Share

5. Dipecat

"Untuk apa aku menemui kalian? Aku juga tidak akan pernah menganggap kalian keluargaku." Sahut Dony begitu acuh. Roy yang mendengarnya terlihat emosi dan mengepalkan tangannya, kurang ajar sekali sikap pria itu terhadap orang yang lebih tua. Padahal dia juga hanya seorang pelayan restoran.

"Sudah Papa abaikan saja jangan didengar, lebih baik kita pulang." Ajak Lea yang enggan ribut sambil menarik lengan suaminya dan pergi dari sana.

Kini tinggallah Dony dan Anna berdua.

"Lihat, gara-gara menolongmu aku malah harus terjebak pernikahan konyol ini!" Seru Dony yang menatap tajam pada Anna.

"Maaf. Aku juga tidak tau kalau akan seperti ini kejadiaannya." Lirih Anna.

"Akh, sudahlah!" Dony mengibaskan tangannya, rumit sekali hidup yang harus ia jalani. Pria itu beranjak pergi dan menuju parkiran. Sedangkan Anna masih terdiam di tempatnya berdiri.

Nasib buruk apalagi yang akan menimpanya kali ini? Tiba-tiba saja harus menikah dengan orang asing. Dan sepertinya lelaki yang menjadi suaminya itu pria yang sangat galak dan tidak menyukai dirinya.

Dony menghentikan langkahnya saat sudah sampai di sepeda motor miliknya. Ia menoleh ke belakang, tidak ada Anna di sana. Dony membuang nafas kasar saat melihat Anna masih tidak beranjak dari tempatnya.

"Anna!" Panggil Dony setengah berteriak karena jarak mereka lumayan jauh. Gadis itu menoleh.

"Apa kamu akan terus diam di sana?" Serunya.

Anna mengerutkan kening, kemudian ia mengerti jika suami dadakannya itu minta dirinya untuk ikut dengannya. Anna berlari kecil menghampiri Dony sambil membawa koper usangnya.

"Ini kamu pakai." Kata Dony yang menyerahkan sebuah helm pada istri kecilnya. Anna segera memakai benda itu.

"Kakak mau membawaku ke mana?" Tanya Anna, wajahnya sedikit takut menatap mata tajam lelaki itu. Dony menautkan kedua alisnya mendengar panggilan Anna untuknya.

"Kakak? Kamu fikir aku Kakakmu?" Tanyanya.

"Lalu, aku harus panggil apa? Usia kita kan berbeda dua belas tahun, apa harus ku panggil Paman?" Anna balik bertanya dengan tampang polosnya.

Mulut Dony terbuka, tapi dia bingung mau bilang apa. Paman Dony? Hah, itu sangat tidak pantas untuk tampangnya yang masih muda. Walaupun sudah menginjak usia tiga puluh tahun, wajah Dony masih seperti anak kuliahan.

"Ya sudah, Kakak saja." Ucapnya kemudian.

"Kak Dony mau bawa aku ke mana?" Anna mengulang pertanyaannya yang tadi belum dijawab oleh Dony.

"Ke tempat kremasi." Jawab Dony asal sambil memakai helmnya. Mata Anna langsung membulat, ia yang sudah takut jadi bertambah takut. Kakinya mundur beberapa langkah.

"Kenapa menjauh?" Tanya Dony heran.

"Kak Dony mau membunuhku?"

Suara Anna terdengar bergetar, matanya juga sudah berkaca-kaca karena ketakutan. Dony tercengang, gadis ini polos atau bodoh menganggap serius ucapannya?

"Kamu mau ikut aku atau tetap di parkiran?" Tanya Dony, sedangkan Anna masih menatap takut padanya.

"Astaga, Anna! Apa aku ini ada tampang pembunuh?" Tanya Dony yang mulai gemas dengan istri kecilnya tersebut. Anna menatap Dony dari ujung rambut sampai ujung kaki. Memang lelaki itu tidak ada tampang penjahat sama sekali. Anna menggeleng dan memberanikan diri untuk mendekat.

"Bisa-bisa aku yang bunuh diri kalau begini."

Dony memijat pangkal hidungnya, rasanya kepalanya langsung pusing mendapat istri seperti Anna.

******

Motor matic milik Dony berhenti di sebuah restoran cepat saji yang merupakan tempat kerja Dony.

"Turun." Titah Dony pada Anna.

"Kamu tunggu di sini, aku mau ke dalam dulu." Ucapnya, Anna mengangguk.

"Jangan ke mana-mana. Kalau kamu hilang, aku tidak akan mencarimu." Kata Dony sebelum masuk ke restoran itu.

"Iya, Kak." Jawab Anna patuh.

Dengan langkah lebar Dony masuk ke dalam sana.

"Dony!" Panggil salah seorang teman kerjanya.

"Ada apa?" Tanya Dony sambil menghampiri temannya itu.

"Kamu dari mana saja? Kenapa baru kembali?" Temannya bertanya balik.

"Aku ada sedikit masalah tadi." Jawab Dony.

"Oh, begitu? Tadi Pak Beni pesan, kamu disuruh ke ruangannya. Sepertinya masalahmu akan bertambah."

Dony membuang nafas berat ke udara. Sudah pasti dirinya dalam masalah jika harus menghadapi atasannya itu.

"Ya sudah, aku ke sana dulu." Ujarnya.

Dony menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan begitu sampai di depan ruangan Pak Beni. Ia harus menyiapkan dirinya jika atasannya itu tiba-tiba mengamuk.

Tok. Tok. Tok

"Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam, Dony membuka pintu ruangan atasannya.

"Duduk." Ucap Pak Beni begitu Dony masuk ke ruangannya. Pria paruh baya itu menatap tajam pada Dony, seolah akan memakannya hidup-hidup.

"Kamu dari mana? Kenapa baru datang?" Tanya Pak Beni dengan suara beratnya.

"Iya, Pak. Maaf tadi saya ada sedikit..."

"Cukup!" Potong Pak Beni.

"Dia yang bertanya, tapi saat ku jawab malah disuruh diam." Dony protes, tapi hanya dalam hati.

"Saya sudah tau apa yang kamu lakukan di luar sana." Sambungnya. Kening Dony mengerut, apa berita tentang dirinya sudah sampai pada atasannya?

"Pak, itu semua..."

"Diam! Saya benar-benar malu punya karyawan seperti kamu, Dony. Kalau kamu mau berbuat hal rendah seperti itu, silakan. Tapi jangan di jam kerja dan memakai seragam restoran ini. Kamu sudah mencoreng nama baik restoran ini. Kamu itu karyawan baru, tapi sudah berani bertingkah." Pak Beni kembali menyela sebelum Dony selesai bicara.

Rasanya Dony tidak terima dengan apa yang dikatakan Pak Beni, semua ini adalah salah paham.

"Pak..."

"Kamu dipecat!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status