Share

2. Risiko berurusan dengan Aiden Cristover.

Entah sudah hari yang ke berapa Irene akhirnya terbangun dari pingsan nya. Sekarang emerlad nya menelisik dimana ia berada sekarang.

Namun nihil. Hanya ada sepetak kamar tanpa ranjang dan tempat tidur yang beralaskan tikar dengan bantal.

Mengabaikan itu semua, ia mendengar suara pintu yang terbuka membuat nya menjadi posisi siaga sekarang.

Irene menyengitkan dahi nya kala melihat beberapa pria yang tengah berdiri di hadapan nya dengan wajah yang cukup mengerikan.

"Tenanglah gadis kecil, sebentar lagi pasti pangeran mu itu akan datang"

"Siapa? Dan apa yang kalian lakukan padaku?" Jujur saja Irene panik karena melihat darah yang keluar dari kaki kanan, kepala hingga ke pipi dan di lengan atas nya.

"Oh, apa kau terkejut melihat luka itu? Sebenarnya kami hanya menggores sedikit saja supaya kau cepat bangun. Dan lihat cara itu berhasil bukan?" Sungguh mendengar itu saja membuat gadis ini merasa sangat takut. 

Ia hanya bisa berdoa dan menangis karena darah di lengan nya tak kunjung berhenti. Hingga tak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang cukup tua menghampiri tempat nya.

"Apa benar dia kekasih Aiden?" tanya pria tua itu. "Benar tuan"

"Aku tidak mengenal siapa Aiden, kalian-"

"Jangan berpura-pura berlagak polos dan mencoba membohongi kami!" bentak pria itu sambil menampar pipi kanan Irene.

"Apa mau mu sebenarnya?" lirih gadis ini.

"Mudah saja ... aku hanya ingin perusahaan yang Aiden pimpin menjadi milik ku seutuhnya. Dan untuk itu sepertinya aku membutuhkan mu gadis kecil"

"Aku tidak ada hubungan nya dengan-" Ucapan Irene terpotong karena mendengar suara pintu yang terbuka dengan paksa.

Dan nampaklah seorang pria dengan jas yang sudah berantakan masuk dengan menyeret seorang pria dibawah nya.

"Lepaskan dia!" Suara bariton menggema diruangan kecil itu. Sedangkan orang-orang yang ada disana hanya tersenyum licik kecuali Irene.

"Akhirnya kau datang juga Aiden. Tak ku sangka kau bisa secepat ini merespon panggilan ku hanya demi gadis ini" Tunjuk pria itu pada Irene.

"Aku tidak suka basa-basi. Akan lebih baik kalau kau menuruti apa yang menjadi kemauan ku" Bertolak belakang dengan apa yang Aiden inginkan, justru mereka semua malah tertawa seolah baru saja mendengar sebuah lelucon.

Namun yang nama nya Aiden tak pernah sekalipun bermain dengan ucapan nya. Ia langsung membanting orang yang diseret nya tadi dan mengambil satu benda disaku nya. 

Sontak semua orang disana dikejutkan dengan apa yang Aiden bawa sekarang.

Ya! Sebuah bom. Dengan ukuran sekitar genggaman tangan. Dan dengan bentuk yang bulat berwarna hitam sedikit hijau tua sedang berada digenggaman nya.

"Hei, apa yang akan kau lakukan?" tanya salah satu penjaga dengan panik.

"Aku memiliki sebuah mainan untuk kalian. Bagaimana kalau kita bermain sebentar disini?" balas Aiden dengan santai nya.

"Apa kau gila! Kau akan membunuh semua orang disini, termasuk gadis mu itu," teriak pria tua disebrang sana karena melihat Aiden yang hendak melemparkan bom itu.

"Dia tidak akan melakukan nya ... karena kalau dia melemparkan bom itu, sama saja seperti dia bunuh diri" Tidak terlihat ekspresi panik sedikit pun. Justru sebaliknya, seringai Aiden muncul ketika ada salah satu anak buah musuhnya yang berkata demikian.

"Kau memang benar ... tapi sayangnya aku tidak peduli akan hal itu. Lagi pula tidak masalah kalau gadis itu tiada, aku belum mengatakan dia kekasih ku bukan?" Setelah mengatakan hal itu Aiden langsung menatap Irene yang juga tengah melihat nya.

Sapphire itu hanya memberikan tanda lewat lirikan saja, ia sangat berharap gadis ini mampu mengerti apa yang ingin ia sampaikan.

Tak menjelang lama, tangan nya mulai membuka penutup dari bom itu dan melemparkannya.

"Semua menunduk!" teriak pria tua yang tak lain dan tak bukan adalah pemimpin mereka.

Tidak ada suara ledakan dan hawa panas disekeliling mereka, hanya ada gumpalan asap yang mengitari dan bunyi langkah kaki yang menjauh. Dan tiba-tiba.

Dor!

"Shit, kau penipu," lirih pak tua itu sebelum peluru panas menembus kepala nya. Para anak buah nya juga panik ketika atasan mereka mati dihadapan nya.

"Aku tidak menipu, mungkin kalian saja yang tak cukup pintar untuk memahami arti dari ucapan ku," ujar Aiden.

"Apa maksud mu hah?!" bentak salah satu anak buah disana.

"Bukankah aku tadi bilang bahwa itu adalah mainan. Aku tidak pernah mengatakan kalau bom yang ku bawa itu asli" Karena marah, alhasil dengan gegabah salah satu anak buah tadi menodong Aiden dengan pistol nya.

Namun sayang nya Aiden bisa melihat dengan jelas bagaimana raut ketakutan dan tangan gemetar yang mengiringi tindakan pria dihadapan nya ini.

"Ku sarankan kalau kau tidak bisa menggunakan benda ini, lebih baik tidak usah bermain-main dengan nya. Atau kau akan berakhir seperti ini," ucap Aiden sambil memutar lengan pria itu dan melubangi kepala nya dengan timah panas.

Setelah itu Aiden mengurung sisa nya diruangan itu dan mengunci nya.

Kemudian Irene melihat Aiden sedang menyalurkan selang gas pada lubang kecil yang memang langsung menyambung pada ruangan tempat orang yang menculiknya tadi.

Emerlad nya mengamati pria ini sedang membuka sedikit demi sedikit gas supaya memasuki ruangan kecil itu. "Hentikan, kau bisa membunuh mereka!" Namun itu percuma saja, karena Aiden tak mengindahkan ucapan Irene sama sekali.

Di dalam hati nya sudah dipenuhi amarah yang menggebu-gebu karena mereka berani menculik dan membuat gadis yang ia cintai terluka seperti ini.

Dan pada akhirnya satu percikan api mengakhiri semua permainan hari ini.

**

Dengan segala macam pemaksaan akhirnya Irene bersedia diantar pulang oleh Aiden. Namun selama diperjalanan hanya keheningan yang tercipta diantara mereka.

"Terima kasih karena sudah menyelamatkanku Tuan," ujar Irene sambil mengamati wajah Aiden yang masih fokus ke jalanan.

"Hn" Irene hanya tersenyum tipis ketika mendengar jawaban dari pria disamping nya ini.

Sesampainya di tempat tujuan bukan nya pulang Aiden malah masuk ke dalam rumah tanpa permisi dan langsung duduk disofa ruang tamu.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Irene karena bingung melihat tingkah dari pria dihadapan nya ini.

"Duduk"

"Aku tau, tapi ini sudah malam, tidak baik kalau-"

"Aku tidak peduli," ucap Aiden dengan cepat.

"Tapi tuan-" Lagi dan lagi ucapan Irene tiba-tiba terpotong oleh perkataan Aiden.

"Tutup pintu nya dan kemarilah. Ada hal yang ingin ku bicarakan dengan mu!" ujar Aiden dengan tegas.

Entah mengapa, ingin sekali Irene menolak semua perintah dari pria dihadapan nya ini. Namun rasanya semua penolakan itu tertahan di tenggorokan kala melihat sifat dingin dan mata biru yang selalu menatap tajam walau sedang berbicara.

"Mulai besok kau akan menjadi kekasih ku," ujar nya dengan santai.

"Apa?!" Jujur saja tak hanya Irene, Aiden pun juga terkejut ketika melihat reaksi dari gadis ini.

Bagaimana tidak? Tak pernah sekalipun Aiden mendapat penolakan dari wanita disekitarnya, apalagi saat ia mengatakan hal seperti itu justru semua wanita akan langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang.

Dan untuk Irene, ia cukup terkejut sekaligus bingung bagaimana pria yang bahkan baru bertemu dengan nya 2 kali bisa mengatakan hal seperti ini dengan cepat dan santai.

"Aku tidak mau," lirih Irene.

"Kenapa?"

"Ah itu ... kita baru bertemu 2 kali bagaimana bisa kau langsung mengatakan hal seperti ini? Dan apa alasan mu untuk itu?" 

"Aku tidak tau. Aku hanya ingin kau menjadi miliku, dan aku tidak akan menerima penolakan!"

"Kau tidak bisa memaksa ku Tuan"

"Tentu aku bisa"

"Bagaimana kalau aku berkata tidak" 

"Maka aku akan menghamili mu sekarang juga," ujar Aiden sambil bangun dari duduk nya, dan menghampiri Irene yang terdiam mendengar ucapan dari Aiden.

Dengan cepat Aiden mendorong gadis ini hingga ke dinding, dan mengurungnya dengan kedua tangan.

"Aku tidak pernah bermain-main dengan ucapan ku. Tentukan pilihan mu sekarang nona," bisik Aiden tepat disamping telinga kanan Irene. 

**

To be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status