Aku diam mematung melihat adegan di depanku, air mataku tertahan tanpa aku bisa mengedipkannya. Aku bisa melihat dengan jelas Ardian sedang berhubungan dengan Resa, sahabatku. Aku tidak pernah tahu jika kelakuan Ardian lebih brengsek dari yang aku kira. Sudah cukup, ia berselingkuh dengan seorang wanita yang tidak aku kenal. Tapi sekarang, Ardian jelas-jelas berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku dikhianati oleh dua orang sekaligus membuat dadaku terasa sesak begitu saja. Oksigen di ruangan itu seperti hilang dan menguap begitu saja membuatku tak bisa bernapas.
“Kiran?” pekik Ardian dan Resa bersamaan.
Ardian turun dari atas tubuh Resa lalu dengan cepat menyambar pakaiannya yang tergeletak di mana saja. Sementara Resa, ia menyelimuti dirinya dengan selimut tebal agar tubuhnya tidak terlihat olehku.
“Kiran, Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini? Kau baru saja mengganggu kami berdua!” tanya Ardian setelah selesai memakai celananya dan berjalan dengan cepat menghampiriku.
“Kau baru saja bertanya apa yang kulakukan di sini?” Aku tidak percaya dengan pertanyaan Ardian barusan seraya tersenyum miris menahan air mata yang terus saja mencoba keluar dari pelupuk mataku. “Kau baru saja mengkhianatiku lagi, Ardian! Dan sekarang, kau melakukannya lebih parah. Dengan teganya berselingkuh dengan sahabatku sendiri! Tidak, Resa tidak pantas aku panggil sebagai seorang sahabat lagi!”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Resa. Ia tidak membalas pandanganku dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dapat kulihat dari raut wajahnya jika Resa ketakutan.
“Kiran, apa kau lupa jika kita tidak memiliki hubungan apa pun? Kau sendiri yang mengatakannya!” balas Ardian membuatku kembali menoleh ke arah Ardian dengan penuh emosi.
“Karena kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun, aku bebas melakukan apa pun tanpa harus memikirkan perasaanmu. Sekarang pun, kau tidak memiliki hak untuk melarangku!” lanjut Ardian sambil tersenyum miring ke arahku.
PLAK!
Aku menampar pipi Ardian karena emosi dengan ucapannya barusan. Bisa-bisanya dia dengan mudah melakukan hubungan dengan wanita lain padahal beberapa hari yang lalu Ardian meminta-minta padaku untuk memperbaiki hubungan kita.
“Ardian, aku benar-benar menyesal sudah mengenal pria sepertimu!” Suaraku meninggi karena begitu kesal dengan perlakuan Ardian.
Emosiku pun sudah meluap-luap dan tak bisa aku tahan lagi. Ingin sekali aku memukul Ardian atau pun Resa sampai babak belur agar mereka tahu rasa. Tapi yang aku lakukan itu akan berakhir percuma saja. Aku tidak mau terlihat bodoh di mata Ardian atau Resa. Akhirnya, aku hanya bisa diam seraya menahan emosiku dengan mengepalkan tanganku.
Ardian memegang pipinya yang memerah akibat tamparan yang diberikan olehku khusus untuknya. Ia menatap nanar ke arahku seolah tidak terima dengan apa yang sudah kulakukan.
“Kau ... berani-beraninya menampar wajah tampanku?” pekik Ardian sambil menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya.
“Tamparanku tidak cukup untuk mengobati rasa sakitku yang sudah kau lakukan padaku!” timpalku yang membalas tatapan Ardian tak kalah tajam. Rahangku mengeras, aku benar-benar menahan emosiku agar tidak keluar tanpa kendali.
“Salahmu sendiri yang datang lagi padahal kita sudah tidak memiliki hubungan apa pun! Atau jangan-jangan ... kau datang, karena tidak bisa melupakanku,” tebak Ardian dengan wajah ekspresi wajah yang menjengkelkan bagiku.
Untuk beberapa saat, aku terdiam menatapnya dengan nanar tanpa ingin membalas perkataannya. Apa aku harus mengatakan kepada Ardian jika aku tengah mengandung anaknya?
Pandanganku beralih ke arah Resa yang hanya diam menatapku dan Ardian secara bergantian. Kemudian, aku menundukkan kepalaku melihat perutku yang masih datar. Aku menarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Tidak mungkin aku mengatakan kepada Ardian, aku tidak ingin anakku memiliki seorang ayah brengsek sepertinya.
