"Kania ... kamu nggak apa-apa kan?"
Ketika ku buka pintu, Lia langsung menanyaiku.
"Ya Allah, Lia sepupuku yang baik hati. Sepagi ini kamu dah sampai Bogor. Aku nggak apa-apa, Lia! Hanya hatiku yang sakit. Ayo masuk!" ajakku pada Lia.
Aku dan Lia duduk di ruang tamu, kami berdampingan.
Iya. Aku beli ini makanan kesukaanmu. Sengaja beli, biar kamu ngemil. Kayanya kamu bakal nggak napsu makan," ujarnya sok tau.
"Iya, Lia. Makasih ya. Aku masih mau makan kok, Li. Hanya aku bingung ke depan seperti apa.
"Coba kamu ceritakan bagaimana Radit membawa Seli ke sini?"
"Sebentar, aku mau kasih kamu minum. Kamu pasti capek!"
Nggak usah, aku ambil aja nanti ke belakang. Lagian ini ada air mineral gelas, aku minum ini aja!" katanya setelah melihat minuman itu di meja.
Aku pun setuju, lalu mulai bercerita.
"Iya, kemarin Mas Radit membawa Seli ke rumah. Tapi mereka pergi lagi, Mas Radit mencarikan Seli kontrakan. Mas Radit baru kembali pukul 10 malam, karena mereka ke rumah saudara Seli terlebih dahulu, lalu mencari kontrakan. Aku tak tau kontrakannya dimana."
"Lalu perasaaanmu sekarang? Masih sakit? Aku takut kamu kenapa-napa saat semalam kamu tak mau lagi menjawab teleponku," kata Lia.
"Jujur aku sangat terpukul. Sampai detik ini pun aku masih belum bisa menerima pernikahan itu. Hatiku perih, Li. Tapi ... Balik lagi, aku tak mau kehilangan suamiku, aku mencintainya. Kami akan punya anak, Li. Di satu sisi, aku ingin mengakhiri semua. Tapi, di sisi lain, aku juga tak mau berpisah dengannya," jelasku pada Lia.
Lia mengangguk-angguk tanda ia paham dengan semua perkataanku.
"Aku mengerti, Kania. Kalian bertiga sama-sama telah dewasa. Semua sudah terjadi, jadi menurutku kamu jalankan saja sekarang tugasmu sebagai istri seperti biasanya. Kita lihat ke depan, apakah Radit bisa adil? Kalau ternyata dia condong ke Seli, kamu baru ambil tindakan. Itu sih menurutku. Kamu tenangkan dirimu sekarang, aku yakin kamu bisa, Kania. Aku kan selalu mendukungmu."
Aku memeluk sepupuku, kutumpahkan semua air mata ini di pundaknya. Dia menepuk-nepuk pundakku.
"Kania pasti bisa!" Itulah yang diucapkannya berulang-ulang saat menepuk pundakku.
"Li, orang tuamu tau soal ini?"
"Tau ... Sekampung sudah tau semua mengenai pernikahan Seli dan Radit di sana," kata Lia.
"Berarti, aku tinggal tunggu waktu saja orang tuaku tau. Bagaimana ini, Lia? Aku tak mau kabar suamiku poligami terdengar oleh mereka," kataku.
"Tapi, Kania. Mereka sebaiknya tau lebih dulu. Dibanding nanti tau dari yang lain. Untuk orang tuaku, aman. Aku tak mengizinkan mereka memberitahukan orang tuamu," kata Lia.
"Iya, Li. Aku harus mengumpulkan kekuatan terlebih dahulu. Aku tak mau orang tuaku membenci Mas Radit. Insya Allah aku kan beritahu mereka nanti," kataku.
Lia mengernyitkan dahinya.
"Kamu itu benar-benar wanita hebat, selalu saja melindungi Radit walau dia melakukan kesalahan."
"Aku memang masih belum menerima ini, Li. Tapi, aku ingin berangsur-angsur bisa menerima kenyataan. Seperti kata Mas Radit, ini bukan kemauannya. Takdirlah yang membuat kami seperti ini sekarang. Jadi ... Aku akan berusaha berdamai dengan takdir ini. Doakan aku ya, Lia!" ucapku berusaha terlihat tegar.
