Aplikasi hijauku berbunyi. Kubuka pesan yang masuk. Dari sepupuku di Bandung. Dia mengirimkan sebuah video padaku.
'Deg.' Aku tersentak saat melihatnya.
Video itu berisi akad nikah suamiku di sebuah ruangan, tapi entahlah itu ruangan apa. Ternyata sebuah kamar di rumah sakit.
'Ya Allah, Mas Radit. Kamu menikahinya!' sontak mulut ini ditutup oleh telapak tangan kananku.
Tak lama ia kirimkan lagi video Mas Radit sedang resepsi di pernikahan itu. Gawai ini tak kuasa terpegang lagi olehku, aku terkulai lemas menepi di pojok kamarku.
Hati ini terasa teriris melihat video itu. Pernikahan Mas Radit dengan Seli. Tapi ... bukannya Angga yang menikahi Seli? Kenapa malah suamiku yang jelas-jelas sudah punya istri.
Aku menangis tersedu sembari mengelus-elus jabang bayi yang ada di kandunganku. Saat ini aku sedang mengandung usia delapan bulan, dan ini anak pertama kami.
Suara telepon membuatku terperanjat.
"Halo, Kania. Kamu nggak kenapa-napa, kan?" suara Lia mengkhawatirkanku di sebrang sana.
Ku seka air mata ini, lalu menghela napas kasar.
"Aku nggak apa-apa, Li. Aku butuh penjelasan, Li! Mengapa bisa seperti itu?"
"Panjang kalau harus diceritakan, Kania. Aku juga bingung semua terjadi begitu cepat," katanya.
"Nggak apa-apa, kamu cerita aja. Aku sangat penasaran dengan video yang kamu kirimkan ini. Bagaimana mungkin Mas Radit menikahi Seli yang jelas-jelas mau menikah dengan Angga." Aku berusaha tegar saat bicara dengan Lia.
"Tadi mobil pengantin laki-laki kecelakaan, Angga mengalami luka parah. Ia meminta Radit untuk menikahi Seli. Radit tadinya menolak, tapi Angga merasa umurnya tak lama, akhirnya dia terima. Terjadilah akad nikah itu di rumah sakit. Angga menyuruh mereka kembali ke tempat resepsi. Mereka pun melakukan resepsi, saat itulah Angga meninggal dunia," cerita Lia.
Aku syok mendengar cerita Lia. Mas Radit sudah sah mempersunting Seli. Itu berarti, ah ... Aku tak kuat memikirkannya.
***
"Dek, aku pergi dulu ya!" Mas Radit pamit akan ke pernikahan Angga dan Seli di Bandung.
"Iya, Mas. Hati-hati di jalan, ya!" ucapku sambil mencium tangannya. Ia pun mencium dahiku, lalu pergi meninggalkanku.
Aku tak bisa ikut karena kehamilanku sudah memasuki trimester ketiga. Aku disarankan banyak istirahat di rumah oleh Mas Radit.
Mas Radit ingin ikut rombongan pengantin laki-laki, jadi harus berangkat dari Bogor dini hari, saat semua masih terlelap. Semua kejadian tadi pagi terekam jelas di ingatanku.
Andai Mas Radit tidak pergi ke Bandung, mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi. Aku hanya bisa berandai-andai, tanpa bisa mengembalikan semua.
Memoriku kembali ke masa lalu. Aku, Suamiku, Angga, Seli dan Lia adalah teman saat kami kuliah. Mas Radit dan Seli pernah menjalin hubungan spesial saat itu. Tapi, takdir menjadikanku sebagai istri Mas Radit.
Tak kusangka, sekarang mereka bersama kembali setelah takdir yang tadinya akan memberikan kami pasangan masing-masing, ternyata ia harus kembali pada suamiku.
'Ya Allah kuatkanlah aku,' batinku.
