Share

Janji yang Tak Kau Tepati

Mas Radit tak pulang pagi-pagi. Mungkin dia langsung ke toko. Baiklah Mas, tak apa-apa, aku sangat tau kesibukanmu.

Aku mencoba mengafirmasi kalimat-kalimat positif. Kalimat-kalimat itu kutulis di kertas, lalu kutempel di cermin. Saat memandang cermin di depanku, aku membaca semuanya dan mengafirmasi kalimat-kalimat itu.

"Kamu harus kuat, Kania!"

"Kamu berharga!"

"You are amazing!"

Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan di cermin. Semoga menjadikan diri ini lebih baik dan lebih bisa menyingkirkan hal negatif.

Saat sedang sibuk mengafirmasi diri, tiba-tiba gawaiku berbunyi.

"Halo Kania, Sayang. Maaf, Mas belum bisa pulang. Mas sudah di toko sekarang. Insya Allah nanti pulang lebih cepat, karena toko lainnya tak perlu Mas kunjungi hari ini," katanya penuh semangat.

"Iya, Mas."

"Kamu tunggu ya, Sayang. Mas kangen deh sama kamu. Sehari nggak ketemu rasanya seperti setahun. Tunggu Mas di rumah ya, Sayang!"

"Iya, Mas."

"Oke Sayang. Udah dulu, Mas mau liat laporan keuangan hari ini," katanya.

Aku tau kerjaan suamiku setiap hari mengontrol semua. Tapi yang luar kota jarang dia kontrol, ada adik-adiknya yang menjadi kaki tangan di sana.

Tadi Mas Radit bilang kalau sedang lihat laporan keuangan, berarti di toko pusat. Aku mau iseng membuktikannya. Kuhubungi salah satu karyawan bagian keuangan yang dekat denganku di sana.

[Assalamualaikum. Al, Bapak ada di situ?] tanyaku pada Alam.

[Ada, Bu. Baru saja datang.]

[Oke, makasih ya!]

Mas Radit kali ini lolos, karena ia bicara jujur padaku. Aku tinggal menunggu waktu sore.

Ingin dandan yang cantik, tapi semua bagian tubuhku membesar. Dan kalau lagi hamil kan tak diperbolehkan menggunakan sembarang kosmetik. Jadinya aku sering polosan akhir-akhir ini.

Kukirimkan pesan pada suamiku.

[Baik Sayang. Aku tunggu kamu di rumah, ya! Sudah tak sabar menunggu.] pesan itu terkirim. 

Tak lama berubah menjadi centang biru.

[Alhamdulillah, akhirnya istriku kembali bersemangat. Baik Sayang. Aku juga sudah tak sabar bertemu denganmu.]

Aku terkekeh melihat pesan suamiku. Aku dan dia sama-sama bucin.

Akhirnya kukirimkan pesan suara padanya. Tadinya sih agar dia tergoda.

"Iya, Mas Sayang. Love you," kataku dengan suara mendayu-dayu.

Mas Radit menjawab dengan pesan.

[Jangan pakai suara! Nggak enak kedengeran karyawanku nanti!]

Susah juga ngebucin saat suami di toko. Pake suara pas dia buka ternyata volume besar, bisa malu Mas Radit nanti.

Aku kirim balasan dengan pesan juga.

[Oke Sayang. Maaf ya.]

Sampai tak sabar menunggu kepulangannya, aku sekarang bersiap memasak menu spesial untuk makan kami nanti.

Tapi, masakan kemarin masih banyak karena Mas Radit nggak pulang. Aku kombinasi saja  dengan menu hari ini, insya Allah ini juga masih bisa dimakan. 

Aku berkreasi di dapur, masakan jadi. Kucicipi sedikit saja, sebelum menunggu suamiku. Katanya dia akan pulang lebih cepat dari biasanya.

Kalau bicaranya seperti itu, biasanya sekitar pukul dua, paling telat setengah tiga. Masih ada waktu satu jam lagi, kugunakan untuk shalat lalu istirahat dulu.

***

"Masya Allah, jam berapa ini? Sudah hampir magrib, aku belum shalat ashar," kataku sambil melihat jam. Kuputuskan untuk shalat terlebih dahulu.

Seusai shalat, kutengok gawaiku, ada beberapa panggilan tak terjawab. Ada pesan juga dari Mas Radit.

[Dek, maaf aku sepertinya pulang telat. Seli butuh aku sekarang. Jadi, aku ke kontrakannya dulu, ya! Kamu makan duluan aja!] pesan itu dia kirim jam dua siang. Sampai hampir jam enam, Mas Radit masih belum pulang.

"Kamu kenapa sih, Mas malah mentingin Seli dari aku?" Aku menangis dalam sajadahku yang masih belum kulipat.

Mas Radit sungguh keterlaluan. Kenapa Seli ingin sekali menguasai Mas Radit? Aku juga butuh suamiku. Mana aku belum tau dimana kontrakannya. Nomor w* Seli pun aku tak tau juga.

