Share

9. Tragedi Pagi

Bersamaan dengan langkah ketiga Rastri ke arah kantor Pimpinan Redaksi, Sam masuk ke ruang redaksi. Kaca mata rayban-nya belum ia buka, demikian juga topi jeraminya yang berpinggiran sedikit lebar.

Wajahnya tak berubah melihat banyaknya anggota redaksi dan reporter yang memenuhi ruangan, sehingga ruang yang biasanya sejuk oleh pendingin kini terasa pengap. Ia sempat melihat kelebat bayangan Rastri memasuki pintu satu-satunya kantor yang tertutup di ruang yang luas itu dan benaknya sempat menduga kericuhan akibat berita Rastri telah berlangsung. 

Langkah kakinya ringan dan tak tergesa menerobos kerumunan di lorong di antara barisan-barisan meja yang teratur dan tanpa penyekat. Diliriknya Sonia menatap ke arahnya di ujung lain dan berusaha melambai ke arahnya, tapi Sam berbelok menuju meja bagian redaksi bahasa. Di balik deretan tiga buah monitor berlayar datar, dilihatnya pimpinan bagian redaksi bahasa duduk termangu. 

Lelaki setengah baya yang berkaca mata tanpa bingkai itu mendongak. Ia mengusap uban di pucuk kepalanya yang mulai membotak. Ketika menatap Sam, wajahnya tak menunjukkan keramahan. 

“Selamat siang,” sapa Sam tenang.

“Apa yang telah kau lakukan semalam, sehingga membuat Manto murka?” 

“Tak ada yang spesial, Pak Wir. Ada apa?”

“Tadi ia mencarimu, katanya kau membuang naskahnya yang seharusnya dimuat hari ini. Dan ketika aku melihat list, mungkin tuduhannya benar. Dan sekarang Rastri dipanggil ke dalam kantor pimpinan tentang sebuah naskah ecek-ecek tentang vampir.

Apa yang sebenarnya engkau lakukan dalam masalah ini, anak muda?” tanyanya setengah berbisik. Sam menatapnya langsung dan lelaki setengah baya itu melengos penuh harga diri. 

“Aku melakukan yang harus kulakukan.”

“Kau tak bisa berbuat sekehendak hatimu, Sam. Kau harus mengikuti aturan yang ada. Dan tahukah kamu, Sam, aku yang harus bertanggung jawab atas semua yang ada dan terjadi di bagian ini.”

Sam membisu. 

“Kau tidak takut kau akan dikeluarkan dari perusahaan ini? Kau bahkan belum menyelesaikan masa percobaanmu yang tiga bulan.”

Sam melepaskan topi jeraminya. Matanya menyipit ketika ia meletakkan kacamatanya ke meja di depannya. Ia menyandarkan bahunya ke sandaran kursi, sambil memejam khidmat ia menarik napas sedikit lebih panjang sehingga terkesan ia mengabaikan sekitarnya. Kedua tangannya meremas lutut dan ia melanjutkannya dengan mendongakkan wajahnya.

Dadanya bergerak seolah ia berniat menghisap udara sebanyak-banyaknya. Ia memejam semakin rapat seolah-olah keheningan—dari kerumunan bising orang-orang yang memenuhi ruang redaksi—berhasil menyelinap dan menyusup ke dalam benak dan perasaannya. 

Saat itulah dari pintu pra-cetak muncul Manto. Ia langsung mengibaskan  Pak Wir dengan tangan kirinya ke samping—brak!—menubruk tembok, dan maju dengan langkah lebar ke arah Sam yang duduk bersandar tanpa menyadari datangnya bahaya.

Sam tengah menghirup udara dengan rakus untuk yang kesekian ketika ia menyadari keributan yang terjadi di dekatnya. Namun belum sempat ia membuka matanya, sebuah pukulan tangan kanan, berat dan brutal, menghajar pelipisnya—dezz! 

Sam bersama kursinya terpelanting jatuh. Para reporter wanita yang berkumpul di dekat sudut redaksi bahasa menjerit. Mengabaikan rasa sakit di sisi wajahnya, Sam berusaha bangkit dengan tangkas. Dan ketika ia menangkap sosok yang telah memukulnya ia melihat Manto—wajahnya bengis dipenuhi kegilaan—melompat di atasnya.

Sam hanya berhasil menghindari injakan dua kaki Manto yang berdebum di lantai, tetapi ia tak berhasil mengelak dari dorongan dua tangannya. Sam terlontar dan—gubrak!—menimpa sebuah monitor yang menemaninya jatuh di balik sebuah meja. 

Suasana sangat gaduh. Para wanita menyingkir sambil berteriak-teriak bahkan lebih bising daripada perkelahian itu sendiri. Para lelaki sejenak tercengang, namun alih-alih menolong Sam atau menghentikan Manto, mereka hanya menonton—seolah-olah pekerjaan mereka sebagai pengamat dan penulis berita telah begitu dalam membuat mereka terbiasa untuk tidak terlibat. 

“Hentikan, Manto!” Sam mendengar ada seorang yang cukup waras untuk menghentikan kegaduhan. Dan ketika Sam muncul dari balik meja, Sam melihat Redaksi Pelaksana yang botak menatap tajam ke arahnya. Jadi, ia yang disalahkan untuk keributan ini?

Bukankah ia yang diserang dan dipukuli? Seseorang menarik Sam berdiri. Pinto. Dan Sam membiarkan Pinto merapikan meja yang baru saja ditimpa tubuhnya. Manto menatapinya di sudut bersama dua orang yang terbanting-banting memeganginya. 

“Sam, kau menghadap Pimpinan Redaksi sekarang!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status