Aku langsung membalikkan badanku melihat ke arah Ardian. Aku menatap Ardian tidak percaya.
“Kau mengajakku kembali padamu karena uang tabungan bersama kita?” tanyaku dengan suara pelan karena terkejut dengan apa yang dikatakan Ardian kepadaku.
Ardian, bisa-bisanya ia datang kepadaku hanya demi uang tabungan bersama. Memang, aku dan Ardian membuat tabungan bersama untuk biaya pernikahan dan masa depan kita nanti. Tentu saja yang dikumpulkan itu disimpan di dalam rekeningku. Padahal jika dipikir-pikir lagi uang tabungan itu lebih banyak diisi olehku daripada Ardian.
“Ardian, apa kau benar-benar tidak tahu malu?”
“Kiran, salahmu yang tidak mau kembali bersamaku lagi. Padahal, uang itu bisa kita miliki bersama sesuai niat awal kita. Tetapi sekarang, semuanya berbeda. Kau mengecewakanku dengan tidak mau bersamaku lagi. Jadi ... aku terpaksa meminta uang milikku kembali,” jelas Ardian seraya melangkah menghampiriku.
“Uang itu bukan milikmu lagi. Anggap saja uang yang kau tabungkan itu sebagai tanda perminta maafmu karena sudah membuatku sakit hati. Dengan begitu, aku akan memaafkanmu sepenuh hati.” Aku menyilangkan kedua tanganku dan menyimpannya di depan dada. Aku juga tersenyum miring, membuat Ardian semakin tidak terima.
“Aku tidak setuju dengan keputusanmu itu! Kembalikan uangku atau aku akan menyakitimu!” ancam Ardian dengan wajah yang terlihat begitu marah.
“Ardian, aku tidak pernah menyangka jika selama ini aku memiliki hubungan dengan orang brengsek sepertimu. Orang lain juga bisa menilai bagaimana sikap aslimu ini. Hal yang paling aku sesali seumur hidupku adalah berpacaran denganmu!”
“Kiran, kau tidak perlu mengalihkan pembicaraan! Aku hanya membutuhkan uangku kembali. Setelah itu, aku tidak akan menemuimu lagi!” pinta Ardian dengan emosi yang menggebu-gebu.
Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan. “Aku tidak akan memberikannya kepadamu. Uang itu bukan milikmu lagi!”
Aku beringsut mundur lalu melenggang keluar tanpa beban. Ardian yang tidak terima dengan semua yang aku katakan langsung membanting meja yang berada di dekatnya sampai harus diamankan oleh petugas di sana. Sementara aku, hanya bisa tersenyum menikmati kemarahan Ardian dari dalam taksi yang baru saja aku naiki.
Aku pulang setelah matahari sudah berubah menjadi bulan di atas langit. Aku memang mampir dulu ke beberapa tempat hanya untuk menenangkan pikiran dan juga jiwaku. Setelah dirasa tenang, aku memutuskan untuk pulang ke rumahku malam-malam.
“Kiran, dari mana saja kau? Mom menunggumu sejak tadi!” teriak mommy dari dapur ketika melihatku menaiki tangga menuju kamarku.
Aku sedang tidak ingin bertengkar dengan mommy. Aku hanya ingin kembali menangkan diri dengan cara menyendiri di kamar. Bukan hal yang mudah bagiku melepaskan Ardian dari dalam hidupku. Ada rasa senang ketika melihat Ardian begitu marah ketika uang yang ia tabungkan tidak aku berikan. Tetapi, rasa sedih pun tidak kalah dominan di dalam hatiku membuat suasana hatiku begitu kacau.
“Kiran, buka pintunya!” Terdengar suara teriakan mommy dari balik pintu. Ia juga mengetuk pintu beberapa kali menghasilkan suara yang begitu keras. “Apa kau baru putus dengan kekasihmu sampai kau bersikap seperti ini kepada Mommy?!”
“Tinggalkan aku sendiri, Mom! Aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun.” Aku ikut berteriak dari dalam kamar.
“Kiran, jangan buat Mom terus saja marah-marah kepadamu! Kau sudah besar dan tidak pantas bersikap seperti anak kecil begini!”
