Share

3. Bencana Menyapa?

Manto telah kembali menghilang. Demikian juga beberapa wartawan dan staff redaksi yang sempat mampir ke ruang itu. Sam melihat ke jam dinding besar di atas rak yang menyimpan berkas-berkas berfolder, piala-piala menyolok sewarna emas, beberapa piagam yang disangga dalam bingkai kayu berukir, mika atau plastik dan buku-buku tebal bersampul kulit yang tampak belum dibuka sejak dibeli.

Jam 19:15. Waktu makan malam. Pasti kantin dalam puncak keramaiannya malam ini, sebelum orang-orang itu kembali berpencar dengan pekerjaannya masing-masing. Dan semua itu akan berakhir ketika koran masuk cetak beberapa saat sebelum tepat tengah malam.

Tetapi sebelum itu Sam mesti tinggal di ruang itu, menunggu sesuatu yang barangkali muncul. Atau jika tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, ia tetap harus berada di sana, stand by, memperlihatkan bahwa dirinya ada dan tersedia serta siap menjalankan tugas. Sam menunggu saat-saat mesin cetak menggerung bergemuruh beberapa jam lagi. Karena saat itu ia akan bebas pergi ke manapun. Dan siapa saja akan terlalu lelah atau mengantuk untuk memerhatikannya.

Lalu pikiran Sam kembali ke Rastri. 

Ia sama sekali tidak khawatir atas permusuhan yang diperlihatkan oleh gadis itu. Ia hanya seorang perempuan. Lagipula Sam tak pernah merasa telah melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Baiklah, ia memang belum memperkenalkan dirinya sebagai orang baru kepadanya. Tapi apa masalahnya? 

Banyak orang lain yang juga belum dikenalnya di perusahaan itu. Sam hanya ingin proses pengenalannya berjalan dengan alamiah. Dan tampaknya Rastri telah membuat proses perkenalan antara dirinya dengannya tidak alamiah—dengan seringnya ia menjauhinya dan mengawasinya secara bersamaan.

“Jadi ini pegawai baru itu!”

Sam mendongak. Manto dan sekelompok lelaki menatapnya, merubungnya seolah-olah ia begitu penting untuk mendapat perhatian tak perlu seperti itu. Setelah hampir tiga bulan ia tidak diacuhkan, kini mendadak mereka memerhatikannya secara berlebihan seperti itu? Apa maksudnya? Apa yang telah dikatakan Manto tentangnya kepada wajah-wajah berminyak dengan mata kuyu berair yang jelek itu? 

Sam mengangguk. Dan Manto menoleh ke arah teman-temannya dengan tatapan seolah mengatakan kepada mereka, “Benar, kan?”

Orang-orang itu belum mengatakan apa-apa. Hanya menatapnya. Lalu Manto menepuk meja di depan Sam. Semua menatap ke arahnya. Seolah menunggu sesuatu yang penting yang akan dikatakannya. Seolah nasib dunia terletak pada apa yang akan diucapkannya.

“Sam ini pekerja sempurna,” katanya seperti tanpa bernapas waktu mengatakannya. Sam melihat dagu Manto yang belum dicukur. Kulit keunguan di atas bibirnya yang hitam tebal mulai memunculkan rambut-rambut pendek yang tajam, yang menambah kesan garang dan kasar di wajahnya.

Selama Sam bekerja bersamanya, Sam tak pernah sekalipun menganggap Manto orang yang tepat untuk pekerjaan korektor atau redaksi bahasa. Penampilannya terlalu selebor—persis sama seperti hasil kerjanya. Tetapi ia tak pernah mempermasalahkan itu. 

Jauh-jauh hari Sam telah meyakinkan dirinya bahwa ia membutuhkan pekerjaan itu. Dan ia akan melakukannya sesempurna dan setidak-menarik-perhatian mungkin. Tak ada yang salah dengan itu, bukan? Tapi agaknya Manto sedang berusaha mengulitinya sekarang, atau berusaha mengguncang ketenangannya. Entah kenapa dan apa yang dicarinya Sam tidak tahu. 

“Dengar, ia bahkan mengerjakan pekerjaanku. Dan ia melakukannya dengan hebat. Karena itu aku berterimakasih kepadanya,” pidato Manto. 

“Tidak masalah. Selama aku masih bisa mengerjakannya, tentu akan kukerjakan,” sahut Sam.

