Share

Pengakuan Mas Radit

Aku kembali ke kamar. Mas Radit ternyata sudah tertidur. Aku pandangi wajahnya yang biasa kujahili kalau dia tidur. Tapi sekarang, rasanya tak mood untuk melakukannya.

Kutinggalkan saja dia sendiri di kamar, biar ku tidur di sofa saja. Di satu sisi aku kasihan padanya, di sisi lain rasanya ingin marah saja kalau berada di sebelahnya. 

Aku juga harus siap dengan pernyataan suamiku nanti dan mengambil keputusan apakah tetap di sisinya atau akan pergi meninggalkannya.

***

Aku terbangun karena merasakan sentuhan di kedua pipiku. Ternyata Mas Radit sudah bangun dan baikan.

"Eh, Mas. Udah sehat?" tanyaku.

"Alhamdulillah udah baikan. Kamu kenapa tidur di sini?" tanyanya.

"Oh ... Mungkin ketiduran setelah menerima telepon, Mas."

Mas Radit mengambil kedua tanganku agar aku segera bangun. Aku menyambut tangannya, lalu bangkit dari sofa.

"Terima kasih, Mas," kataku tanpa senyuman.

"Kok kamu masih cemberut? Mas lihat dari kemarin matamu sembab. Jangan-jangan Lia sudah memberitahumu?" tanyanya.

"Nggak, Mas. Aku nggak kenapa-napa. Maksudnya apa, aku nggak paham?" 

Dia mengapitku ke kamar. 

"Sekarang, kamu shalat subuh dulu. Nanti kuceritakan ya, Dek!" Mas Radit mendudukkan ku di tepi ranjang, lalu mengelus pucuk kepalaku. "Ayo, wudhu dulu sana!"

Aku beranjak ke kamar mandi di kamar ini. Kutunaikan shalat subuh, lalu tak lupa berdoa untuk kebaikan kami. Agar Allah memberikan yang terbaik untuk kami.

Selesai ku melipat mukena, Mas Radit memanggilku. Kami berbicara di ruang makan. Ia sudah menyiapkan susu ibu hamil dan nasi goreng untukku.

"Makanlah! Ku lihat makanan kemarin masih utuh. Kamu nggak makan kan?" 

Aku menggeleng, lalu menyeruput susu dan memakan sedikit nasi goreng buatannya.

"Habiskan!"

Aku menggeleng.

"Kenapa? Sakit?"

Aku menggeleng lagi.

"Kamu kenapa, Dek? Kulihat kamu tak semangat menyambutku dari kemarin. Aku takut kamu sakit, Dek. Kasihan bayi kita kalau kamu sakit," katanya.

Aku bergeming. Mataku memanas. 

'Tidak, jangan sampai menangis,' batinku.

Kukuatkan hati ini agar tak menangis di hadapannya. Aku belum sanggup melakukannya.

"Dek, aku akan menceritakan kejadian kemarin saat di pernikahan Angga. Sebelum akad nikah, Angga kecelakaan. Aku mengantarnya ke rumah sakit. Lalu, ia ingin bicara denganku. Disaksikan kakaknya ia memintaku untuk menikahi Seli. Aku menolak, Dek. Tapi, Angga memohon padaku. Ia hanya percaya padaku, Dek. Kakaknya yang di situ juga meminta padaku."

Aku masih diam. Mencoba mencerna semua perkataannya.

"Kamu masih dengarkan aku kan, Dek?"

Aku mengangguk.

"Baiklah. Lalu aku pun setuju. Kebetulan Seli sedang dijalan menuju rumah sakit. Mereka pun mempersiapkan akad nikah dadakan di rumah sakit tersebut."

Mas Radit memelas. Dia meraih kedua tanganku, disimpan di dadanya. 

"Walaupun aku menikahi Seli, tapi aku tetap mencintaimu, Dek. Cintaku padamu masih sama seperti dulu. Apalagi sebentar lagi anak kita akan lahir, pasti dia lucu sepertimu. Eh, atau sepertiku? Kita belum memastikan lagi jenis kelaminnya ya, Dek?" Ia terus menanyaiku, sementara aku masih tetap diam.

