya mengenakan wash lap.

Suara tawa anak kecil membuatnya melongok ke luar. Moana duduk di bangku taman bersama sang kakek. Tampaknya ada hal lucu yang membuat bocah kecil itu tertawa puas.

Dia cantik seperti ibunya. Imut dan menggemaskan. Matanya sebening milik Melati.

Saga memandang Melati yang menghampiri mereka sambil membawa sebotol susu untuk Moana. Perempuan itu menyapa sang mertua dan berbincang sejenak. Entah bicara apa, kemudian tertawa.

Tawa perempuan yang jarang sekali dilihat oleh Saga sekarang. Mendung telah menyelimuti hidup Melati setahun belakangan ini. Ketika sang kakak menghadirkan wanita lain di antara mereka.

"Kakakmu punya kekasih lagi." Melati memberitahunya dengan wajah sembab suatu siang di kantor perkebunan.

Kala itu Saga yang baru pulang dari luar kota terkejut. "Kamu serius?"

Melati mengangguk.

"Bagaimana kamu tahu?"

"Aku baca semua chat-nya dengan wanita itu." Suara Melati sangau menahan pedih.

"Aku sudah menanyakannya. Masmu mengakui. Katanya sudah beberapa bulan ini menjalin hubungan dengan gadis itu. Dia seorang staf di PT Adi Karsa."

PT Adi Karsa adalah perusahaan yang bekerjasama dengan perkebunan papanya.

"Apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

"Aku nggak tahu," jawab Melati dalam nada keputusasaan dan terluka. Matanya menampakkan kilat amarah yang terpendam dan hanya bisa dirasakannya sendiri.

"Kalian butuh bicara serius. Mas Akbar harus melepaskan perempuan itu. Dukung dia, Mel. Supaya kembali ke pangkal jalan." Saga sedapat mungkin memberikan saran pada iparnya. Sebab bicara dengan Akbar jelas tidak mungkin. Selama ini mereka berdua tidak pernah ikut campur urusan pribadi masing-masing.

Hingga permasalahan itu bagai api dalam sekam selama berbulan-bulan. Kemudian Melati kembali mengajaknya bicara. Di tempat yang sama.

"Kamu bodoh, Mel. Kenapa kamu ngizinin Mas Akbar menikah lagi. Kamu akan menyesal nanti," ujar Saga dengan menahan geram.

Melati tersenyum getir. "Daripada mereka berzina, Ga. Lagian Mama Rista juga mendukung Mas Akbar untuk menikahi Nara. Aku bisa apa? Apa mungkin aku akan bercerai diusia pernikahanku yang baru menginjak usia enam tahun. Jika cerai, aku nggak bisa bawa Moana. Aku nggak punya apa-apa. Pasti aku kalah dalam hak penjagaan anak karena aku yang meminta berpisah. Aku nggak bisa jauh dari Moa, Ga."

Saga menarik napas dalam-dalam. Ingat tentang percakapannya dengan Melati. Ingat keluh kesahnya wanita itu. Dia bisa merasakan luka teramat dalam dari matanya yang bening.

Dia tidak habis pikir dengan pemikiran sang kakak. Bagaimana bisa di pernikahannya yang baru berjalan enam tahun, Akbar menghadirkan perempuan lain dalam perkawinannya. Apa kurangnya Melati? Istri yang penurut, penyayang keluarga, baik, dan saleha. Kenapa kakaknya begitu tega? Di mana kobaran cinta yang membara ketika dulu? Cinta menggebu yang membuatnya nekat menikahi perempuan itu, meski jelas Akbar tahu kalau mamanya menentang keras.

Kenapa sekarang begitu mudahnya menduakan. Apakah ini karma? Kutukan keturunan? Sebab papa mereka juga memiliki dua istri. Dan mirisnya, dirinya adalah anak dari istri kedua yang selalu dipandang hina.

Perhatian Saga beralih pada pria berkemeja putih yang menghampiri mereka. Moana berlari menyambutnya. "Papa," teriaknya.

Akbar langsung mengendong dan menciumi gadis kecilnya. Melati menghampiri untuk mencium tangannya.

