Share

Mas Radit Belum Jujur

Mas Radit dan Seli berjalan menuju pintu. Aku menghela napasku terlebih dahulu agar merasa tenang. Ku seka sisa-sisa air mata ini agar tak terlihat aku habis menangis.

"Assalamualaikum, Dek!" Suamiku memanggil dari luar.

"Waalaikumsalam, iya Mas. Sebentar!" sahutku.

Terlihat wajahnya yang redup, kurasa Mas Radit sedang capek. 

Ku pasang ekspresi sebiasa mungkin menghadapi mereka. Mas Radit menatap wajahku, kami saling berpandangan sesaat. Aku langsung tersadar, lalu mengambil tangannya untuk kusalami.

"Eh, kok Mas ke sini dengan Seli?"

"Sebentar, Dek. Biarkan Seli duduk dulu, ya. Kamu sekarang siapkan minum dan makanan buat Seli. Kasian dia sudah perjalanan jauh," kata Mas Radit.

Aku menghela napas kembali. Dada ini rasanya gemetar, Mas Radit masih belum menjelaskan semua. Aku diminta memberinya makanan?

Aku bergeming di tempatku.

"Dek, kamu kenapa? Tolong buatkan minum dulu. Aku juga capek," katanya lagi.

"Ba-baik, Mas." Kuturuti perintah suamiku.

Kusiapkan teh manis hangat untuk mereka berdua. Mas Radit langsung menyeruputnya, sedangkan Seli merasa malu-malu.

"Minumlah, Seli. Kamu pasti capek!" katanya.

Aku tak tahan ingin bertanya. Mulut ini rasanya tak tahan untuk mengetahui jawaban suamiku.

"Mas, mengapa Seli kesini bersamamu? Dia kan harusnya bulan madu dengan Angga?" tanyaku pura-pura tak tau.

Mas Radit memandang Seli sebentar, lalu ia memandangku. Seli menyesap airnya, lalu menunduk.

"Begini, Dek. Cerita lengkapnya nanti saja ya. Sekarang Mas mau antar Seli untuk mencari kontrakan. Ia akan tinggal di Bogor juga."

Mas Radit masih belum bisa jujur rupanya. Kebenaran atau fakta kemarin yang sebenarnya sudah kutau, tapi dia masih belum bisa mengungkapkannya.

"Oh gitu, memangnya Angga kemana? Kenapa nggak dia yang anter?" tanyaku dengan sedikit ketus.

"Dek, kamu nggak usah cemberut gitu deh!  Dia itu sedang sedih. Kita harus membantunya. Nanti aku ceritakan setelah mencarikannya kontrakan, ya Dek!" 

Aku mengangguk pelan.

"Ok, kalau gitu aku mandi dan ganti pakaian dulu. Kamu temani Seli, ya!" ucap Mas Radit sembari masuk ke kamar.

"Maaf ya, Kania. Aku malah jadi merepotkanmu dan Mas Radit!" ucap Seli.

Aku bergeming. Membayangkan kehidupanku setelah ini. Ucapan Seli tak mampu kudengar. Hingga Mas Radit kembali dan menepuk pundakku.

"Dek, kamu kenapa sih dari tadi bengong terus. Kasian Seli kamu diamkan. Ya udah, Mas pergi dulu. Kamu baik-baik di rumah, ya!" ucap Mas Radit.

Aku tak menjawab. Mataku memanas ketika melihat mereka berjalan bersama menuju mobil. 

"Kania, aku permisi dulu." Seli merengkuhku, lalu cepika-cepiki ke kedua pipiku.

Aku mengangguk.

"Dek, segera masuk ke dalam. Paling sebentar saja, nanti aku segera pulang," kata Mas Radit sambil menyembulkan kepalanya di jendela mobil.

"Iya," jawabku pelan.

Setelah mobil menjauh, aku tak kuasa menahan air mata ini yang keluar tanpa bisa kuhindari. 

Langsung saja ku balikkan badan untuk masuk ke dalam rumah agar bisa menangis sepuasnya.

***

Sudah pukul empat sore, tapi Mas Radit masih belum juga pulang. Aku menunggunya sedari tadi, tapi yang kutunggu tak kunjung datang. Ah, cinta kau sungguh meresahkan.

Kuelus bayi dalam perutku.

"Sabar ya, Nak! Mungkin Ayah masih sibuk. Kamu sabar, ya!" ucapku yang masih mengelus perut buncit ini.

Aku sudah memasakkan makanan kesukaan suamiku. Mungkin masakanku tak basi, hanya dingin karena menunggu dinikmati oleh kami. Aku pun belum makan, karena menunggunya kembali.

Kuputuskan untuk meneleponnya agar rasa khawatirku hilang.

"Mas, kamu masih lama? Kok belum juga pulang sampai sekarang?"

"Belum, Dek. Karena Seli minta diantar ke rumah saudaranya dulu. Ini baru mau mencari kontrakan."

Sebegitu perhatiannya Mas Radit dengan Seli, sampai mengantar ke saudaranya. Jam segini baru mencari kontrakan. 

'Masya Allah, Mas. Kau tega sekali,' batinku.

"Mas, jangan lama-lama. Aku butuh penjelasan. Ditunggu!" Kututup sambungan teleponku tanda aku kecewa dengannya.

Mas Radit membalas dengan pesan di aplikasi hijau.

[Sayang, maaf ya malah jadi lama. Sebenarnya aku nggak mau, tapi kasihan sama Seli, jadi nggak apa-apa aku mengantarnya. Kamu yang sabar ya, Dek!]

Ku baca pesan Mas Radit, ada cemburu menyusup dalam hati ini. Begini rasanya jika tau ada orang lain di samping suami. Rasa perih ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan olehku sekarang.

Karena capek menangis, akupun tertidur.

***

Terdengar suara mobil terparkir, aku langsung terperanjat. Ternyata aku tertidur di atas sofa, kulihat jam sudah pukul sepuluh malam. Masya Allah, Mas Radit sampai semalam ini mengantar Seli.

"Assalamualaikum," ucap Mas Radit di depan.

"Waalaikumsalam. Iya, Mas."

Mas Radit menarik napas pendek, lalu dia menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Dia kecapean dan lemas, kudekati dan kusentuh dahinya, ternyata dahinya panas. 

Segera kubuatkan minum untuknya. Lalu menyuruhnya istirahat terlebih dahulu. Aku belum bisa meminta penjelasan pada orang sakit seperti ini.

Biarlah dia istirahat terlebih dahulu, jika ku memaksanya bercerita, pasti nanti kondisinya makin parah. Tak bisa kubayangkan jika sesuatu menimpanya.

"Mas, kamu istirahat ya," kataku sambil mengompresnya.

"Iya, Dek! Makasih ya!" 

Aku mengangguk sambil terus mengontrol kompresannya.

"Dek, aku bersalah padamu." Mas Radit mengatakan saat aku sedang membenarkan posisi kain di keningnya.

"Maksudnya?" Aku pura-pura tak mengerti.

"Ya, aku bersalah. Sebenarnya ... Aku ..."

Gawaiku berbunyi.

"Sebentar, Mas. Aku harus mengangkatnya dulu!"

"Ya sudah," katanya.

Ternyata Lia. Ada apa dia meneleponku malam-malam begini?

"Sebentar, Mas. Aku keluar dulu."

Aku mengangkat telepon di kamar lain rumah ini.

"Kania ... Gimana kabarmu? Kok nggak ada berita darimu? Kukira kamu sakit, loh!" Lia memberondong pertanyaannya padaku.

"Kabarku baik, Li. Aku nggak sakit, malah Mas Radit yang sakit."

"Apa? Radit sakit? Kok bisa?"

"Iya, setelah datang dari Bandung, dia mengantar Seli mencari kontrakan. Seli tinggal di Bogor, Li," jelasku.

"Apa? Berarti pekerjaannya di sini dia tinggalkan ya?"

Aku diam. Mataku kembali menghangat.

"Kania ... Nia! Kamu suka gitu deh tiba-tiba diam. Kamu pasti lagi nyesek?"

Aku menahan tangisku agar tidak pecah. Tak kuat, akhirnya kuputus sambungan telepon dengan Lia, agar aku bisa menangis tanpa didengar oleh Lia.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status