Share

6. Hari Yang Sial

Dony tersentak mendengarnya.

"Dipecat?" Tanya Dony tak percaya.

"Iya. Ini sisa upah gajimu selama bekerja di sini." Pak Beni melemparkan sebuah amplop coklat tipis ke atas meja. Dony mengambil amplop tersebut, dan menatap datar Pak Beni.

"Kembalikan seragam itu." Pak Beni menunjuk baju yang dipakai Dony. Lelaki itu menurut, dibukanya seragam itu untungnya dia memakai kaos lain di dalamnya. Kan tidak lucu jika dia harus keluar restoran dengan setengah telanjang.

Dony meletakkan seragam itu di atas meja Pak Beni.

"Okey. Terima kasih, Pak Beni. Saya permisi." Ucapnya Dony datar dan beranjak dari duduknya keluar dari ruangan itu.

"Pegawai baru, tapi tingkahnya sudah macam-macam." Umpat Pak Beni.

Dony keluar ruangan Pak Beni dengan wajah ditekuk.

"Dony!" Temannya yang tadi memanggil kembali.

"Kamu...?" Pemuda itu memandang heran ke arah Dony yang sudah berganti baju.

"Aku dipecat, aku permisi. Senang bisa bekerja sama walaupun hanya dalam waktu singkat." Pamitnya. Tanpa menunggu jawaban, Dony kembali melanjutkan langkahnya.

Di luar restoran Anna masih setia menunggu suaminya walaupun tempatnya sedikit panas, gadis itu tidak beranjak sedikitpun. Karena takut jika Dony keluar dari sana dan dirinya tidak ada, malah nanti ditinggalkan.

Tak lama kemudian Dony terlihat berjalan keluar, pria itu langsung menghampiri istrinya.

"Kak Dony, sudah selesai? Kenapa ganti baju?" Tanya Anna bingung.

"Aku dipecat, dan itu gara-gara dirimu!" Jawab Dony ketus.

"Kak Dony dipecat?" Gadis itu tersentak, berarti kabar tentang dirinya dan Dony sudah didengar atasan Dony.

Kenapa dirinya hanya membuat masalah untuk lelaki itu?

"Ya sudah, aku bicara saja pada atasan Kak Dony. Aku akan menjelaskan kalau semua ini salah paham." Anna hendak beranjak, tapi Dony menarik lengannya.

"Ck, tidak perlu. Aku masih bisa mencari pekerjaan yang lain." Tukas Dony.

"Tapi, Kak..."

"Sudahlah." Dony mengibaskan tangannya, menghentikan ucapan Anna. Lelaki itu kembali naik ke atas motor maticnya.

"Anna, kalau kamu tidak naik, aku akan meninggalkanmu." Ucap Dony kesal karena Anna hanya diam saja.

"Iya, Kak." Anna kembali naik ke atas motor Dony. Mereka meninggalkan restoran itu, tempat kerja Dony selama satu bulan ini.

Motor matic Dony melaju dengan kecepatan sedang, cuaca siang itu cukup panas.

"Kenapa aku harus terus-terusan menyebabkan masalah pada Kak Dony? Kami tidak saling mengenal, tapi tiba-tiba harus menikah karena kesalahpahaman. Dan sekarang Kak Dony dipecat dari pekerjaannya gara-gara diriku..." Batin Anna, ada kilat bening di mata sendunya.

*****

Motor matic yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah petak. Anna turun dari sana dan memandangi rumah petak itu.

"Aku tinggal di sini." Kata Dony sambil melepas helmnya.

"Oh..." Anna mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia hendak melepaskan helm yang terpasang di kepalanya, tapi kenapa susah sekali?

"Ck, melepas helm saja tidak bisa." Celetuk Dony yang sedari tadi memperhatikan istrinya.

"Bukan tidak bisa, Kak. Tapi ini sepertinya tersangkut." Kata Anna yang kesulitan membuka pengait helmnya. Dony memutar bola matanya, tapi kemudian ia membantu Anna untuk melepas helm tersebut.

Dua pasang mata itu bertemu, keduanya terdiam dan saling menatap.

"Cantik juga gadis ini." Batin Dony.

