Share

Part 8 Tegar 1

Akbar berdiri di balkon lantai dua. Menatap di kejauhan sambil mendengarkan orang yang berbicara di seberang sana.

"Bos, aku sudah dapat kabar tentang Nara. Dia masih di Surabaya sebenarnya. Cuman belum tahu di mana pastinya dia tinggal. Orang-orangku tengah mencari tahu alamatnya ini."

"Oke," jawab Akbar singkat. Lantas mematikan panggilan.

Gadis itu, nekat pergi menjelang pernikahan yang telah disiapkan secara matang. Apa yang membuatnya membatalkan acara itu? Bahkan dia nekat pergi dari keluarganya juga. Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Tatapan Akbar menjangkau jauh dalam pekat malam. Semua percakapan Melati sore tadi masih terngiang di pendengaran. Cerai. Melati tak ragu lagi meminta itu darinya. Akbar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian kembali ke dalam.

"Mbak Melati sudah kembali ke kamar, Pak." Tini yang masih membereskan mainan Moana memberitahu Akbar.

Laki-laki itu mengangguk lantas melangkah pergi. Tini menutup pintu dan ingin segera tidur.

Dalam kamar, Melati berbaring miring menghadap ke tembok. Akbar duduk perlahan di sisi satunya. Menatap dinding yang ada foto pernikahan mereka dalam ukuran besar. Melati yang memakai baju pengantin warna lemon chiffon sangat anggun dan cantik. Seluruh pelaminan bernuansa kuning keemasan dan berseling warna keperakan saat mereka menikah dulu. Sangat megah dan meriah. Tamu undangan membludak. Mulai dari warga desa, para karyawan, relasi, kenalan, teman-teman kuliahnya, dan para pejabat daerah pun ada.

Perayaan tiga hari dua malam itu sangat melelahkan. Membuat Melati jatuh sakit sehari setelah resepsi. Terpaksa mereka harus menunda rencana bulan madu hingga seminggu kemudian setelah Melati sembuh.

Akbar menunduk ingat perjalanan kisah mereka. Lantas sekarang dia telah tega membagi cinta. Mengabaikan perempuan yang bergantung hidup padanya. Yang mengabdikan diri sepenuh hati enam tahun belakangan ini.

Dia menoleh. Menatap Melati yang masih berada di posisi semula. Menyentuh pundak itu, tapi sang istri yang masih terjaga bergeming.

Bagi Melati permintaan maaf saja tidak cukup untuk mengembalikan hatinya yang telah retak. Ini bukan perselingkuhan biasa. Karena jenuh atau butuh variasi. Perselingkuhan yang bisa kembali ditoleransi dan diiperbaiki. Saling memaafkan dan mereka kembali baik-baik saja meneruskan pernikahan. Membina rumah tangga yang lebih kokoh setelah diterjang badai. Membesarkan anak bersama, melupakan pengkhianatan dan rasa sakit.

Namun apa yang dilakukan sang suami tidak sekedar mencari hiburan semata. Bermain-main sejenak di luar, lantas kembali pulang. Tidak seperti itu. Akbar telah membawa perempuan itu masuk menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Berharap untuk selama-lamanya. Kalau perselingkuhan biasa, perempuan itu pergi tak akan dicari. Tapi ini?

Apa yang membuat Akbar tidak bisa lepas dari gadis itu? Apa mereka telah terlanjur melakukannya? Hati Melati terasa tercabik-cabik.

Melati merasakan tangan Akbar menyentuh pundaknya lagi. Mungkin kemarin-kemarin ia masih mau meladeni, kali ini hati kecilnya berontak. Sadar hanya sebagai pelampiasan saja. Walaupun ia tahu jika menolak ajakan suami itu dosa, karena Akbar masih berhak penuh atas dirinya. Namun Melati nekat melanggarnya. Hati tak lagi bisa berkompromi.

***LS***

"Kamu beneran mantap untuk menikah dengan Alita?" tanya seorang laki-laki pada Saga. Saat itu mereka tengah duduk berdua di sebuah kafe pinggiran kota.

Saga yang tengah menikmati rokoknya mengangguk samar.

"Kamu bukan orang yang memutuskan sesuatu dengan ragu-ragu, Ga," sanggah Izam. Yang tahu bagaimana Saga. Mereka berteman sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Laki-laki itu kenal Alita juga ketika mereka sama-sama di kampus.

"Kadang kita memang tidak bisa mastiin semuanya sesuai apa yang kita mau. Contohnya aku ini. Kalau ikutkan kata hati, aku ingin segera angkat kaki dari rumah itu. Tapi ada yang membuatku berat melakukan itu."