“Sayang ... sudahlah. Biarkan Kiran menenangkan dirinya dulu di kamar. Mungkin, Kiran memang sedang tidak ingin menemui siapa pun dulu.” Terdengar suara ayah tiriku di balik pintu kamar.
“Ethan, mau sampai kapan kau membela Kiran terus! Jika terus saja dibiarkan sikap Kiran semakin keras kepala!” balas mommy yang masih saja marah-marah.
“Sudahlah, lebih baik kita membereskan barang-barang yang akan kita bawa pindah daripada marah-marah tidak jelas seperti ini,” ajak Ethan dengan suara tenangnya. Detik berikutnya, hanya terdengar suara langkah kaki yang menjauhi kamarku.
***
Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah milik Ethan—ayah tiriku. Sebuah rumah yang cukup besar berdiri cukup kokoh di pertengahan kota. Aku masuk ke dalam rumah itu setelah Ethan membukakan pintu untukku dan juga mommy. Aku langsung menyapu seluruh pandanganku setelah melihat isi rumah. Rumah ini cukup besar dibandingkan rumahku yang dulu.
“Kiran, kamarmu di lantai dua,” ucap Ethan tiba-tiba, membuatku langsung menoleh ke arahnya.
“Lantai dua?” tanya mommy dengan kening berkerut.
“Ya, aku tahu jika Kiran lebih suka menyendiri. Jadi, aku memberi ruangan pribadi untuknya di lantai dua,” jelas Ethan seraya mengedipkan matanya ke arahku.
Selama ini, memang Ethan memperlakukanku dengan cukup baik. Namun, aku tetap membencinya karena sudah berani merebut mommy dari ayahku. Kebahagiaanku memiliki keluarga yang sempurna membuat harapanku hanya angan-angan saja ketika Ethan masuk ke dalam kehidupan mommy dan merebutnya begitu saja dari ayahku.
Aku hanya tersenyum kecut tanpa ingin membalas perkataan Ethan. Aku menarik tas koperku menuju lantai atas di mana kamarku berada. Terdapat ruang santai ketika aku sampai di ujung tangga lantai atas. Di sebelahnya ada sebuah pintu yang aku tebak adalah kamarku. Aku masuk ke dalam ruangan itu, terlihat sebuah kamar yang bernuansa biru muda bercampur warna putih. Bahkan, dekorasi yang tersimpan dengan rapi pun rata-rata berwarna biru muda. Kamar ini cukup lengkap dengan adanya kamar mandi di dalam, membuatku tidak perlu repot-repot keluar kamar jika ingin ke kamar mandi.
Tiba-tiba saja aku merasakan pusing di kepala. Perutku terasa mual seperti ingin mengeluarkan sesuatu. Aku langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkannya di sana. Memang, beberapa hari ini badanku terasa begitu tidak enak. Akan tetapi, rasa sakit seperti ini baru pertama kali aku rasakan. Aku membasuh mulutku setelah selesai, lalu duduk di atas kasur dengan perasaan gelisah.
“Tunggu, sudah berapa lama aku tidak datang bulan?” tanyaku setelah tersadar.
Aku baru teringat jika bulan ini aku terlambat datang bulan. Aku mengambil tasku dan membukanya. Aku mencari benda pipih yang selalu aku bawa kemana pun. Memang, aku menjadi khawatir setiap aku selesai berhubungan dengan Ardian. Setelah aku menemukan benda pipih itu, aku langsung kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengeceknya. Kali ini aku benar-benar gelisah dan juga takut.
Setelah beberapa menit menunggu, aku mengambil alat tes kehamilan itu dari gelas yang berisi urine milikku. Ketika kulihat, hasilnya seketika membuatku membulatkan kedua bola mata. Aku diam mematung dan langsung ambruk ke lantai karena tidak sanggup menahan tubuhku yang tiba-tiba saja melemas begitu saja.
Aku … hamil?