“Nah, lihat. Sombong sekali, kan? Ia bahkan menjanjikan akan mengerjakan pekerjaanku lainnya. Apa kamu menganggapku bebal, begitu, Sam?”

“Maaf, Mas Manto. Aku hanya orang baru. Aku hanya ingin bekerja sebaik mungkin. Jika Mas nggak mau aku mengerjakan pekerjaan Mas, akan aku hentikan saat ini juga. No problem. Okay?”

“Nah, nah, nah! Lihat. Apa kataku! Ada pegawai baru sekeren ini? Aku koordinator-nya dan ia mau menentukan apa yang mau dilakukannya dan apa yang tidak!” suara Manto meninggi. Sam tersenyum tipis. Ia mulai membaui sesuatu yang busuk dan jahat pada kata-kata Manto. Apakah ini semacam plonco untuk pegawai baru? Plonco yang sangat terlambat karena Sam sudah hampir tiga bulan bekerja di situ. 

“Baiklah. Aku hanya menurut saja,” tukas Sam, lalu membisu. Tapi Manto tak mau melepaskannya. Ia menggebrak meja dengan keras. Bukankah ia baru saja di kantin, makan malam? Apakah menunya tidak disukainya sehingga ia kembali dari sana dengan napas panas penuh kemarahan seperti itu? Ataukah ia telah memakan sesuatu—seperti sambal super pedas, misalnya?—yang menimbulkan emosinya mudah tersulut. Sam menggeser mundur kursinya. Menunduk dengan sikap merendah.

“Bangsat! Kau mau mempermainkanku? Kau mau berputar-putar dengan mulut sok-pintarmu mempermainkanku?” bentak Manto.

Sam menatap orang-orang yang merubungnya. Kini mereka telah mundur selangkah. Hanya tinggal Manto yang menempel ketat di mejanya seolah lintah. Tanpa disadarinya, ruang itu telah dipenuhi oleh pegawai lain, bahkan yang mejanya tidak berada di situ.

Beberapa koresponden yang baru tiba ikut merubung. Semua menatap ke arah dirinya dan Manto. Ada apa sebenarnya? Apakah ia telah melakukan kesalahan? Apa perlunya ledakan kemarahan itu? 

“Bisa jelaskan pada saya apa masalah sebenarnya?” tanya Sam setengah berbisik. Seseorang—dengan sangat hati-hati seperti matador—menggiring Manto menjauh. Kilatan tatapan Manto tajam ke arahnya sebelum ia terpaksa menurut digelandang pergi. Desah napas lega terdengar dari sebagian orang. Orang-orang yang berkerumun mulai kembali ke meja masing-masing. Beberapa yang lain keluar dari ruang itu. Tetapi ada beberapa mata yang terus mengawasinya, seolah tidak puas ia telah lepas begitu mudah dari cengkeraman Manto si singa buas.  

“Tak ada masalah sebenarnya.” 

Seseorang telah berdiri di sebelah Sam. Sam mendongak, dan menggeser lagi kursi yang didudukinya ketika lelaki itu duduk di tepi meja di sebelahnya. Sam telah berkenalan dengannya kemarin. Namanya Pinto. Wartawan. Lajang. Hanya lebih senior tujuh bulan dengannya. Dulu ia bertugas sebagai reporter daerah. Kini ditempatkan di kota. 

“Memang begitu Manto. Kamu harus hati-hati Sam. Trouble-maker dia. Tak ada yang betah bekerja bersamanya. Ia bermasalah, bos ingin memecatnya, tetapi ia dibawa oleh seorang pimpinan di bagian iklan. Kebetulan juga ia punya hubungan keluarga dengan orang itu. Redaksi bahasa mungkin hanya pos yang akan dijadikan alasan bos untuk menemukan kesalahan lainnya. Tetapi kau malah membantunya. Tetapi dia malah gusar. Tidak logis dan aneh sekali, bukan? Tapi bagi Manto tak ada yang aneh. Karena pada dasarnya ia memang telah kacau sejak awal. Perlu seseorang yang cukup bernyali untuk mengurai benangnya yang kusut.”

“Mengurai benangnya yang kusut....,” ulang Sam sedikit geli. “Menurutmu, apa yang harus kulakukan, Pin?” 

“Kau di sini untuk bekerja, kan? Apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dengan baik?” tanya Pinto.

“Maksudku, apakah aku harus minta maaf?”

“Kepada Manto? Apakah kau merasa perlu meminta maaf?”

“Tidak.”

“Yah, nggak usahlah kalau begitu.”