"Dek, kenapa kamu diam? Coba tanggapi semua pengakuanku. Aku benar-benar minta maaf tak bisa menghubungimu selama di sana. Karena pikiranku terbagi, harus melaksanakan resepsi, Angga yang akhirnya meninggal, serta mengurus kepindahan Seli ke Bogor. Kamu harus memaafkanku, Dek!" Air mata Mas Radit tumpah. Aku bisa merasakan kesedihannya. Tapi ...andai kau tau, Mas. Akupun lebih sedih darimu.

"Kenapa kamu tak keukeuh menolaknya, Mas? Apa karena Seli pernah mengisi ruang hatimu?" tanyaku.

"Tidak. Aku sudah jelaskan tadi, aku sudah berusaha keras menolaknya. Tapi Angga dan kakaknya memaksaku, hingga aku menyetujuinya."

"Kalau Seli?" 

"Seli juga diminta menikah denganku ketika dia sampai, Dek!" Mas Radit memelukku, aku berusaha melepaskan pelukannya. Tapi pelukannya sangat kuat sehingga aku menangis di sana.

"Menangislah, Dek. Jika itu yang ingin kau lakukan sekarang!" katanya.

***

Diskusi kami belum selesai. Tiba-tiba gawai Mas Radit berbunyi, ternyata dari Seli.

"Iya ada apa?"

Mas Radit meninggalkanku untuk menerima telepon, mungkin tak ingin terdengar olehku. Sementara aku masih memandangi nasi goreng yang belum habis di hadapanku.

Tak lama Mas Radit datang. Ia bilang akan ke toko hari ini, lalu dari sana akan ke kontrakan Seli.

"Kenapa harus ke sana?" 

"Dia sudah sah jadi istriku, Dek!"

"Tidak! Kalian tidak sah menikah. Belum ada izinku di sana, Mas!"

"Tapi, Dek. Laki-laki bisa menikah lagi tanpa izin istri pertama. Dan kamu tau, ini takdir dari Allah, bukan keinginanku. Tapi, jika sudah menjadi istriku, kewajibanku untuk menafkahinya," jawab suamiku.

Perkataan suamiku cukup membuatku terkejut. Tak biasanya dia berkata setegas ini. Biasanya dia lemah lembut saat berbicara denganku. 

"Mas, kenapa bicaramu jadi seperti ini? Kenapa tidak menjelaskan dengan suara seperti biasanya?"

Mas Radit tersadar, lalu dia menarik kursi di sebelah kananku untuk didudukinya. 

"Maaf, Sayang. Itu karena aku terpancing dengan ucapanmu. Maaf ya, kalau aku menyakitimu. Kamu jangan sedih, kasian anak kita, Dek!" Berkali-kali dia ucapkan itu, berkali-kali juga aku terluka karena perbuatannya.

Perang batin dalam diriku terjadi lagi. Di satu sisi aku ingin sekali pergi meninggalkannya, tapi di sisi lain aku mencintainya. Dia pun mencintaiku, bedanya ada orang lain yang juga di sampingnya.

"Sekarang aku tanya padamu, Mas. Kamu mencintai Seli?"

Mas Radit diam, dia tak mau menjawab pertanyaanku.

"Mas ... Jawab!" tanyaku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Tidak, aku hanya kasihan padanya. Aku hanya mencintaimu, Dek!"

"Bohong! Aku tak percaya!" Aku bangkit dari kursi, lalu meninggalkannya. Aku lebih memilih berbaring di dalam kamar kami.

Bukannya mengikutiku, Mas Radit malah pergi. Terdengar suaranya berjalan ke arah pintu, lalu keluar. Tak lama suara mesin mobil dihidupkan, ia pun pergi meninggalkanku yang sedang terluka.

'Aku berharap kau datang menenangkanku, tapi kamu malah pergi, Mas! Huhuhu,' gumamku sambil menangis.

Saat aku sedang rapuh, tak lama suara mobil masuk ke halaman rumah kami. Aku segera memakai jilbabku, takutnya laki-laki yang datang.

Ketika kudengar suara yang mengucapkan salam, ternyata suara Lia. Segera kudatangi pintu, ingin segera kucurahkan perasaan ini padanya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status