Aku membungkam mulut dengan kedua tanganku sendiri. Mataku terbelalak melihat benda pipih yang ada di tangan. Terdapat dua garis berwarna merah di sana, pertanda jika aku sedang mengandung. “Aku ... hamil?” Suaraku gemetar karena benar-benar takut. “Bagaimana bisa aku hamil?” Aku memegang dengan erat alat tes kehamilan itu, lalu berjalan keluar kamar mandi dengan gontai. Kemudian, aku duduk di kasur dengan perasaan yang begitu gelisah bercampur takut. Kenapa aku tidak menyadari kehamilanku jauh-jauh hari? “Ardian, kau benar-benar membuatku tersiksa meski pun sudah terlepas darimu!” “Kiran,” panggil mommy yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Memang, kebiasaan mommy selalu seperti itu, membuat privasiku sedikit terganggu. Dengan gerakan cepat aku langsung menyembunyikan benda pipih dan panjang itu ke belakang tubuhku. Aku tidak ingin mommy tahu jika aku hamil. “Ada apa Mom?” tanyaku dengan suar
Aku diam mematung melihat adegan di depanku, air mataku tertahan tanpa aku bisa mengedipkannya. Aku bisa melihat dengan jelas Ardian sedang berhubungan dengan Resa, sahabatku. Aku tidak pernah tahu jika kelakuan Ardian lebih brengsek dari yang aku kira. Sudah cukup, ia berselingkuh dengan seorang wanita yang tidak aku kenal. Tapi sekarang, Ardian jelas-jelas berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku dikhianati oleh dua orang sekaligus membuat dadaku terasa sesak begitu saja. Oksigen di ruangan itu seperti hilang dan menguap begitu saja membuatku tak bisa bernapas. “Kiran?” pekik Ardian dan Resa bersamaan. Ardian turun dari atas tubuh Resa lalu dengan cepat menyambar pakaiannya yang tergeletak di mana saja. Sementara Resa, ia menyelimuti dirinya dengan selimut tebal agar tubuhnya tidak terlihat olehku. “Kiran, Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini? Kau baru saja mengganggu kami berdua!” tanya Ardian setelah selesai memakai celananya dan berjalan dengan cepa
Aku turun dari taxi setelah sampai di depan rumahku. Aku berjalan dengan gontai masuk ke dalam rumah. Terlihat Mommy dan Ethan yang sedang berbincang di ruang tamu. Melihatku datang, mereka berdua langsung terdiam. Mommy langsung beranjak dari duduknya dan menatapku tidak suka. “Semalam kau menginap di mana, Kiran?” tanya Mommy seraya berkacak pinggang penuh emosi. “Aku tidak tidur,” jawabku sambil berlalu pergi menuju anak tangga. Memang, setelah pergi dari apartemen Ardian aku pergi ke sebuah Club untuk menenangkan diri. Aku mencoba meminum alkohol untuk melupakan masalahku sejenak. Namun, aku teringat dengan kandunganku, membuat aku tidak jadi meminumnya. Aku keluar dari Club itu dengan perasaan kacau balau. Aku menangis histeris di sana menumpahkan semua rasa sakitku. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang melihatku dan bertanya keadaanku. Setelah dirasa tenang, aku langsung naik taxi dan melakukan perjalanan berjam-jam menuju rumah Ethan. Aku tidak tid
“Aaa ....” Aku terperanjat bangun karena terkejut dengan suara teriakan seseorang yang memekakkan telingaku. Aku bisa melihat dengan jelas jika mommy sedang terkejut di ambang pintu kamarnya dengan mulut yang ditutupi oleh salah satu tangannya. “Apa ... yang kalian lakukan?” Aku melihat ke arah sebelahku di mana Ethan juga ikut terbangun. Ia terkejut bukan main saat melihatku. “Kiran, apa yang kau dilakukan di kamarku?” tanya Ethan seraya turun dari ranjangnya dan menjauhiku. “Kau tidak ingat apa yang terjadi semalam?” tanyaku balik membuat Ethan langsung mengerutkan keningnya. Ia memegang kepalanya tampak sedang berpikir. “Apa yang kalian lakukan semalam? Katakan semuanya!” teriak mommy dengan emosi yang menggebu-gebu. Ia juga beberapa kali berteriak histeris. Kedua matanya terlihat memerah, aku yakin jika mommy sedang menahan tangisnya. Ethan terdiam seraya menatap Mommy dalam-dalam. Ia juga melihat ke arahku dengan tatapan b