"Mata Kak Dony tajam sekali, aku jadi takut." Batin Anna.

"Ehm!" Dony menyudahi acara pandang-pandangan dengan istrinya. Sedangkan Anna nampak salah tingkah.

"Ayo masuk." Ajak Dony.

"Iya, Kak." Anna mengikuti langkah Donny sambil membawa kopernya.

Anna mengedarkan pandangannya begitu Dony membuka pintu. Gadis itu tercengang, kamar itu terlihat sangat rapi dan bersih walaupun hanya ada meja lesehan di atas tikar dan juga kipas angin yang menempel di plafon.

"Anna! Kenapa diam di depan pintu saja? Apa kamu tidak mau masuk?" Tanya Dony yang sudah ada di depan pintu kamar yang kedua. Kontrakan itu terdiri dari tiga kamar sebagaimana kontrakan pada umumnya.

"Eh, iya Kak." Anna melangkah masuk mengikuti suaminya. Di kamar kedua ada sebuah kasur berukuran cukup besar tanpa ranjang dan juga sebuah lemari plastik kecil. Dan kamar itupun sama bersihnya dengan kamar depan tadi.

"Lemariku kecil, dan itu sudah penuh dengan bajuku. Mungkin untuk sementara pakaianmu di simpan di dalam koper saja." Ujar Dony.

"Tidak apa, Kak." Sahut Anna. Dulu juga pakaiannya hanya di simpan di atas lantai karena orang tua angkatnya tidak memberi lemari untuknya.

"Simpan saja kopermu di situ." Dony menunjuk ke tempat samping lemarinya. Anna menurut, diletakannya koper itu di sana. Mereka berdua menuju dapur. Lagi, gadis itu kembali tercengang.

Dapur kecil itu sangat rapi dan bersih. Ada beberapa peralatan masak di sana dan juga beberapa macam bumbu. Sepertinya suaminya itu suka memasak.

"Kamu sudah makan?" Tanya Dony.

"Belum." Cicit Anna.

Sedari tadi mereka sibuk menjadi pengantin dadakan hingga melupakan makan siang.

"Aku sedang tidak ada stok makanan. Siang ini kita makan mie instan saja." Ucap Dony yang kemudian mengambil dua bungkus mie instan dan dua butir telur dari lemari dapur. Sepertinya itu stok telur terakhir.

"Aku saja yang masak, Kak." Tawar Anna.

"Memangnya kamu bisa?" Tanya Dony ragu. Biasanya gadis zaman sekarang kan jarang ada yang bisa masak walau hanya sekedar masak mie instan.

"Aku sudah biasa masak dari kecil, Kak." Sahut Anna.

"Kak Dony kasih tau saja di mana peralatan masaknya." Lanjutnya.

"Baiklah."

Dony menunjukkan di mana saja peralatan masak dan bumbu apa saja yang ada di sana.

"Ya sudah, Kak Dony tunggu saja di depan. Aku mau masak dulu." Kata Anna.

"Okey. Oh ya, tolong buatkan teh panas untukku." Pinta Dony.

"Manis atau tawar?" Tanya Anna.

"Tawar saja." Jawab Dony.

"Siap."

Dony beranjak keluar dari dapur dan menuju ruang depan. Pria itu duduk di lantai yang beralaskan tikar. Ia menghembuskan nafas beratnya dan memijat keningnya yang terasa berdenyut.

"Tiba-tiba saja aku harus menikah dengan gadis asing dan sekarang aku dipecat? Sungguh hari yang sangat sial untukku." Pria itu menggerutu dalam hati.

Walaupun Dony sudah siap untuk menikah, tapi tidak seperti ini caranya. Ia ingin menikah dengan wanita yang benar-benar mencintainya dan bisa menerima dirinya apa adanya, bukan karena terpaksa apalagi disangka berbuat mesum di toilet.

Ada-ada saja, dan itu sungguh memalukan!

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Dony, diangkatnya panggilan itu.

"Untuk apa meneleponku?" Sahutnya ketus.

"Maaf Tuan, aku..." Suara Juan tersendat-sendat di ujung telepon.

"Semuanya sudah terlambat." Tukas Dony.

"Maaf, Tuan..."

"Berhenti meminta maaf, Juan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status