“Aku berharap tidak pernah bertemu lagi denganmu, Ardian! Dan, Resa ....” Aku menatapnya lagi membuat pandangan kami berdua bertemu. “Aku berharap kau tidak menyesali apa yang sudah kau lakukan.”
Aku beringsut mundur meninggalkan mereka berdua. Hatiku benar-benar sakit membuat air mataku mengalir begitu saja tanpa perintah dariku. Aku tidak pernah menyangka jika aku baru saja dikhianati oleh sahabatku sendiri. Aku sudah berteman dengan Resa sejak kami sama-sama masih mengenyam pendidikan di sekolah. Bertahun-tahun kita berteman ternyata berakhir dengan pengkhianatan. Aku cukup sulit melupakan kejadian tadi yang membuatku muak dan terpaksa menelan pil pahit.
Aku berjalan dengan tegas sambil menyeka air mataku dengan kasar. Aku tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang menatapku dengan tatapan aneh.
“Kiran,” panggil seseorang yang sangat aku kenal.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Terlihat Resa yang berlari mengejarku dengan memakai blazer dan hotpants selututnya. Rambutnya tampak berantakan tanpa ingin ia benarkan lebih dulu. Aku tersenyum miris melihat Resa yang berlari ke arahku.
“Kiran,” panggil Resa sekali lagi setelah ia berada di depanku. Resa mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena berlari mengejarku.
“Apa kau mengejarku untuk meminta maaf padaku? Jika iya, tidak ada kata maaf untuk pengkhianat sepertimu meskipun dulu kau adalah sahabatku,” ucapku sambil memutar bola mataku karena jengah dan juga muak melihat wajah Resa.
Resa tersenyum miring lalu menyilangkan kedua tangan dan menyimpannya di depan dada. Detik berikutnya, ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Kiran. Aku mengejarmu bukan untuk meminta maaf. Tetapi, aku akan berterima kasih padamu karena sudah melepaskan Ardian. Kau tahu, aku sudah mencintai Ardian sejak aku pertama kali melihatnya.”
“Apa?!”
“Aku akan jujur sekarang padamu karena kau sudah tahu hubunganku dengan Ardian. Dari awal, aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman atau pun sahabat. Aku tidak pernah menyukaimu, aku ingin dekat denganmu karena kau adalah salah satu wanita yang populer di sekolah. Dengan aku berteman denganmu, aku akan sama populernya denganmu. Berkatmu, aku memiliki beberapa kekasih tampan yang kamu tolak. Aku juga menjelekkanmu kepada mereka membuat mereka membencimu. Aku harap kamu terkejut, mendengar kejujuranku. Aku sangat senang melihat ekspresimu seperti ini,” jelas Resa panjang lebar sambil tersenyum merendahkan kepadaku.
Aku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata-kata. Aku tidak pernah tahu jika Resa ternyata sebusuk itu di belakangku. Selama ini, aku pikir Resa adalah sahabatku. Aku benar-benar menganggapnya sebagai seorang sahabat sampai sebelum aku tahu semuanya. Perlahan, air mataku kembali meleleh begitu saja. Aku tidak bisa menahan rasa sakitku. Dua kali aku dikejutkan oleh orang-orang brengsek seperti Ardian dan Resa.
“Resa, aku berharap kau akan mendapatkan karma setelah semua perbuatanmu padaku. Satu lagi, aku tidak mau kau muncul lagi di hadapanku. Jika kau melakukan ini, aku yakin kau akan berakhir di rumah sakit,” ucapku dengan suara bergetar karena air mataku yang terus saja mengalir tanpa aku bisa hentikan.
“Kita akan bertemu lagi, Kiran. Karena aku dan Ardian akan segera menikah.”