Mommy dan Ethan langsung membawaku ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami. Aku terbangun dari ranjang yang terbuat dari besi itu setelah seorang dokter perempuan baru saja selesai memeriksa kandunganku. “Bagaimana hasilnya Dok?” tanya mommy yang begitu tak sabar mendengar jawabannya. Dokter itu menoleh ke arah mommy lalu tersenyum seolah akan memberikan kabar bahagia namun bencana untukku. “Selamat, Nyonya, putri anda sedang mengandung,” ucap Dokter itu sambil tersenyum ramah kepada mommy dan juga Ethan secara bergantian. Mommy langsung melihat ke arahku dengan nanar, aku langsung mengalihkan pandanganku karena tak mau melihat mommy yang sangat marah padaku. “Saya pamit dulu, untuk obat dan vitamin hamil sudah saya resepkan untuk putri anda,” lanjut dokter seraya keluar dari ruangan itu. “Mom-“ “Kita pulang!” ucap mommy dengan suara tegas sambil keluar dari ruangan tanpa memperdulikan aku dan ju
Aku berdiri di depan cermin melihat pantulan diriku sendiri. Tubuhku memakai gaun pengantin berwarna putih membuatku tampak terlihat begitu cantik. Aku menatap bayanganku sendiri namun tidak ada senyuman yang terukir di wajahku. Tidak seperti pengantin biasanya yang tersenyum bahagia di hari pernikahannya. Berbeda denganku, aku cukup gelisah dan khawatir dengan acara yang akan berlangsung. Aku takut jika Ethan tiba-tiba saja pergi atau membatalkan pernikahan ini dan membuatku atau mommy merasa malu. Berbicara soal mommy, ia tidak berbicara denganku lagi. Mommy lebih banyak menghabiskan waktu mengurus semua pernikahanku tanpa berdiskusi denganku terlebih dahulu. Bahkan, gaun pengantin ini pun mommy yang memilihkannya untukku tanpa sepengetahuan diriku. Aku memakainya langsung di hari pernikahanku tanpa aku coba terlebih dahulu. Beruntungnya, gaun ini muat di tubuhku yang ramping. Mommy memang selalu ahli dalam memilih pakaian apa pun untukku. “Kiran,” panggil seseorang yang s
Aku masuk ke dalam rumah untuk menyusul Ethan yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kemudian, aku cukup terkejut setelah melihat mommy yang duduk di sofa dengan koper dan beberapa barang miliknya yang terletak di sebelahnya. “Mommy, mau kemana?” tanyaku yang tetap berdiri di ambang pintu dengan kedua bola mata yang membulat. “Kiran, Mommy akan pindah rumah dan tidak akan tinggal di sini lagi,” jawab mommy sambil melihatku dengan raut wajah yang berantakan. “Tidak, aku ingin kau tetap tinggal bersamaku, Adriani!” tolak Ethan yang tidak menyetujui mommy pergi dari rumahnya. “Ethan, sekarang kau adalah menantuku. Aku tidak sanggup melihat kalian berdua jika tetap tinggal di rumah ini,” timpal mommy seraya bangkit dari duduknya. “Tidak, Adriani! Aku tidak mengizinkanmu untuk pergi!” tegas Ethan seraya menghalangi jalan mommy untuk tidak pergi. “Ethan, mulai sekarang aku adalah mertuamu. Kau tidak memiliki hak untuk mengaturku la
“Ethan, apa kau lupa jika aku sedang mengandung darah dagingmu?” tanyaku dengan suara tercekat setelah perlakuan Ethan yang hampir saja membahayakan kandunganku. Aku tidak mengerti kenapa Ethan bisa dengan mudah berubah sikap padaku. Padahal, Ethan selalu terlihat baik dan juga romantis saat bersama mommy. Lalu, kenapa ketika bersamaku Ethan bersikap seperti ini? Selalu ada kemarahan yang aku lihat di raut wajahnya membuatku merasa sedih setelah menikah. Seharusnya aku senang karena akhirnya rencanaku berhasil. Tapi ... kenapa perasaanku mengatakan hal yang sebaliknya? “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi malam itu, Kiran? Aku bukanlah orang yang dengan mudah meniduri wanita ketika aku mabuk!” tanya Ethan yang dengan suara tinggi saat berbicara denganku. Aku hanya bisa terdiam sambil melihat Ethan dengan air mata tertahan. Tidak mungkin jika aku menceritakan semua yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau rencanaku yang sudah berhasil ini gagal beg