***
Seharian kemarin tak ada kabar dari Mas Radit. Mungkin dia sedang sibuk dengan istri barunya. Atau mengurus pemakaman sahabatnya? Hatiku bertanya-tanya. Sementara Lia juga masih belum bisa kuhubungi.
Kucoba menghubungi gawai Mas Radit terlebih dahulu. Nada sambung sudah terdengar, namun suamiku masih belum mengangkatnya. Hal ini membuatku memikirkan hal yang tidak-tidak tentangnya.
'Mungkin dia sedang memadu kasih dengan Seli.' Aku bergidik saat memikirkannya.
Bagaimana mungkin aku bisa membayangkannya membingkai kasih dengan wanita lain. Aku tak siap dengan hal itu, dan itu tak ada dalam kamus hidupku.
Bagaimana nanti pandangan orang tuaku, orang tuanya? Apakah mereka sudah tau tentang hal ini?
Aku mengirim pesan pada Lia agar ia menyembunyikan hal ini dari orang tuaku. Mereka bisa-bisa menyuruhku untuk berpisah nantinya. Lia setuju dengan usulku. Ia juga menyuruhku untuk tenang agar tidak terjadi apa-apa pada kehamilanku. Lalu Lia meneleponku karena merasa khawatir.
"Sabar ya, Kania. Kamu harus berpikir positif. Ingat, di sini Radit juga terpaksa. Ia melaksanakan keinginan Angga," jelas Lia.
"Iya Lia. Aku tau itu. Tapi, aku nggak tau bakal sanggupkah nanti menjalankan poligami ini. Kamu tau kan mereka pernah ada hubungan spesial? Hubungan masa lalu mereka bisa dibangun kembali. Gimana denganku nanti, Lia? Huhuhu." Aku menangis lagi setelah menahannya sedari tadi agar air mata ini tak tumpah.
"Udah ... udah Kania. Aku jadi merasa bersalah telah memberitahumu. Mana kita jauhan. Aku tak bisa memelukmu dari sini. Kamu harus kuat ya. Aku tau kamu bisa!"
"Iya, Lia. Terima kasih. Kamu nggak salah. Kamu sudah benar telah menghubungiku," jawabku.
"Ya sudah, kamu istirahat ya. Jangan mikir yang aneh-aneh. Tunggu saja berita dari suamimu nanti. Insya Allah Radit orang baik. Dia pasti bisa mengatasi masalah kalian." Lia menenangkanku.
Aku meng-iyakan nasehat Lia, lalu komunikasi kami akhiri. Setelah berbicara dengan Lia, aku mengeluarkan emosiku lagi dengan menangis.
Tak lama, ada suara mobil yang datang. Ternyata mobil Mas Radit sudah terparkir di depan rumah. Aku menyeka air mata ini, lalu bersiap bertemu dengannya.
Saat aku akan membuka pintu, ku lihat Mas Radit sedang berjalan bersama Seli untuk masuk ke rumah kami.
Apa yang harus kulakukan?