Aku turun dari taxi setelah sampai di depan rumahku. Aku berjalan dengan gontai masuk ke dalam rumah. Terlihat Mommy dan Ethan yang sedang berbincang di ruang tamu. Melihatku datang, mereka berdua langsung terdiam. Mommy langsung beranjak dari duduknya dan menatapku tidak suka. “Semalam kau menginap di mana, Kiran?” tanya Mommy seraya berkacak pinggang penuh emosi. “Aku tidak tidur,” jawabku sambil berlalu pergi menuju anak tangga. Memang, setelah pergi dari apartemen Ardian aku pergi ke sebuah Club untuk menenangkan diri. Aku mencoba meminum alkohol untuk melupakan masalahku sejenak. Namun, aku teringat dengan kandunganku, membuat aku tidak jadi meminumnya. Aku keluar dari Club itu dengan perasaan kacau balau. Aku menangis histeris di sana menumpahkan semua rasa sakitku. Aku tidak peduli dengan orang-orang yang melihatku dan bertanya keadaanku. Setelah dirasa tenang, aku langsung naik taxi dan melakukan perjalanan berjam-jam menuju rumah Ethan. Aku tidak tid
“Aaa ....” Aku terperanjat bangun karena terkejut dengan suara teriakan seseorang yang memekakkan telingaku. Aku bisa melihat dengan jelas jika mommy sedang terkejut di ambang pintu kamarnya dengan mulut yang ditutupi oleh salah satu tangannya. “Apa ... yang kalian lakukan?” Aku melihat ke arah sebelahku di mana Ethan juga ikut terbangun. Ia terkejut bukan main saat melihatku. “Kiran, apa yang kau dilakukan di kamarku?” tanya Ethan seraya turun dari ranjangnya dan menjauhiku. “Kau tidak ingat apa yang terjadi semalam?” tanyaku balik membuat Ethan langsung mengerutkan keningnya. Ia memegang kepalanya tampak sedang berpikir. “Apa yang kalian lakukan semalam? Katakan semuanya!” teriak mommy dengan emosi yang menggebu-gebu. Ia juga beberapa kali berteriak histeris. Kedua matanya terlihat memerah, aku yakin jika mommy sedang menahan tangisnya. Ethan terdiam seraya menatap Mommy dalam-dalam. Ia juga melihat ke arahku dengan tatapan b
Mommy dan Ethan langsung membawaku ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal kami. Aku terbangun dari ranjang yang terbuat dari besi itu setelah seorang dokter perempuan baru saja selesai memeriksa kandunganku. “Bagaimana hasilnya Dok?” tanya mommy yang begitu tak sabar mendengar jawabannya. Dokter itu menoleh ke arah mommy lalu tersenyum seolah akan memberikan kabar bahagia namun bencana untukku. “Selamat, Nyonya, putri anda sedang mengandung,” ucap Dokter itu sambil tersenyum ramah kepada mommy dan juga Ethan secara bergantian. Mommy langsung melihat ke arahku dengan nanar, aku langsung mengalihkan pandanganku karena tak mau melihat mommy yang sangat marah padaku. “Saya pamit dulu, untuk obat dan vitamin hamil sudah saya resepkan untuk putri anda,” lanjut dokter seraya keluar dari ruangan itu. “Mom-“ “Kita pulang!” ucap mommy dengan suara tegas sambil keluar dari ruangan tanpa memperdulikan aku dan ju
Aku berdiri di depan cermin melihat pantulan diriku sendiri. Tubuhku memakai gaun pengantin berwarna putih membuatku tampak terlihat begitu cantik. Aku menatap bayanganku sendiri namun tidak ada senyuman yang terukir di wajahku. Tidak seperti pengantin biasanya yang tersenyum bahagia di hari pernikahannya. Berbeda denganku, aku cukup gelisah dan khawatir dengan acara yang akan berlangsung. Aku takut jika Ethan tiba-tiba saja pergi atau membatalkan pernikahan ini dan membuatku atau mommy merasa malu. Berbicara soal mommy, ia tidak berbicara denganku lagi. Mommy lebih banyak menghabiskan waktu mengurus semua pernikahanku tanpa berdiskusi denganku terlebih dahulu. Bahkan, gaun pengantin ini pun mommy yang memilihkannya untukku tanpa sepengetahuan diriku. Aku memakainya langsung di hari pernikahanku tanpa aku coba terlebih dahulu. Beruntungnya, gaun ini muat di tubuhku yang ramping. Mommy memang selalu ahli dalam memilih pakaian apa pun untukku. “Kiran,” panggil seseorang yang s
