Share

5. Fresh from the Oven

Di mejanya yang licin dan bersih, Rastri berkemas pulang. Beberapa pertanyaan bersemayam dan mengganjal di benaknya. Mengapa pihak pra-cetak adem-ayem saja? Mengapa naskahnya mulus begitu saja lolos? Ataukah naskahnya telah di-drop sebelum masuk ke pra-cetak? Ia harus mengeceknya. Ia telah melihatnya di layar monitor pra-cetak. Tak ada masalah.

 

Ah, tidak. 

Ia harus menunggu. Ia harus melihatnya langsung di koran yang keluar panas-panas dari mesin cetak. Ini bukan masalah main-main. Dan Rastri telah siap menanggung akibatnya. 

Vampir bukan masalah main-main.

Malam makin larut dan, setelah mencapai puncaknya yang ditandai oleh angin yang lebih dingin dan kegelapan yang lebih pekat, akan mulai tergelincir menuju dini hari. Rastri kembali duduk. Beberapa wartawan asyik menonton sebuah acara TV dari Jepang yang menampilkan cewek-cewek berwajah inosens berpakaian setengah telanjang. Tawa mereka terdengar seru, tak peduli dan menjengkelkan. Beberapa orang yang sedang browsing di dunia maya dari meja masing-masing tak mengacuhkan keresahan Rastri. 

Sebuah chat WA masuk ke ponselnya: Adek makin resah. Bisa sgr pulang? Rastri berdiri tergesa, seperti telah memutuskan sesuatu dalam pikirannya. Kakinya yang berbalut jins hitam melangkah ke ruang pra-cetak. Dari sana ia menerabas langsung ke ruang cetak. Bising suara mesin menyergapnya, dan matanya berusaha mencari-cari seseorang dalam keremangan cahaya yang dipenuhi bising dan getaran mesin cetak yang sedang beroperasi. 

Bau tinta menyengat dan menusuk hidungnya. Berkebalikan dengan kegemarannya akan dunia tulis menulis dan buku, ia membenci segala sesuatu yang berada di ruang cetak remang-remang yang berlangit-langit tinggi dan luas itu—baunya; suasananya; benda-benda seperti drum tinta, gulungan kertas yang berdiri angkuh memenuhi sudut, kertas-kertas sortiran sobek yang terbuang; mesin bising bergetar yang menjalar seperti ular rakasasa.

Rastri melewati beberapa mekanik dan teknisi yang berdiri seolah nanar mengagumi mesin raksasa yang tengah bergerak dengan mulus itu. Di ujung mesin yang berada dekat pintu keluar yang dijaga oleh beberapa satpam yang berwajah lesu, Rastri melihat lembaran kertas yang lebar dan belum terpotong keluar. Di bagian lain di area yang sama tumpukan koran yang hangat berjajar rapi. 

Rastri meraih sebuah yang belum diikat dalam simpul yang dibalut kertas minyak coklat tebal. Pegawai yang sibuk mengatur tumpukan koran mencuri pandang sekilas, dan mengangguk melihat senyum pendek Rastri. Halaman kedua di bagian berita lokal. Beritanya dimuat di situ. Bukan space yang akan menyedot perhatian, bahkan sedikit tersembunyi. Ia cukup realistis, ia tak bisa berharap beritanya akan dimuat di headline.

Rastri berjalan ke bawah lampu neon di sudut sepi di ambang pintu keluar, dimana tak ada orang yang mengganggunya. Sekali lagi dibacanya naskahnya. Orang baru di bagian redaksi bahasa itu sedikit mengubah naskahnya. Bukan perubahan yang besar, tapi ia sanggup menerimanya.

Kasihan, barangkali orang baru itu akan mengalami pengalaman tak menyenangkan nanti setelah orang-orang menyadari ada berita semacam itu di Koran Nasional Berita Harian. Semoga saja ia tak akan dipecat untuk itu. Semua ini keinginannya. Tanggung-jawabnya. 

“Kau puas, Rastri?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status