“Terimakasih atas nasihatnya. Ng, kamu tahu tentang Rastri?” 

Gerakan kaki Pinto mendadak berhenti. Sam melihatnya. Apakah ia salah ngomong lagi?

“Apakah kamu ada masalah juga dengan Rastri?” tanya Pinto. Nadanya terdengar sedikit menahan diri, seolah mengucapkan nama Rastri telah membuat napasnya hilang separuh.

Sam menggeleng. 

“Rastri adalah perempuan istimewa,” ucap Pinto lirih. Sam mendongak ingin memastikan ekspresi wajah Pinto ketika mengucapkan itu. Tetapi matanya berhenti di ambang pintu ruang redaksi. Dari lobi muncul Rastri. Sam mengawasi wajah tenang Rastri dan gerak rambut di keningnya. Raut wajahnya tidak terlalu mencolok, tidak begitu cantik, namun tatapan yang mengedari ruang itu tak mengatakan apa-apa: penuh misteri. 

Sam menyadari ketenangan penuh misteri itulah yang membuat gadis itu menarik. Beberapa wartawan yang berkumpul di dekat pintu menoleh menatapnya. Rastri tak menghiraukan mereka. Wajahnya mendadak berubah tegang. Matanya mencari-cari. 

Sam berusaha menerka-nerka apa yang membuat Rastri kembali ke kantor. Tapi agaknya ia tak perlu terlalu memikirkannya. Rastri melangkah langsung menuju tempat duduknya. Dengan sigap ia menyalakan komputernya. Membuka sebuah file yang telah ada di foldernya. Lalu ia mengetik beberapa info tambahan dan beberapa menit kemudian, ia melangkah mendekat Sam dan berkata dengan kaku, “Tolong periksa naskahku. Sudah aku masukkan ke dalam folder naskah untuk dikoreksi. Aku ingin kau mengirimkannya langsung untuk dilay-out.”

Sam menatap wajahnya yang keruh. Garis kecantikan yang lembut tertera di raut wajahnya, namun gadis itu tak berusaha mempertegasnya dengan sikap dan ekspresi yang feminin. 

“Perlu engkau ketahui tugasku bukan menentukan apakah sebuah naskah akan dicetak atau tidak. Kau lebih tahu itu dariku. Lagipula naskah apa yang lebih penting dari naskah lainnya sehingga engkau menyuruhku mengirimkannya langsung ke pra-cetak—tanpa persetujuan pimpinan?”

Rastri menatap Sam sedetik lebih lama. Mata yang mengawasi Sam anehnya tampak tak menyorotkan desakan; sebaliknya, ada kesedihan di sana. Pinto berdehem, “Sam benar.” Tatapan Rastri menyambar Pinto—tidak tajam tapi cukup tegas—seakan mengatakan, “Bukan urusanmu!”

“Kau harus berbicara terlebih dahulu dengan pimpinan. Paling sedikit redaksi pelaksana. Karena memuat naskahmu, berarti mengedrop naskah lainnya,” sambung Sam. Rastri kembali menatap Sam seolah Sam yang lebih junior telah bersikap lancang terhadapnya yang lebih senior. Pinto beringsut mundur dan mulai menduga malam ini memang malam kemalangan bagi Sam. Pertama Manto. Kedua Rastri. Ada apa dengan orang-orang? Mengapa mendadak nafsu kemarahan mengambang di atas ruang redaksi? Dan semuanya ditujukan buat Sam.

“Lakukan saja perintahku. Urusanku dengan Redaksi Pelaksana adalah tanggung-jawabku. Mengerti?” kata-katanya tegas. Wajah-wajah mulai menoleh ke arah Sam. Pinto melorot turun dari meja dan mencari-cari kursi kosong yang bisa didudukinya. Sam merasakan darahnya mengalir kencang ke kepala. Genggaman tangannya terbuka, napasnya ditahannya sejenak lalu dikeluarkan dengan pelan dan sabar. Ia bisa mematahkan leher jenjang gadis itu dengan sekali renggut, tetapi ia hanya tersenyum. 

“Baik, tuan putri.” Dan ia kembali ke komputernya yang masih menyala. Ia mencari naskah Rastri di foldernya. Ini dia. Dan ia membukanya. Judul naskah itu membuatnya tertegun. Namun ia berusaha tidak menatap Rastri yang masih menantinya di samping monitor.  

Vampir 

Kembali 

Serbu 

Kota

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status