Aku masuk ke dalam rumah untuk menyusul Ethan yang sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Kemudian, aku cukup terkejut setelah melihat mommy yang duduk di sofa dengan koper dan beberapa barang miliknya yang terletak di sebelahnya. “Mommy, mau kemana?” tanyaku yang tetap berdiri di ambang pintu dengan kedua bola mata yang membulat. “Kiran, Mommy akan pindah rumah dan tidak akan tinggal di sini lagi,” jawab mommy sambil melihatku dengan raut wajah yang berantakan. “Tidak, aku ingin kau tetap tinggal bersamaku, Adriani!” tolak Ethan yang tidak menyetujui mommy pergi dari rumahnya. “Ethan, sekarang kau adalah menantuku. Aku tidak sanggup melihat kalian berdua jika tetap tinggal di rumah ini,” timpal mommy seraya bangkit dari duduknya. “Tidak, Adriani! Aku tidak mengizinkanmu untuk pergi!” tegas Ethan seraya menghalangi jalan mommy untuk tidak pergi. “Ethan, mulai sekarang aku adalah mertuamu. Kau tidak memiliki hak untuk mengaturku la
“Ethan, apa kau lupa jika aku sedang mengandung darah dagingmu?” tanyaku dengan suara tercekat setelah perlakuan Ethan yang hampir saja membahayakan kandunganku. Aku tidak mengerti kenapa Ethan bisa dengan mudah berubah sikap padaku. Padahal, Ethan selalu terlihat baik dan juga romantis saat bersama mommy. Lalu, kenapa ketika bersamaku Ethan bersikap seperti ini? Selalu ada kemarahan yang aku lihat di raut wajahnya membuatku merasa sedih setelah menikah. Seharusnya aku senang karena akhirnya rencanaku berhasil. Tapi ... kenapa perasaanku mengatakan hal yang sebaliknya? “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi malam itu, Kiran? Aku bukanlah orang yang dengan mudah meniduri wanita ketika aku mabuk!” tanya Ethan yang dengan suara tinggi saat berbicara denganku. Aku hanya bisa terdiam sambil melihat Ethan dengan air mata tertahan. Tidak mungkin jika aku menceritakan semua yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau rencanaku yang sudah berhasil ini gagal beg
Drrt ... drrt ... drrt Ponselku bergetar tanda ada panggilan yang masuk dari seseorang. Aku mengambil ponselku yang sengaja aku letakkan di atas meja. Terlihat nama Ethan tertera di layar ponsel. Aku mengerutkan keningku karena Ethan tidak pernah meneleponku sejak kejadian itu. “Kenapa Ethan meneleponku?” tanyaku dengan kening berkerut lalu menggeser logo berwarna hijau dan mendekatkan ponsel ke arah telinga. “Hallo, Ethan. Ada apa kau menelponku?” “Kiran....” Terdengar suara isakan tangis di sebrang telpon sana membuat kedua alisku hampir saja menyatu mendengar Ethan yang terisak. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. “Ethan, kenapa kau menangis? Ada apa?!” “Adriani bunuh diri tadi malam.” Sebuah fakta yang terucap dari bibir Ethan membuatku terkejut bukan main. Aku langsung berdiri dari dudukku karena tidak percaya dengan ucapan Ethan barusan. “Apa?!” Aku terpekik, suaraku bahkan tercekat. Air mataku lolos begitu saja tanpa perinta
“Kiran, Adriani menyelamatkanmu ketika Julian membuangmu!” tegas Ethan membuatku langsung menoleh ke arahnya karena tidak percaya. “Apa maksudmu berkata seperti itu?” tanyaku dengan kedua alis yang hampir menyatu. Rasanya tidak mungkin ayahku membuang aku begitu saja. Aku sangat mengenalnya dan ia adalah pria pertama yang aku kenal dengan baik selama hidupku. Ethan terdiam seraya menutup mulutnya dengan salah satu tangannya seolah ia baru saja mengatakan sesuatu yang salah. “Lupakan!” Aku mengerutkan keningku dan melihat Ethan dengan tatapan menyelidik. Aku berpikir jika Ethan sedang menyembunyikan sesuatu dariku. *** Pemakaman mommy sudah selesai beberapa jam yang lalu. Aku kembali pulang dengan perasaan hampa. Aku hanya duduk sendirian dengan air mata yang memerah karena habis menangis. Ethan hanya menyuruh orang lain untuk mengantarku pulang. Aku tidak tahu, Ethan pergi kemana karena sampai sekarang pun aku belum melihat batang hidungnya. A