Share

Part 5 Bukan Prioritas 2

Dikiranya dulu, Melati akan jadian dengan Saga. Mengingat mereka sangat dekat dan akrab sejak kecil. Rumah Melati di ujung desa bagian utara, sedangkan Saga berada di ujung Selatan. Bu Ariani, mamanya Saga adalah teman baik ibunya Melati. Namun kenyataan berkata lain, Melati akhirnya menikah dengan Akbar.

"Aku pergi dulu, Mel," ucap Saga menepis hening. Ia melihat jam digital di layar ponselnya. Meski dia anak bos yang mengawasi dan mengurus karyawan, tapi tidak boleh seenaknya saja. Baginya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang pekerja yang bisa dikatakan memiliki jabatan lebih tinggi daripada mereka, itu saja.

"Oh ya, tadi Mas Akbar bilang hendak pergi ke mana?" tanya Saga setelah berdiri.

"Aku nggak nanya."

Saga menatap Melati sejenak, kemudian beranjak dari sana. Tinggallah dua perempuan itu menikmati semilir angin siang membawa aroma daun teh ke penciuman. Hawa dingin membuat Melati di serang rasa kantuk. Namun ia ingat harus kembali ke ruangan dan menyelesaikan pekerjaannya.

***LS***

Kabut turun menyelimuti perkebunan, meski jarum jam baru menunjukkan pukul dua siang. Suasana lebih cepat redup daripada di dataran rendah sana.

Melati menatap ke luar dari jendela di sampingnya. Tempat biasanya Akbar memarkir mobilnya masih kosong. Entah ke mana suaminya pergi. Dia sudah terbiasa tanpa kabar. Melati bukan lagi sebagai prioritas, jadi tak ada keharusan untuk sang suami mengabari keberadaannya pada Melati. Benar kata Saga, ia harus mulai membiasakan diri tidak berharap dan bergantung pada Akbar. Sadar kalau dirinya hanya dihargai ketika dibutuhkan saja.

"An, aku ikut kamu. Mau ke rumah Budhe sekarang saja," kata Melati pada Ana yang telah berkemas-kemas. Mereka tiap hari memang pulang jam dua siang. Kecuali banyak yang harus di kerjakan. Misalnya ketika mendekati tanggal gajian para pegawai atau disaat hendak mengirimkan teh ke pabrik.

"Nanti suamimu nggak nyariin, Mbak?"

"Aku akan ngirim pesan." Melati meraih ponselnya dan mengetik pesan untuk Akbar. Tanpa menunggu balasan, wanita itu bangkit dari duduknya sambil meraih tas. "Aku pamitan dulu sama Saga."

Ana duduk menunggu di teras kantor saat Melati melangkah ke arah gudang. Saat itu Saga tengah menerima telepon. Dilihat dari percakapannya, dia bicara dengan pihak pabrik.

"Ada apa, Mel?" tanya Saga menghampiri sang ipar yang menunggu di luar gudang.

"Aku mau ke rumah Budhe Tami. Nanti kasih tahu Mas Akbar misalnya nanyain. Tadi sudah kukirimkan pesan tapi belum di balas."

"Oke. Tapi jam tiga nanti aku mau ke Singosari."

"Untuk apa?"

"Bertemu teman."

"Tapi lukamu belum sembuh."

"Nggak apa-apa. Ini sudah mendingan."

"Bagaimana kalau para preman itu menghadangmu lagi? Kamu hanya aman jika berada di perkebunan, Ga."

"Lalu apa aku tidak boleh ke mana-mana?"

"Setidaknya sampai lukamu sembuh. Ingat juga kalau bulan depan kamu tunangan."

Saga diam sejenak. "Baiklah, kupikirkan lagi nanti. Makasih kamu sudah peduli."

Melati tersenyum sebelum berlalu dari sana. Dengan orang yang tidak tahu menghargainya saja, Melati masih bisa tetap bersikap baik dan peduli. Apalagi pada Saga yang selama ini begitu care dengan apa yang di alaminya. Ada kalanya dia memang tidak butuh teman dengan segala nasehat yang memecahkan kepala, tapi sesekali hanya butuh orang yang mau mendengarkan dan memahami kondisinya.

Nasehat dibutuhkan ketika hati telah dingin dan redam dari emosi. Orang yang emosi, nasehat apapun tidak akan masuk ke dalam pikirannya. Begitu juga dengan Akbar, ketika sang suami tergila-gila dengan gadis itu. Nasehat dari papanya hanya dianggap angin lalu. Lebih-lebih papanya pun melakukan hal yang sama tiga puluh tahun yang lalu. Lantas apa bedanya dengan dirinya?

