Share

Part 6 Aku Bukan Malaikat 1

Melati berdiri sambil mengelap sisa air mata di pipinya. "An, kamu keluar dulu temui Mas Akbar. Bilang kalau aku masih di belakang sebentar," perintah Melati dengan nada pelan.

"Iya." Ana bergegas ke depan. Sedangkan Melati melangkah ke belakang diikuti oleh budhenya.

Dilepaskan jilbab, menaruhnya di sandaran kursi, dan membasuh wajahnya di wastafel.

Budhe Tami mendekat. "Nduk, apapun keputusan yang kamu ambil nanti. Bicarakan dengan baik-baik. Ketika hubunganmu dulu di awali secara baik, biarlah berakhir dengan baik-baik juga. Menjadi janda tidaklah semenakutkan bayanganmu. Biar, biarkan orang di luar sana yang mendukung keluarga itu bicara apapun terhadapmu. Tapi asal kamu tahu, banyak warga desa yang bersimpati daripada menghujatmu. Keinginan Akbar yang di dukung oleh mamanya sudah diketahui mereka. Justru mereka menganggapmu bodoh jika masih terus bertahan di sana.

"Banyak yang mendukungmu, Nduk. Kamu jangan takut. Tapi jika kamu rasa bisa bertahan, budhe juga nggak bisa menghalangi. Asal jangan kamu lakukan dalam keterpaksaan. Usiamu baru dua puluh enam tahun. Masih panjang langkahmu ke depan. Cari kebahagiaanmu, jangan sampai kamu menderita sepanjang hidup. Kalau kamu butuh dana, budhe ada, Nduk." Wanita itu bicara lirih.

"Makasih, Budhe. Saya punya tabungan. Dari gaji saya dan nafkah yang diberikan oleh Mas Akbar."

"Pokoknya ada apa-apa, kabari budhe."

Melati mengangguk sambil tersenyum. Dengan cekatan dipakainya lagi jilbab agar Akbar tidak kelamaan menunggunya.

Dua wanita itu keluar, menemui Akbar yang menunggu di teras. Akbar berdiri dan mencium tangan Budhe Tami.

"Apa kabar, Nak Akbar?" sapa budhe ramah. Membuat Akbar merasa serba salah, karena jarang sekali mampir ke rumah wanita itu.

Enam tahun lalu ia meminta baik-baik Melati pada Budhe Tami sebagai wali dari orang tua Melati. Namun saat ini, dia telah melukai hati istrinya dan tidak bisa menepati janji untuk menjaga Melati dengan baik.

"Masuklah, Nak Akbar. Budhe bikinkan kopi."

"Terima kasih banyak, Budhe. Nggak perlu repot-repot. Lagian sudah sore. Kami harus segera pulang." Begitu sopannya Akbar bicara. Membuat wanita setengah baya itu dulu tak percaya ketika baru tahu tentang perselingkuhannya. Akbar menghormatinya sebagai pengganti orang tua Melati.

Budhe Tami mengangguk. Meski banyak yang hendak disampaikan, tapi ia tidak bisa ikut campur terlalu dalam. Walaupun rasanya ingin sekali marah pada suami keponakannya itu. Mereka berlindung dibalik topeng tanggungjawab yang masih ditunaikan terhadap Melati. Padahal di sisi lain, begitu tega melukai.

Wanita itu memperhatikan mobil mewah Akbar yang meninggalkan halaman rumahnya.

***LS***

"Kamu habis nangis?" todong Akbar dalam perjalanan pulang.

Menikah selama enam tahun, membuat Akbar hafal bagaimana kebiasaan Melati. Mata dan pipinya yang kemerahan tidak bisa berbohong.

"Ya," jawab Melati jujur tanpa menoleh ke arah suaminya.

Akbar menepikan mobil di pinggir jalan. Di tengah ladang sayur yang sepi. Para petani sudah pulang menjelang sore begini. Sebenarnya dari rumah Budhe Tami tadi, Akbar bisa mengambil jalan lurus untuk bisa cepat sampai ke rumahnya. Namun saat melihat mata sembab Melati, dia memilih jalur memutar.

"Apa yang membuatmu sedih sekarang? Nara sudah tidak ada lagi di antara kita," kata Akbar datar.

Melati tersenyum getir. Apa Akbar sedang berpura-pura tidak tahu kalau hubungan mereka tak lagi seperti dulu? Hati yang telah berbagi dan kepercayaan yang sudah terkoyak, bisakah utuh seperti sediakala.

"Aku butuh teman bicara. Maafkan aku. Aku bisa gila kalau hanya diam dan membiarkan ini terpendam dalam dadaku sendiri."

Akbar menunduk. Ia sadar betul telah melukai hati istrinya begitu dalam. Namun egonya sendiri enggan untuk tumbang.