Bersambung
Mas Radit dan Seli berjalan menuju pintu. Aku menghela napasku terlebih dahulu agar merasa tenang. Ku seka sisa-sisa air mata ini agar tak terlihat aku habis menangis."Assalamualaikum, Dek!" Suamiku memanggil dari luar."Waalaikumsalam, iya Mas. Sebentar!" sahutku.Terlihat wajahnya yang redup, kurasa Mas Radit sedang capek.Ku pasang ekspresi sebiasa mungkin menghadapi mereka. Mas Radit menatap wajahku, kami saling berpandangan sesaat. Aku langsung tersadar, lalu mengambil tangannya untuk kusalami."Eh, kok Mas ke sini dengan Seli?""Sebentar, Dek. Biarkan Seli duduk dulu, ya. Kamu sekarang siapkan minum dan makanan buat Seli. Kasian dia sudah perjalanan jauh," kata Mas Radit.Aku menghela napas kembali. Dada ini rasanya gemetar, Mas Radit masih belum menjelaskan semua. Aku diminta memberinya makanan?Aku bergeming di tempatku."Dek, kamu kenapa? Tolong buatkan minum dulu. Aku juga capek," katanya lagi."B
Aku kembali ke kamar. Mas Radit ternyata sudah tertidur. Aku pandangi wajahnya yang biasa kujahili kalau dia tidur. Tapi sekarang, rasanya tak mood untuk melakukannya.Kutinggalkan saja dia sendiri di kamar, biar ku tidur di sofa saja. Di satu sisi aku kasihan padanya, di sisi lain rasanya ingin marah saja kalau berada di sebelahnya.Aku juga harus siap dengan pernyataan suamiku nanti dan mengambil keputusan apakah tetap di sisinya atau akan pergi meninggalkannya.***Aku terbangun karena merasakan sentuhan di kedua pipiku. Ternyata Mas Radit sudah bangun dan baikan."Eh, Mas. Udah sehat?" tanyaku."Alhamdulillah udah baikan. Kamu kenapa tidur di sini?" tanyanya."Oh ... Mungkin ketiduran setelah menerima telepon, Mas."Mas Radit mengambil kedua tanganku agar aku segera bangun. Aku menyambut tangannya, lalu bangkit dari sofa."Terima kasih, Mas," kataku tanpa senyuman."Kok kamu masih cemberut? Mas lihat dar
"Kania ... kamu nggak apa-apa kan?"Ketika ku buka pintu, Lia langsung menanyaiku."Ya Allah, Lia sepupuku yang baik hati. Sepagi ini kamu dah sampai Bogor. Aku nggak apa-apa, Lia! Hanya hatiku yang sakit. Ayo masuk!" ajakku pada Lia.Aku dan Lia duduk di ruang tamu, kami berdampingan.Iya. Aku beli ini makanan kesukaanmu. Sengaja beli, biar kamu ngemil. Kayanya kamu bakal nggak napsu makan," ujarnya sok tau."Iya, Lia. Makasih ya. Aku masih mau makan kok, Li. Hanya aku bingung ke depan seperti apa."Coba kamu ceritakan bagaimana Radit membawa Seli ke sini?""Sebentar, aku mau kasih kamu minum. Kamu pasti capek!"Nggak usah, aku ambil aja nanti ke belakang. Lagian ini ada air mineral gelas, aku minum ini aja!" katanya setelah melihat minuman itu di meja.Aku pun setuju, lalu mulai bercerita."Iya, kemarin Mas Radit membawa Seli ke rumah. Tapi mereka pergi lagi, Mas Radit mencarikan Seli kontrakan
Mas Radit tak pulang pagi-pagi. Mungkin dia langsung ke toko. Baiklah Mas, tak apa-apa, aku sangat tau kesibukanmu.Aku mencoba mengafirmasi kalimat-kalimat positif. Kalimat-kalimat itu kutulis di kertas, lalu kutempel di cermin. Saat memandang cermin di depanku, aku membaca semuanya dan mengafirmasi kalimat-kalimat itu."Kamu harus kuat, Kania!""Kamu berharga!""You are amazing!"Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan di cermin. Semoga menjadikan diri ini lebih baik dan lebih bisa menyingkirkan hal negatif.Saat sedang sibuk mengafirmasi diri, tiba-tiba gawaiku berbunyi."Halo Kania, Sayang. Maaf, Mas belum bisa pulang. Mas sudah di toko sekarang. Insya Allah nanti pulang lebih cepat, karena toko lainnya tak perlu Mas kunjungi hari ini," katanya penuh semangat."Iya, Mas.""Kamu tunggu ya, Sayang. Mas kangen deh sama kamu. Sehari nggak ketemu rasanya seperti setahun. Tunggu Mas di rumah ya, Sayang!""Iya, Mas."
Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing."Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur."Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya.Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang.""Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku."Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku
Bab 7POV RaditSeli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan."Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku."Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini. "Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku."A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku."Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.Di dapur aku menegurnya agar tak bany
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund