Share

8. Wind of Change

Rastri baru berani beranjak dari kursinya di ruang rapat ketika hampir semua orang di situ—satu persatu—pergi. Rapat berhenti begitu saja? Setelah telepon dari Kapolda? Apa yang terjadi? Apa yang dikatakan Kapolda sehingga situasi berbalik begitu cepat? Benarkah tragedi yang dinantinya sudah berakhir dengan antiklimaks seperti ini? Mengapa? Ada apa?

Pintu ruang kantor pimpinan masih tertutup. Suara percakapan di dalam terdengar seru, tapi hangat. Rastri melangkah ke luar dari ruang rapat dan melihat kelegaan terpancar di depannya. Mereka tak lagi menatapnya dengan perasaan tertentu. Semua tampak sibuk, tapi jelas mereka belum mau beranjak. Mereka menunggu.  

“Bagaimana lo bisa memuat berita itu, Ras?”

Rastri menoleh. Sonia telah menggamitnya dengan erat. Sesaat Rastri tersenyum menerima kehangatan persahabatan dari rekannya yang cantik itu.

“Menurutmu bagaimana?”

“Menurut gue jika lo yakin akan berita lo, apa yang bisa menahan lo? Mungkin gue juga akan melakukan hal yang sama. Sayangnya gue cuma wartawan hiburan.”

“Trims. Itulah memang yang sudah aku lakukan.”

“Pertanyaannya, bagaimana lo bisa memuat naskah pada menit terakhir tanpa menge-drop naskah lain. Apakah lo menge-drop beritamu sendiri sebelum naskah vampir ini elo masukkan?”

“Ya, ampun!” seru Rastri. Seseorang pasti telah menyingkirkan naskah berita orang lain sebelum memasukkan berita Rastri sendiri. Dan hanya ada dua kemungkinan pelakunya: pihak pra-cetak. Atau korektor: Sam. Dan pihak pra-cetak—mengingat hirarkinya dalam keredaksian—tak akan berani melakukannya tanpa pemberitahuan dan pengesahan dari redaksi. Artinya.....

Sonia mengangguk ketika menatap Rastri. Ia juga sudah menduganya. Sekarang di mana Sam? Itukah mengapa tadi malam semua berlangsung lancar? Karena Sam telah menyingkirkan sebuah naskah lain? Dan mengapa Sam melakukannya? Sudah jam 10 siang, dan Sam belum muncul.

“Anak itu memang agak aneh,” gumam Rastri resah.

“Siapa? Sam?” tanya Sonia.

Rastri mengangguk, katanya, “Aku selalu merasa kacau kalau ia berada di sekitarku. Seolah sarafku mendadak mengencang dan aku merasa sedih dan gusar dan bingung. Dia pasti yang telah menyingkirkan naskah seseorang.”

Sonia menatap Rastri, berusaha menebak perasaan Rastri yang sesungguhnya terhadap Sam. Sonia hanya menemukan keresahan yang mulai meredam, disertai kelegaan dan sebersit kebingungan.  

“Mana bangsat itu! Berani benar ia membuang naskahku! Mana bangsat brengsek itu!” 

Semua mata menatap ke arah sudut ruang di depan pintu ke arah bagian pra-cetak: bagian redaksi bahasa. Manto keluar dari balik deretan komputer dan menatap ke arah orang-orang yang memandangnya ingin tahu.

Makiannya nyaris keluar dari mulutnya sekali lagi, namun ia mengurungkannya mungkin karena sadar terlalu banyak orang yang hadir di ruang itu. Dan semua orang itu menatapnya dengan rasa ingin tahu yang dingin. Tidak seperti biasanya. Hampir semua meja di ruang redaksi dipenuhi orang. 

Manto celingukan sejenak. Lalu dengan seringai angkuh ia mundur dan terduduk di sebuah kursi di deretan meja redaksi bahasa. Orang-orang menatapnya dengan jijik. Semakin hari, tingkahnya semakin menyebalkan. Dan bau asam alkohol membuat beberapa reporter wanita yang berada di dekat meja redaksi bahasa menyingkir dan bersungut-sungut. 

Siapakah yang tega menempatkan kerbau kalap gila itu ke dalam kantor redaksi? Seandainya saja ludahnya bisa berubah jadi api, ingin rasanya Sonia meludahi kerbau kurang ajar itu.

Kebenciannya pada Manto semakin lama semakin menggunung. Dan kebenciannya itu makin besar saja karena Sonia sebenarnya takut pada Manto, yang tak jarang menatapnya dengan mata merahnya yang sangar dan gila. Harus ada penjelasan bagaimana Manto menjadi Manto yang seperti ini, dan mengapa ia berada di tempat ini dan mengapa ia dipertahankan di sini.

Mendadak Manto menggebrak meja dengan seringai murka. 

   

Sonia dan Rastri berpandangan. 

Mereka menemukan jawabnya. Melupakan nasibnya sendiri yang belum menentu, sesaat Rastri merasa Sam akan mendapatkan kemalangan yang lebih mengerikan dari dirinya hari itu. Kemudian ia segera melupakan Sam ketika Redaksi Pelaksana—entah bagaimana matanya tepat langsung menangkap mata Rastri—keluar dari pintu Pimpinan Redaksi dan melambai ke arahnya. Dadanya berdebar kencang, ketika melepaskan gamitan lembut tangan Sonia dan melangkah ke arah kantor Pimpinan Redaksi. 

“Semua akan baik-baik saja, Rastri,” bisik Sonia ke telinganya. Rastri berusaha tersenyum, tetapi garis bibirnya patah oleh tatapan beku sang Redaksi Pelaksana. Rastri mungkin harus mulai merelakan pekerjaannya yang bagus di penerbitan ini. Meskipun hatinya menciut penuh kesedihan, ia tahu ia akan melakukan apa saja yang dianggapnya benar. Apa saja.

Dan ia tahu ia benar. Dengan pikiran itu dijejalkan dalam benaknya, Rastri melangkah pelan menuju ke kantor Pimpinan Redaksi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status