Melihat itu semua membuat Saga merasa sedih. Kebahagiaan yang tampak di depan mata hanya fatamorgana. Jelas hubungan yang retak itu tak lagi utuh seperti dulu. Meski katanya, perempuan bernama Nara telah memilih membatalkan pernikahannya dengan Akbar.

Entah apa yang ada di otak sang kakak. Sadarkah dia, ibarat seenaknya saja melempar batu ke laut. Namun tidak memikirkan sedalam apa batu itu bisa tenggelam. Seperti luka Melati. Apa tidak terpikirkan sama sekali, sakit seperti apa yang dialami istrinya.

Senja kian pekat. Senja pergi, kini malam telah menghampiri. Papa, kakak, Melati, dan Moana masuk ke dalam rumah. Sementara Saga masih setia menatap senja yang hampir lenyap.

***LS***

Di dalam kamar, Melati menyiapkan pakaian ganti untuk Akbar yang tengah mandi. Hanya berdua saja, karena Moana bersama neneknya. Moana memang sangat dekat dengan kakek dan neneknya sejak kecil. Sebagai cucu pertama, perempuan pula, makanya sang mertua sangat menyayanginya.

Itulah kenapa, andai terjadi perpisahan, sudah jelas kalau Melati tidak akan pernah mendapatkan hak asuh putrinya.

Akbar yang tampak segar telah keluar dari kamar mandi. Melati mengambil jepit untuk mengikat rambutnya. "Aku wudhu dulu, Mas!"

Tiga rakaat dijalani dengan khusuk. Mereka melangitkan doa yang bisa jadi permintaannya pun bertolak belakang. Melati ingin kehidupan rumah tangganya kembali tenteram seperti dulu, tapi Akbar mungkin meminta hal lain. Minta agar Nara bisa ditemukan lagi dan mereka melanjutkan pernikahan yang pernah di rencanakan. Toh, Melati sudah menandatangani surat persetujuan untuk menikah lagi, berpoligami.

Semakin ia berteriak dalam hati meminta suaminya kembali seperti dulu, tapi apakah sang suami juga berdoa hal yang sama?

Bagi Melati sekarang, ia seperti menunggu tapi tidak tahu apa yang ditunggu. Sedang bertahan, tapi entah sampai kapan. Hubungan mereka tak lagi sehangat dulu.

"Mas, dapat kabar tentang Nara?" tanya Melati lirih setelah mencium tangan suaminya. Pertanyaan konyol yang sebenarnya sangat menyakiti dirinya sendiri. Apakah dirinya sudah mendekati gila?

Akbar menggeleng dengan wajah sendu dan kehilangan. Ternyata sudah sedalam itu perasaannya pada sosok gadis bernama Nara. Bahkan sampai istri yang mendampinginya selama enam tahun ini seolah tak punya hati dan perasaan lagi. Wanita di depannya itu dianggap apa? Patung?

"Mas." Melati meraih jemari sang suami. "Carilah sampai ketemu. Jika dia ingin menjadi istrimu satu-satunya, aku ... aku siap mundur."

Akbar kaget dengan perkataan sang istri. Ditatapnya lekat perempuan yang menggenggam tangannya.

"Apa yang kamu katakan, Mel. Mas nggak pernah berniat menceraikan kamu. Sekalipun ada Nara di antara kita. Mungkin Mas memang egois. Tapi Mas nggak bisa kehilangan kamu."

Melati tersenyum getir. Menunduk dan menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis supaya tidak pecah.

Ditariknya napas dalam-dalam. "Jika dia menginginkan menjadi ratu satu-satunya, aku bisa apa? Melihatmu terluka seperti ini, aku tahu betapa dalamnya perasaanmu padanya. Jika Mas masih mencintaiku, nggak akan ada perempuan lain di antara kita. Nggak perlu Mas jelaskan rasamu padaku sekarang seperti apa? Aku sudah tahu tanpa kamu ungkapkan."

"Mel." Akbar hendak meraih Melati dalam dekapannya. Namun wanita itu menolak. Kemudian melepaskan mukenanya.

"Kita harus bersiap, Mas. Sebentar lagi akan ada tamu. Ayo!" Melati berdiri sambil mengusap air matanya. Melipat mukena dan menaruhnya di rak pojok kamar.

Akbar memperhatikan wanita yang pernah membuatnya tergila-gila tujuh tahun yang lalu. Gadis cantik yang saat menikah dengannya baru berumur dua puluh tahun. Perempuan yatim piatu yang sederhana dan sopan. Karyawan kantor papanya dengan ijazah lulusan D1.

Meski sang mama menolak mentah-mentah karena Melati tak sepadan dengan putranya yang lulusan S2. Juga karena status sosial mereka yang jauh berbeda. Namun Akbar sangat gigih memperjuangkannya hingga mereka bisa menikah. Namun perkenalannya dengan Nara yang modern, ceria, kekinian, dengan tutur katanya yang manis dan manja, telah membuatnya kembali terjatuh dalam lembah asmara. Bersamanya Akbar merasakan bagaimana pandangan hidup yang berbeda. Yang tidak di dapatnya dari Melati.

Laki-laki itu bangkit dan melepaskan sarungnya. Dia menghampiri Melati yang tengah membuka lemari dan memilih busana untuk mereka berdua.

Baru saja melingkarkan lengan di pinggang ramping sang istri, Melati melepasnya pelan. "Aku mau ganti baju dulu, Mas," kata perempuan itu sambil tersenyum menatap suaminya. Kemudian bergegas masuk ke kamar mandi.

"Mel, kenapa nggak ganti baju di sini?"

Tidak ada jawaban dari dalam.

Sudah beberapa pekan ini, Melati merubah kebiasaannya. Tak pernah lagi lepas pakaian di hadapan Akbar. Kecuali di kala mereka hendak berhubungan. Bahkan setelah itu pun, sang istri lekas kembali mengenakan pakaiannya. Tidak seperti dulu, hanya di tutupi selimut dan Akbar bebas menyentuhnya.

Sementara di kamar mandi, Melati menepuk-nepuk pipinya di depan kaca. Menghalau kaca-kaca yang hendak menghambur keluar. Entah sampai kapan dia kuat bertahan. Rasanya sekarang saja sudah hendak tumbang.

Melati membasuh wajah. Melepaskan pakaian dan menggantinya dengan gamis warna biru dongker.

Wanita itu keluar kamar dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Sebab ia tahu, lelaki yang dulu begitu menginginkannya belum tentu menginginkan selamanya. Lelaki yang pernah memperjuangkannya, belum tentu akan terus mencintainya. Melati sudah merasakannya sendiri detik ini. Dan ia harus belajar untuk mengikhlaskan.

"Ganti bajumu dulu, Mas," kata wanita itu sambil duduk di depan meja rias. Mulai mengaplikasikan make up sekedarnya dan memakai jilbab.

Akbar mengganti baju koko yang biasa dipakai untuk salat dengan hem warna senada gamis yang dipakai oleh Melati.

Selesai bersiap, mereka keluar kamar. Disambut si kecil Moana yang sudah cantik dengan rok tutu warna merah jambu dan bando warna senada. Ada Tini yang mendandani tadi. Gadis yang menjadi pengasuhnya Moana.

"Mama."

Melati menggendong Moana, menciumi, dan mengajaknya melangkah ke ruang tamu. Di mana kedua mertuanya sudah duduk di sana. Namun Saga, yang memiliki kepentingan malah belum ada di situ.

"Tini," panggil Pak Norman pada perempuan yang baru saja menyuguhkan cemilan. Gadis itu berbalik.

"Panggilkan Mas Saga. Suruh ke sini cepat."

"Njih, Pak." Gadis itu terburu-buru melangkah ke belakang. Belum juga sampai ke kamar Saga, Tini berhenti. Sebab anak majikannya telah keluar kamar sambil mengancingkan ujung lengan kemejanya. "Bapak minta Mas Saga segera ke ruang tamu," kata Tini sopan.

"Ya."

"Om Aga, mo ke mana?" Moana turun dari pangkuan Melati kemudian memeluk kaki sang paman. Batita itu memang suka kalau diajak Saga keliling perkebunan dengan motor besarnya.

Saga meraih Moana dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Suara tawanya yang lucu begitu menggemaskan. Saga mengendong gadis kecil itu seraya menciuminya. Membuat Moana makin terkekeh geli.

Baru saja Saga duduk, suara mobil yang memasuki halaman membuat mereka semua menoleh. Pak Norman bangkit dari duduknya, diikuti oleh Bu Rista. Mereka menyambut tamu di teras.

Seorang gadis berambut sebahu, yang memakai celana jeans dan kaus lengan panjang turun dari pintu belakang. Diikuti perempuan seumuran Bu Rista. Dari samping kemudi turun laki-laki sepantaran Pak Norman. Mereka memang teman dekat waktu masih kuliah dulu. Kebetulan anak-anak mereka juga seumuran dan kuliah di tempat yang sama.

"Ayo, masuk!" Pak Norman merangkul pundak teman lamanya."

Dua keluarga saling bersalaman dan bertanya kabar. Alita tersenyum bahagia bersitatap dengan Saga. Tatapan gadis itu begitu memuja. Sementara Saga membalasnya dengan tatapan biasa. Baginya pertemuan malam ini tidak diinginkannya. Namun ia tidak bisa membantah kehendak sang papa.

Mereka berbincang-bincang sejenak. Pak Norman mengajak tamunya langsung ke ruang makan. Menjamu mereka lebih dulu karena dari perjalanan jauh, pasti sudah lapar. Dari Jogjakarta langsung ke Malang dan nanti pulang ke Surabaya.

"Moa, sini ikut mama." Melati mengambil si kecil dari gendongan Saga.

"Mbak Alita cantik, Ga," ucapnya lirih pada adik ipar.

Saga memandang perempuan yang melangkah di sebelahnya. Tanpa menanggapi ucapan Melati.

Canda tawa mewarnai jamuan makan malam. Sekaligus membicarakan rencana lamaran Saga untuk Alita ke Surabaya.

"Kira-kira kapan waktu yang tepat untuk menerima kedatangan kami ke Surabaya?" tanya Pak Norman di tengah-tengah mereka menikmati hidangan.

"Kapan, Ma?" Laki-laki berkepala botak itu memandang ke arah sang istri.

"Minggu depan ini kami masih ada acara nikahan kan, Pa. Gimana kalau dua Minggu saja dari sekarang? Atau coba kita serahkan pada Alita dan Saga untuk memutuskan?" Bu Handoyo menatap putrinya dan Saga secara bergantian.

"Oke, gimana, Ga?" Pak Norman memandang sang anak.

"Jangan dalam waktu dekat, Pa."

"Lebih cepat lebih baik, 'kan," bantah sang papa.

Saga memandang Alita. Gadis yang tampak kecewa karena perkataan Saga tadi, hanya diam memandanginya. Kenapa lelaki yang membuat hatinya terpikat semenjak di bangku kuliah itu terlihat tidak seantusias dirinya. Padahal kalau ngobrol di telepon, Saga sangat hangat berbincang dengannya.

"Kenapa di undur? Yang penting kalian tunangan dulu. Biar ada ikatan gitu." Bu Rista yang semenjak tadi diam, akhirnya ikut bicara. Meski hanya sekedar basa-basi. Ingin menunjukkan bahwa ia juga peduli meski Saga bukan dari dagingnya sendiri.

"Betul kata Jeng Rista. Lagian pernikahan bisa dilaksanakan setelah Alita wisuda S2 nanti. Tinggal setengah tahun lagi Lita lulus." Bu Handoyo menimpali. Wajah wanita umur lima puluh lima tahun itu terlihat semringah. Dia memang menyukai Saga sejak dulu. Ketika anak-anak masih duduk di bangku kuliah. Saga itu anaknya sopan dan tidak banyak tingkah. Walaupun ia tahu betul kalau Saga hanya putra dari istrinya Pak Norman yang lain.

"Gini aja, bulan depan kan ulang tahunnya Alita. Sekalian kita langsungkan pertunangan mereka di tanggal itu. Gimana?" saran Pak Handoyo, yang langsung disetujui oleh Pak Norman.

Pada akhirnya kesepakatan telah di buat. Saga akur pada keputusan. Walaupun entah kenapa, sisi hatinya yang lain merasa bimbang.

* * *

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Akbar suguh ga punya hati.. lebih baik menyerah aja Mel... ternyata Saga dan Alita dijodohkan
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
melati sama saga nggk ada bedanya. sama2 lemah. nggak ada usaha2 sikapnya pasrah tanpa perjuangan.
goodnovel comment avatar
mega silvia
yg kuat Mel.....selagi kuat ttp bertahan demi Moa ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status