Apa mungkin sang papa dianggap lebih parah dari dirinya. Sebab menikah diam-diam sebelum jujur pada istrinya. Sementara Akbar meminta izin baik-baik pada Melati.

Ana memboceng Melati menuju desa mereka. Terus ke arah utara melewati kebun teh dan kebun sayur. Lalu berhenti di depan rumah sederhana di ujung jalan.

Perempuan umur enam puluhan yang tengah mengambil jemuran di samping rumah tersenyum senang melihat kedatangan Melati.

"Assalamu'alaikum, Budhe."

"Wa'alaikumsalam, Nduk. Alhamdulillah, kamu datang. Budhe kangen sama kamu." Perempuan itu meletakkan keranjang cucian lalu mengelap tangannya ke daster yang dipakai dan menerima uluran tangan Melati.

"Ayo, masuk. Budhe masak ayam kecap sama urap. Tadi sudah budhe tata di rantang biar Ana yang mengantarkan. Tapi syukurlah kamu datang. Mari makan bareng-bareng." Wanita itu mengajak Melati dan Ana masuk ke rumahnya. Menatakan piring, lauk, dan nasi.

"Kemarin Ana sudah cerita banyak sama budhe," kata Budhe Tami sambil makan.

"Mundur wae to, Nduk. Budhe kasihan sama kamu. Jangan pertaruhkan sepanjang hidupmu dalam hubungan seperti ini. Kamu berhak bahagia, Nduk. Budhe tahu kamu khawatir nggak bisa bertemu Moana. Tapi berkorban sementara nggak apa-apa. Kelak Moana akan mencari ibunya. Percayalah.

"Ambil sisi baiknya saja. Jika bersama mereka, Moana akan mendapatkan kehidupan yang layak, yang lebih baik. Bisa sekolah tinggi-tinggi. Bersamamu belum tentu bisa. Berpikirlah seperti itu supaya hatimu lapang. Yang terpenting doakan saja, karena doa seorang ibu bisa tembus ke langit. Budhe yakin, Moana akan mencarimu jika sudah mengerti nanti.

"Mungkin kamu bertahan karena nggak ingin anakmu kehilangan sosok kedua orang tuanya. Tidak ingin membuat Moana patah hati. Tapi tahukah kamu, dalam keadaan kamu bertahan pun, anakmu tetap merasakan broken home. Karena ketidakharmonisan kedua orang tuanya. Anakmu secara nggak langsung sudah patah hati, Nduk. Apalagi jika perempuan itu kembali dan menikah dengan Akbar, bisakah hidupmu tenang lahir batin?"

Nasehat budhenya yang pensiunan guru SD itu membuat Melati terdiam. Benar yang dikatakannya. Seumur hidup terlalu lama.

Sekarang saja ia masih merasakan sakit, padahal perempuan itu memilih pergi. Namun hati suaminya juga ikut pergi. Jika mereka memang masih saling mencintai, tidak mustahil akan kembali saling mencari. Apalagi Melati sudah memberikan restunya. Tanda tangan di atas materai sebagai bukti kalau ia rela dipoligami.

"Nduk, pikirno, yo. Jangan mengorbankan usiamu. Waktu yang hilang tidak akan bisa kembali. Sekarang kamu akan terluka seketika, tapi kamu bisa meraih bahagiamu selanjutnya. Budhe tahu, kalau menyuruh suami istri bercerai itu dosa besar. Namun untuk apa bertahan jika kamu sebenarnya terpaksa menjalaninya.

"Nduk, anggap saja kamu nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Jadi, buatlah sendiri hidupmu bahagia. Budhe sudah tua dan nggak punya apa-apa, yang bisa budhe berikan hanya doa serta nasehat."

Melati meletakkan sendoknya dan menghapus air mata dengan ujung jilbabnya. "Makasih, Budhe," jawabnya di tengah isak tangis.

Ana yang duduk di sebelah, merangkul bahu saudaranya. Netranya ikut berkaca-kaca.

Hening itu akhirnya tersibak oleh suara mobil yang berhenti di halaman rumah Budhe Tami.

"Mbak, sepertinya Mas Akbar menjemputmu," ucap Ana sambil menatap pintu depan.

* * *

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Melati .........
goodnovel comment avatar
Barra
sebaiknya berpisah saja percuna juga hati suami udah untuk yang lain
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status