"Karena papamu?"

Tatapan Saga menerawang. Jatuh pada bulan separuh dan satu bintang terang yang tidak jauh dari sang rembulan, si penguasa malam.

"Bagaimana dengan kakak dan iparmu?"

"Masih sama. Melati terlalu lembut, Zam. Kadang baik dan bodoh itu nggak bisa dibedakan untuk kasus mereka. Aku kasihan sama dia." Saga meraih cangkir kopi dan menyesap isinya.

Izam tersenyum menatap sahabatnya. "Kasihan apa ada faktor lain?" tanya Izam menggoda Saga.

Saga kembali mengisap rokoknya. Membiarkan hening menjadi jeda yang panjang. Izam pun meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Dia tidak heran dengan Saga. Sudah hafal kebiasaan sahabatnya itu. Tiap kali bertemu, bukan untuk berbicara panjang lebar, terkadang hanya duduk diam berdua menikmati sepi. Ditemani rokok dan kopi.

Sejak dulu Saga memang pendiam, bahkan terkesan sangat dingin. Namun dia sosok yang tegar. Masa lalu telah menciptakan karakternya seperti itu. Untungnya dia bukan laki-laki yang gampang terpengaruh pergaulan bebas. Nar koba dan alkohol. Memang sewaktu kuliah dia gemar ikut balapan liar, agar mendapatkan uang lebih jika menang. Sebab uang saku dari mama tirinya kadang tak cukup untuk makan sebulan. Makanya dia sering menerima tawaran menjadi joki di balapan liar.

Kalau dipikir, apa artinya uang makan untuk Saga dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki keluarganya. Tapi Saga tidak terpenuhi kebutuhannya, karena sang papa sangat percaya kalau istrinya akan mengurus dengan baik keperluan Saga.

Namun menjelang akhir perkuliahannya, sang papa mendapati Saga menjadi kuli panggul di sebuah pasar rakyat. Disitulah laki-laki itu baru tahu apa yang dialami putra bungsunya selama ini.

Saga konyol juga. Padahal banyak pekerjaan paruh waktu yang bisa ia lakukan, yang jauh lebih baik daripada memanggul berkarung-karung sayuran. Akan tetapi Saga lebih memilih kerja seperti itu. Cepat dapat uang karena langsung diberikan upah. Para pedagang perempuan itu tak segan memberinya upah lebih, karena suka dengan wajah tampan dan body bagus kulinya. Akhirnya Izam pun ikut-ikutan pekerjaan itu.

"Ga, kamu ingat nggak waktu kita jadi kuli panggul?" Izam membuka perbincangan.

"Ya. Kenapa?"

Izam tersenyum kemudian menerawang mengingat masa-masa itu. "Kita pergi ke pasar menjelang jam sepuluh malam. Menunggu truk sayur datang, kemudian memindahkan barang-barang itu ke dalam pasar hingga jam dua pagi. Pulang ke kosan tepar dan pergi kampus selalu kesiangan."

"Aku ingat."

"Ingat nggak sama anak gadis pedagang sayur yang jatuh hati sama kamu. Tiap malam menemani ibunya di pasar. Padahal katanya sebelum itu dia nggak mau ke pasar. Dia selalu memberikan kita makanan. Nasi padang, soto, sate, rawon, kue cucur. Gadis itu bahkan tahu kamu suka kue cucur."

Saga tersenyum di sudut bibir. Mendengarkan cerita Izam yang mengulas kehidupan mereka beberapa tahun yang lalu.

"Bahkan ibu itu pun menginginkanmu jadi menantunya setelah kamu lulus kuliah. Saking ngebetnya sama kamu, membuatmu kabur dari sana dan berhenti jadi kuli." Izam tertawa di akhir kalimatnya.

"Kamu ketakutan dikejar anak sama ibunya. Persis seperti laki-laki yang ngehamilin anak gadis orang dan dikejar untuk dimintai pertanggungjawaban."

Senyum Saga makin lebar.

"Aku masih ingat juga ketika kita lari lintang pukang, saat digerebek polisi waktu balapan liar di jalan Gunung Anyar. Kita sembunyi di tambak dan diteriaki pemiliknya karena disangka hendak mencuri ikan. Lengkap sudah hidupmu, Ga."

"Tak hanya lengkap, tapi sempurna, Zam," jawab Saga menatap malam.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
udah sendu² gara² kisah Melati jadi ikut ngakak sama cerita Izam dan Saga ......
goodnovel comment avatar
D6ta
baru baca sampe sini aja, rasanya sedih bngt
goodnovel comment avatar
Indah Wirdianingsih
kasihan bnget saga
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status