"Aku selalu mendoakan untuk kebaikanmu, Kania. Seperti kataku tadi, kamu pasti bisa!" Lia menyemangatiku sembari membuka kue bolen yang dibawanya. Ia memberikan satu buah untuk segera kumakan.
"Kamu juga makan, ya!"
"Nggak ah, aku dah bosen. Oya kapan perkiraan kamu lahiran? Biar nanti aku menyiapkan waktu untuk menengokmu!" katanya.
"Insya Allah bulan depan. Sekitar tanggal 30 Desember. Bener ya, nanti kamu temenin aku lahiran!" jawabku.
"Iya, Insya Allah nanti aku kesini lagi."
Kami lalu membicarakan banyak hal. Kehadiran Lia membuatku lebih baik, aku tak memikirkan beban ini. Aku harus fokus pada hal-hal positif saja, seperti kata Lia.
Lia berencana pulang setelah makan siang. Dia membantuku memasak, lalu kami makan bersama.
"Coba kamu dekat ya, Li. Tiap hari pasti aku dibantuin kek gini!" ucapku senang.
"Kamu bakal kesenengan kalau aku tiap hari nongki di sini." Lia terkekeh.
"Iya lah, dibantuin tiap hari pastinya!"
"Bisaan! Udah ah aku pulang dulu, takut kesorean sampe Bandung nanti," kata Lia.
"Iya, makasih banyak ya!"
"Sama-sama. Kamu sehat-sehat ya! Ingat, jangan banyak nangis. Kasian dede di perutmu!"
"Santai, Bos. Aku akan berusaha melaksanakan tugas darimu, Bos!" kataku.
"Ya udah, daaah!" Lia melambaikan tangannya dari dalam mobil. Mobilnya keluar dari halaman rumahku. Dan, dia pun semakin menjauh.
Aku sendiri lagi. Setiap hari memang biasa sendiri saat suamiku pergi ke tokonya. Mas Radit memiliki lima buah toko herbal, yang utama dan dua toko lain di Bogor, dua toko lagi di Sukabumi dan Depok. Dia selalu datang mengontrol semua tokonya.
***
Sudah lewat magrib suamiku masih belum pulang. Mungkin benar seperti katanya, dia akan mengunjungi Seli terlebih dahulu. Aku menghela napas kasar saat mengingat Seli.
Dulu, saat kami berteman, dia jadian dengan Mas Radit. Mereka pasangan yang sangat diidolakan teman-teman. Mereka berharap pasangan ini naik ke pelaminan, sampai orang tua Mas Radit sudah tau tentang hubungan ini.
Entah apa yang terjadi, mereka berpisah menjelang kelulusan. Aku tak fokus juga karena sudah diterima bekerja saat itu.
Kalau kata Lia karena Seli dekat dengan Angga. Dan orang tua Seli memilih Angga karena keluarganya lebih kaya dari keluarga Mas Radit. Memang uang bisa membutakan segalanya.
Saat pikiranku sedang mengawang-awang, Mas Radit mengirimkan pesan singkat di aplikasi hijau.
[Kania, maaf Mas sepertinya nggak pulang malam ini. Seli minta malam ini jadi jatahnya dia. Kasian juga dia, belum ada perabot di rumahnya. Jadi, Mas mengantarnya membeli segala macam yang ia butuhkan di rumah barunya. Kamu baik-baik di rumah, jangan lupa kunci gerbang dan pintu ya, Dek. I love you.]
Aku yang mulai bangkit membaca pesan ini menjadikanku jatuh lagi. Mas Radit tega soal pembagian jatah ini kan belum dibahas juga.
Namun ... mengapa Seli sudah mulai minta jatah segala? Aku tau dia istrinya, tapi ... Aku tak bisa membayangkan Mas Radit bermalam dengan perempuan lain.
Aku beristighfar, berusaha tegar. Kamu kuat Kania ... kamu kuat seperti yang dikatakan Lia.
"Baiklah Mas. Kita lihat saja ke depan. Kalau gelagat Seli tidak baik dalam pernikahannya denganmu, aku bakal mencabik-cabik wanita itu. Walau kami pernah berteman, tapi kalau dia sudah main curang, aku tidak akan diam, Mas!" Akhirnya aku geram dengan keputusan sepihak Mas Radit ini.