"Aku sudah mengabulkan permintaanmu, Mas. Tapi ketika kekasihmu memilih mundur, kalian semua menyalahkanku. Padahal Mas tahu sendiri, aku nggak pernah keluar dari rumah tanpamu. Setiap hari di kebun teh sampai sore. Aku juga nggak punya nomer ponsel wanita pujaanmu. Meski kalian tidak jadi menikah, meski kita tetap bersama, tapi semua tak lagi seperti dulu. Mas juga masih mencari-cari dia."

Mereka saling berpandangan.

"Kalau itu bisa membuatmu bahagia, aku doakan kalian dipertemukan lagi. Tapi aku minta, tolong lepaskan aku, Mas." Suara Melati bergetar. Namun ia lega bisa mengungkapkan kalimat itu. Kata-kata yang setahun belakangan ini begitu menakutkan baginya. Bagai momok hidup yang mengerikan.

Selama ini ia bingung, apa yang terjadi setelah bercerai. Keleleran menjadi janda yang tidak berharga. Tidak bisa bertemu lagi dengan Moana. Namun setelah dirasakan, cinta sang suami sudah banyak berkurang. Bahkan mungkin tidak ada lagi. Melati tak segan meminta perpisahan. Terlebih ada dukungan yang membuatnya yakin untuk melangkah.

Akbar menarik napas dalam-dalam. Tidak menduga kalau sang istri akhirnya mengucapkan kata itu.

"Sudah mas bilang 'kan? Mas nggak akan menceraikan kamu. Mas mencintaimu, Mel."

"Kalau cinta, nggak mungkin mendua, Mas. Setiap hubungan ada pasang surutnya. Setiap pasangan akan merasakan berada pada titik jenuh dan mengalami godaan. Namun kita tahu bagaimana bisa mengendalikan emosi dan keadaan. Mungkin aku banyak kekurangan dan Nara jauh lebih sempurna, sehingga ...."

"Nggak begitu, Mel," potong Akbar cepat.

"Aku gagal membendung perasaanku, tapi bukan berarti aku nggak mencintaimu lagi. Aku nggak mungkin melepaskanmu." Akbar berusaha meyakinkan.

Melati tersenyum kecut. Mengalihkan pandangan pada hamparan kebun sayur yang berselimut kabut. Langit barat telah merona jingga. Gradasi warnanya sungguh indah di pandang mata. Senja selalu tahu, bagaimana berpisah dengan meninggalkan keindahan.

Patutkah dia mengatakan bahwa lelaki yang masih menjadi suaminya ini adalah pria serakah?

Perempuan mana yang sanggup di madu? Sekali pun ada satu di antara seribu, tapi bukan Melati orangnya. Ketika ia setuju untuk menandatangani surat izin menikah lagi, bukan karena ia bisa menerima. Tapi karena tidak ada pilihan lain selain menuruti kemauan mereka, suami dan mama mertuanya. Melati bisa apa di tengah segala tekanan. Akbar memang tidak memaksa dengan ancaman atau kemarahan, tapi dibalik sikapnya itu Melati tahu. Kalau ia di tuntut untuk setuju.

Papa mertuanya melarang sang putra menikah lagi, tapi suaranya juga lenyap di telan bumi. Kesalahan masa lalu telah menjadi sekutu istri dan sang putra untuk mengabaikan pendapatnya.

Saga. Pria yang selalu berpihak padanya, tidak juga bisa mencegah niat kakaknya. Dia tidak memiliki hak bersuara di rumah itu. Meski suatu waktu dulu, Saga pernah ingin menghajar sang kakak. Namun Melati memohon sambil menangis. "Jangan lakukan itu, Ga. Kamu bisa mati nanti."

"Tak masalah. Aku tidak takut, Mel."

"Jangan, aku mohon. Pengorbanamu akan sia-sia. Kakakmu akan tetap menikahi perempuan itu. Jangan biarkan nyawamu melayang sia-sia hanya karena aku. Biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri. Tolong!" Setelah Melati bersimpuh dan merangkul kakinya, Saga luluh. Lelaki itu berdiri tegak di kantor perkebunan dengan dada penuh amarah. Ia menatap iba perempuan yang tidak berdaya di hadapannya. Saat itu Akbar sedang gila-gilanya pada Nara.

"Mel," panggil Akbar. Membuyarkan lamunan Melati.

"Dulu kamu sudah berjanji akan menerima semua ini. Mas juga akan memberikan hak-hak kamu meski ada Nara di antara kita. Kenapa kamu berubah pikiran? Mas nggak mungkin nglepasin kamu."

Melati diam. Memang layak ia mengatai suaminya serakah. Tapi bukankah poligami sah dalam agama? Terlebih mendapatkan persetujuan dari istri pertama, yaitu dirinya. Jika Melati murka? Apa bermakna ia menentang syariat yang ada dalam agama?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
gregetan sama Akbar... nyesek banget ya ampun jafi Melati...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status