Perutku berkontraksi. Aduh, rasanya sakit. Mas, kamu di mana? Perutku sakit. Aku ambil gawaiku, lalu kutekan nomor suamiku. Tak ada jawaban di sana.

Aku menarik napas dalam-dalam, kuhembuskan lagi. Semoga cara ini ampuh mengatasi kontraksi palsu ini.

Aku tau ini kontraksi palsu menjelang kelahiran, karena HPL-ku masih sebulan lagi. Tapi ... Aku takut juga kalau ini kontraksi sungguhan juga.

Tak lama, semua reda setelah aku mengatur napasku. 

"Dek, jangan dulu keluar ya! Ayah nggak ada di sini, Bunda lagi sendirian. Nanti saja kalau ada Ayah, baru dedek minta keluar," kataku menyemangati jabang bayi di perut ini sembari mengelus-elusnya.

Ingin sekali menumpahkan air mata ini. Tapi, aku harus kuat, Dedek bayi bisa merasakan apa yang kurasakan. Aku nggak mau dia nanti jadi orang yang lemah. Dia harus jadi manusia kuat, seperti aku ibunya.

Sampai malam Mas Radit masih belum juga datang. Aku tak mengharapkan kedatangannya lagi malam ini, kukunci gerbang dan pintu rumah kami. Segera ku rebahkan diriku di atas ranjang. Mencoba tegar dengan semua kenyataan ini.

***

Pagi-pagi sekali setelah shalat subuh, aku mendengar suara mobil yang mau memasuki rumahku. Klakson dibunyikan, aku mengintip di balik jendela. Mas Radit sudah datang.

Segera kubuka pintu dan gerbang, lalu kembali ke dalam rumah tanpa menyapa suamiku. Mas Radit mengejarku ke dalam, lalu memelukku dari belakang. 

"Maaf, Dek. Semalam aku nggak bisa pulang!"

Aku berusaha melepaskan pelukannya, tapi Mas Radit mengunci pelukannya. Aku tak bisa bergerak.

"Sakit, Mas! Lepaskan!" kataku.

Dia membalikkanku sehingga berhadapan dengannya.

"Sakit? Maaf. Aku ingin memelukmu, Dek." Dia berusaha memelukku lagi, beruntung perutku sudah maju, jadi aku bisa menghempasnya. Mas Radit tersungkur.

Aku berlari ke kamar, dan mengunci pintunya.

"Dek, dengar dulu penjelasanku! Kamu nggak boleh seperti ini. Kasian anak kita kalau kamu ngambek-ngambek gini!"

Aku menghela napas sebentar. Kukumpulkan kekuatan untuk menjawab pernyataannya.

"Mas kasian sama bayi ini? Kemana Mas saat semalam aku mengalami kontraksi? Kemana Mas saat aku sudah siapkan makanan berkali-kali, tapi tak pernah kamu santap dua hari ini. Kemana Mas saat aku butuh kamu di sisiku, Mas!" Aku berteriak padanya dari kamar ini.

Mas Radit menggedor-gedor pintu kamar kami.

"Buka, Kania. Kamu nggak bisa gini. Aku ingin bicara empat mata denganmu! Ayo cepat buka! Kamu mau jadi istri yang durhaka?"

Aku tersentak, Mas Radit membentakku dari luar. Aku turun dari ranjang, lalu membuka pintu. Mas Radit menarik tanganku. Ia mendudukkanku di ruang tengah, ia duduk di sampingku.

"Kania ... Aku sangat mencintaimu. Aku tak mungkin mau kehilanganmu. Kamu harus bisa menerima ini, akupun sama, berusaha menerima segala ketentuannya," kata Mas Radit dengan berapi-api.

"Tapi, Mas. Aku sudah berusaha menerima. Kamu dan Seli mendzolimiku, Mas. Kalian membuat kesepakatan sepihak mengenai jatah antara aku dan dia. Aku nggak paham dengan jalan pikiranmu, Mas!"

"Sabar, Kania. Aku juga berusaha adil. Adil di sini bukan berarti harus sama besar atau sama banyak. Aku melihat segala kebutuhanmu sudah terpenuhi. Seli masih minim, makanya aku membantu memenuhinya, Kania. Itu saja! Tadi dia butuh teman, dia masih terguncang dengan kematian Angga. Makanya aku tak tega meninggalkannya."

Mas Radit tega mengatakan ini padaku.

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ratoe Istana
Kl laki2 sdh berani kawin lg apapun alasannya/ berselingkuh , berarti dia udah gak suka lg sm elo istrinya, better lu cerai, bodoh jgn dipiara tolol
goodnovel comment avatar
Putri Leo
Pisah azalh,blm apa2 sdh memihak ke yg muda
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
laki2 tetap akan jadi bangsat klo udah punya lagi yg baru.. makanya tinggalkan lakiĀ² yg begiti daripada sakit hati terus.. kaniaa bodohh sehh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status