Bersambung
Mas Radit tak pulang pagi-pagi. Mungkin dia langsung ke toko. Baiklah Mas, tak apa-apa, aku sangat tau kesibukanmu.Aku mencoba mengafirmasi kalimat-kalimat positif. Kalimat-kalimat itu kutulis di kertas, lalu kutempel di cermin. Saat memandang cermin di depanku, aku membaca semuanya dan mengafirmasi kalimat-kalimat itu."Kamu harus kuat, Kania!""Kamu berharga!""You are amazing!"Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan di cermin. Semoga menjadikan diri ini lebih baik dan lebih bisa menyingkirkan hal negatif.Saat sedang sibuk mengafirmasi diri, tiba-tiba gawaiku berbunyi."Halo Kania, Sayang. Maaf, Mas belum bisa pulang. Mas sudah di toko sekarang. Insya Allah nanti pulang lebih cepat, karena toko lainnya tak perlu Mas kunjungi hari ini," katanya penuh semangat."Iya, Mas.""Kamu tunggu ya, Sayang. Mas kangen deh sama kamu. Sehari nggak ketemu rasanya seperti setahun. Tunggu Mas di rumah ya, Sayang!""Iya, Mas."
Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing."Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur."Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya.Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang.""Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku."Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku
Bab 7POV RaditSeli muntah lagi, semalam dia juga muntah. Tapi memang saat ku mengerik punggungnya, warnanya menjadi merah. Berarti dia memang masuk angin, karena memang perjalanan Bandung-Bogor memang melelahkan."Dia masuk angin, Dek. Mas tau karena semalam dia juga muntah," kataku.Tak lama Seli datang, dia menyambung pernyataanku."Iya, Mas Radit mengerik punggungku. Lihat saja sendiri hasilnya, Kania." Seli memperlihatkan punggungnya pada Kania. Aku tak sempat melarangnya, takutnya Kania cemburu lagi.Kania melihatku dengan sorot matanya yang tajam, matanya membulat. Tapi ia tak mau mengatakan apapun saat ini. "Seli, katanya kamu sudah masak. Mana masakanmu? Kita makan bareng saja," ucapku."A, kok panggilnya nama? Katanya mau panggil Neng," timpal Seli padaku.'Duh, Seli kenapa sih. Banyak tingkah saat ada Kania,' batinku."Eh, iya. Aku lupa soalnya udah terbiasa panggil nama, jadi aku butuh adaptasi," ucapku sambil membawanya ke belakang.Di dapur aku menegurnya agar tak bany
Bab 8Tapi saat ini Angga menyuruh Seli kembali padaku saat aku sudah punya Kania. Aku tak punya waktu untuk menghubungi istriku, bicara padanya. Semua begitu cepat, hingga akhirnya aku lupa harus menghubunginya.Akad nikahpun terjadi, Angga senang dan tersenyum puas. Ia menyalamiku dengan perban, infus dan oksigen yang terpasang di tubuhnya."Kalian segera melaksanakan resepsi. Aku tidak apa-apa," katanya.Seli yang masih menangisi Angga harus kembali ke gedung pernikahan untuk melakukan resepsi bersamaku.Aku menghibur wanita itu. Wanita yang pernah mengisi hariku dulu, hatiku merasa sakit saat melihatnya terluka seperti ini. Dulu kulepaskan ia, walau hati ini sakit, yang terpenting kebahagiaannya."Sabar, Seli. Sehabis resepsi, kita kembali ke rumah sakit, ya!" Aku menghiburnya kembali.Ternyata takdir berkata lain, Angga harus pergi untuk selamanya setelah sejam kami tiba di gedung pernikahan.Beruntung resepsi hanya dua jam saja. Setelah itu, kami ikut menyemayamkan jenazah Angga
Bab 8"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah."Beneran kamu nggak mau makan di sini?" "Iya lagian bajumu basah.""Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar. "Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku."Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini.""Iya, kan aku tau seleramu, Dek."Aku langsung memesan masakan Sund
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan