Part 1
[Ris, suamimu pulang kapan? Tadi aku lihat suamimu di mall, tapi dia makan siang bareng seorang wanita dan anak kecil]Keningku mengernyit membaca pesan dari Mitha, sahabatku. Tak lama, Mitha mengirimkan gambar.Deg! Jantungku mulai berdegup kencang. Aku memandang foto itu, benar, itu Mas Ramdan bersama seorang wanita dan anak kecil, entah siapa itu, aku tak mengenalnya.Beragam pertanyaan muncul dalam pikiran. Sejak kapan Mas Ramdan ada di kota ini, bahkan dia belum pulang ke rumah. Lalu siapa perempuan itu? Mereka tampak akrab, kalau tak mengenalnya pasti disangka keluarga kecil yang bahagia.[Tadi mau kutegur, tapi gak sempat. Anakku rewel minta pulang] pesan dari Mitha lagi.Aku menghirup udara dalam-dalam, perasaan di hati sudah tak karuan. Ada rasa panas dan perih sekaligus datang menyelinap. Segala pikiran negatif mulai hinggap. Kenapa Mas Ramdan merahasiakan kepulangannya? Padahal sekian lama aku menantikan kehadirannya. Sudah tujuh bulan ini dia gak pulang, kami berkomunikasi hanya via hp.[Aku gak tahu kalau Mas Ramdan ada di kota ini, Mit. Dia belum pulang ke rumah] balasku yang mungkin akan mengejutkannya.[Lho, kamu malah belum tahu suamimu ada di sini? Ya ampun Ris, tau gitu tadi aku samperin dia][Tidak apa-apa, Mit, nanti biar kutelpon suamiku. Kabari saja ya kalau nanti kamu ketemu atau lihat dia lagi.]Kembali, kuhela nafas yang terasa begitu sesak. Mencari nomor Mas Ramdan di daftar kontak dan memanggilnya. Panggilan terhubung tapi tak diangkat. Sibukkah dia? Berkali-kali kuhubungi nomornya tanpa ada respon, justru sekarang nomornya tidak aktif.Aku memijat pelipis pelan, kepala terasa pening. Kecurigaan mulai menguat. Sepuluh tahun rasa percaya yang kubangun untuknya, haruskah hancur?***[Sayang, maaf, kemarin Mas ada meeting sampai malam. Eh, hp lowbat gak bawa charger. Sampai di rumah dinas, udah tengah malam. Mau hubungi kamu takutnya kamu sudah tidur.]Aku membaca pesan WA-nya tapi tak membalas. Entah kenapa, hati rasanya begitu berat mempercayainya.[Sayang, kamu marah ya?]Tetiba ponselku bergetar, sebuah panggilan darinya. Aku membiarkan panggilan itu sampai berakhir, tanpa menjawabnya.Mas Ramdan kembali menghubungiku, hingga beberapa kali. Terpaksa aku menjawab panggilannya."Hallo, sayang. Mas tahu kamu pasti marah sama mas karena kemarin mas tidak meresponmu. Mas minta maaf ya, Sayang," rayunya diujung telepon.Aku masih diam."Sayang? Risna? Kamu masih di sana kan? Kenapa diam saja?""Tidak apa-apa.""Kamu sakit? Kenapa suaramu lemas sekali?""Aku tidak apa-apa, Mas.""Bener?""Iya.""Sayang, maafin mas ya, mas gak selalu bisa on saat kamu menghubungi. Kerjaan padat banget, hari ini ada meeting lagi. Tolong mengerti ya, Sayang. Insyaallah, nanti sebulan lagi Mas pulang ke rumah.""Hmmm ...""Jaga dirimu baik-baik, Risna. Mas rindu sekali padamu, tapi apa daya jarak yang memisahkan kita. Oh ya, Sayang, kalau kamu butuh uang, kabari Mas ya. Yang minggu lalu mas transfer masih cukup kan?"Entah kenapa hatiku rasanya perih sekali. Mas, andai kamu tahu aku bukan hanya butuh uangmu, tapi juga perhatianmu."Sebentar lagi Mas masuk kantor, udah ya, Sayang. Nanti mas hubungi kamu lagi. Assalamu'alaikum, Sayang, mmuaach."Aku menghela nafas dalam dan meletakkan ponsel itu. Aku menggeleng pelan. Tidak, aku tidak bisa berdiam diri seperti ini. Aku harus mencari tahu.Gegas aku memeriksa lemari Mas Ramdan, dulu, ia pernah meninggalkan salah satu dokumennya dalam lembar kertas itu, tertera alamat kantornya yang baru. Selama 10 tahun LDR, Mas Ramdan sudah 3x ganti pekerjaan. Dan aku hanya dibawa beberapa kali mengunjungi kantornya yang lama. Tapi sekarang, dia sudah pindah pekerjaan baru, dua tahun yang lalu. Hanya saja, aku belum diajak kesana lagi. Sebab kesibukanku terakhir kali merawat ibu mertua yang sakit-sakitan.Sekarang, aku harus memastikannya sendiri untuk datang kesana. Ada apa dengan suamiku? Selama ini aku percaya padanya 100%, ia bilang tinggal di rumah dinas dan difasilitasi inventaris mobil untuk transportasinya.Aku mempersiapkan diri untuk menyusulnya. Pakaian dan beberapa perlengkapan lain sudah kumasukkan ke dalam koper. Tiket kereta api pun sudah dipesan lewat online. Bismillah, berangkat.***Tujuh jam perjalanan, akhirnya sampai juga di kota tujuan. Keluar dari stasiun KA, aku mencari gocar untuk sampai di kantor Mas Ramdan. Aku sudah mencari tahu hal ini semalaman."Maaf ibu, cari siapa?" tanya seorang security yang menyambutku di pintu gerbang kantor.Aku pun menanyakan hal mengenai suamiku, Ramdan Adhiwinata."Pak Ramdan sedang cuti, Bu. Beliau ambil cuti tiga hari buat pulang kampung. Mungkin besok beliau berangkat lagi ke kantor. Kalau boleh tahu, ibu ini siapa ya? Ada keperluan apa?""Saya istrinya, Pak."Kulihat security itupun terkejut mendengar jawabanku. Ia pun menjelaskan kalau Mas Ramdan tiap bulan pulang ke kampung, mengambil izin atau cuti. Aku shock mendengar penuturannya. Pulang kampung?Ada hal yang membuatku lebih shock lagi, bahwa kantornya tidak menyediakan rumah dinas. Jadi dimana dia tinggal selama ini?Tetiba seorang lelaki datang menghampiri pos security. Ia sempat menatapku penuh tanya. Usai mengetahui persoalannya, ia pun bertanya padaku."Mbak ini istrinya Pak Ramdan?"Aku mengangguk. "Iya, Pak, bapak tahu dimana tempat tinggal suami saya?"Dia menatapku sejenak, saling berpandangan dengan security. Entah ada apa, sepertinya mencurigakan. Akhirnya, ia pun memberi tahu alamat tinggal suamiku. Aku hanya menatap selembar kertas kecil itu, sungguh aku tak tahu daerah ini."Kalau mbaknya berkenan, nanti saya antar ke rumah kontrakannya. Tapi selesai saya pulang kerja, satu jam-an lagi saya selesai.""Apa tidak merepotkan?" tanyaku lagi."Tidak kok, alamat rumah saya searah dengannya," ujarnya lagi.Aku terdiam sejenak."Tenang saja, Mbak gak usah khawatir, aku akan membantu Mbak, kasihan kan jauh-jauh dari desa datang kesini buat cari suami yang gak pulang-pulang."Akhirnya akupun mengangguk.Selang satu jam, pria yang bernama Awan itu menepati janjinya, mengantarku ke rumah Mas Ramdan. Aku naik ke mobilnya yang berwarna silver.Mobil mulai berbelok ke area perumahan, dan berhenti setelah masuk 20 meter jalan raya. "Disini tempat tinggal Pak Ramdan," ujarnya.Kami berdua turun, di halaman sudah ada mobil yang biasa Mas Ramdan bawa pulang kampung, rupanya dia sudah kembali. Kami mendekat ke arah pintu.Awan mengetuk beberapa kali. Tak berapa lama pintu mengayun terbuka. Dadaku berdegup dengan kencang kala seorang wanita yan membukanya. Wanita yang ada dalam foto kemarin!"Cari siapa?" tanyanya dengan senyuman manis."Sayang, siapa yang dateng?" Terdengar suara Mas Ramdan dari dalam. Dia memanggil wanita ini dengan panggilan sayang?Dadaku makin berdebar makin kencang kala melihat suamiku mendekat seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.Ia pun tampak shock saat tatapannya melihatku. "Ri-Ri-Risna? Kau kesini?" tanyanya gelagapan.Aku melangkah mendekat, seketika wajahnya menjadi pias.Plaakk!Entah dapat dorongan dari mana kulayangkan tamparan pada pipi Mas Ramdan.Jangan dibayangkan rasanya, perih sekali.Part 2Plaakk! Entah dapat dorongan dari mana kulayangkan tamparan pada pipi Mas Ramdan. Jangan dibayangkan rasanya, perih sekali. Hatiku."Hei, siapa kau datang-datang menampar suamiku?!" Wanita yang tadi beramah-tamah langsung berdiri di samping Mas Ramdan. Tatapannya memindai diriku. Begitu pula denganku. Shock, tentu saja.Suami katanya? Apa tadi aku tidak salah dengar? Untuk beberapa saat aku tak bisa berpikir apapun. Hingga ia mendorong pundakku, aku terhuyung ke belakang, untung saja tak sampai terjatuh."Kamu siapa? Berani sekali menampar suamiku?" tanyanya lagi, kini dengan nada lebih sinis. Matanya menatap tajam. Jadi diam-diam, Mas Ramdan menikah lagi? Dan selama ini aku dibohongi?Aku tersenyum masam, perih rasanya hati ini.Plaakk! Segera kutampar perempuan yang entah siapa namanya. Dia mengerang pelan seraya memegangi pipi."Kurang ajar kau!!" teriaknya. Wanita itu bersiap menyerangku, untung saja Awan menghalanginya. Dia berdiri di depanku. Sementara Mas Ramdan mena
Part 3Jangan pernah mengecewakan orang yang menyayangi kamu, karena suatu hari nanti, bisa jadi kamu yang di kecewakan orang lain.***"Hei, wanita kampung! Apa kau tidak tahu salahmu itu apa? Kau itu tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Ramdan! Lelaki mana yang tahan hidup berumah tangga tanpa kehadiran anak!" Deg! Hatiku terasa pilu. Ia langsung menghujam titik lemahku. Ya, benar. Sudah 10 tahun lebih bersama Mas Ramdan, aku tak kunjung hamil. Aku belum bisa memberikannya keturunan. Kehadiran seorang anak yang teramat kurindukan. Tentu, aku sudah cek perihal kesuburanku, hasilnya tak ada masalah. Bahkan minum jamu pun kulakoni sesuai arahan beberapa tetangga yang sudah berpengalaman. Tapi nihil, apa mau dikata, takdir belum bisa membawaku jadi wanita seutuhnya. "Sudah paham sekarang, wanita kampung?!""Alyaaa, cukupp!! Masuk ke dalam!" bentak Mas Ramdan. Kulihat wanita itu bersungut kesal seraya menghentakkan kakinya ke dalam.Aku masih mematung memperhatikan mereka berdua
Part 4Kalau tidak ingin tersakiti, jangan menyakiti. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia yang akan menuai. Siapa yang menggali lubang, dia sendiri yang akan terjatuh.*** Mas Dewangga ... dia pulang ke rumah?Panggilan dari Mbak Jumiroh terputus begitu saja karena sinyal di kampung memang agak susah."Siapa yang telepon? Ibu kenapa?" tanya Mas Ramdan. "Kita disuruh pulang sama ibu.""Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama ibu? Kamu sih, kenapa ninggalin ibu sama orang lain? Ibu itu cocoknya dirawat sama kamu. Tuh lihat sendiri kan, belum satu hari kamu di sini, udah terjadi sesuatu pada ibu?!"Aku memutar bola mata menatap tajam ke arah lelaki yang bergelar suami. Dia menyalahkanku?! Egois sekali kau, Ramdaaan! Lelaki yang ada di hadapanku ini rasanya sudah tak pantas kuhormati lagi."Kamu menyalahkanku?! Tidak sadar diri di sini siapa yang salah?! Berbulan-bulan kamu gak pulang, Mas! Bahkan ibu selalu menanyakan kabarmu! Tapi kau selalu saja sibuk, selalu saja menghindar? Terny
Part 5Namanya Alya Nadira, seorang wanita cantik yang mampu menggetarkan hatiku. Sekian lama hatiku sepi dan gersang akibat hubungan jarak jauh dengan istri, kini dipenuhi warna kembali. Dipenuhi warna akan kehadirannya yang ceria, lembut dan menggoda. Ya, itu kesan pertama yang kudapatkan dari Alya.Aku tahu, datangnya cinta ini memang salah, karena aku masih punya Risna yang tinggal di kampung. Dia di sana merawat ibuku yang sakit. Tak ada yang setelaten dan sesayang itu pada ibu, selain istriku. Tentu, sudah kucoba mencarikan perawat untuk ibu, tapi tetap tak ada yang betah kerja. Satu hari paling lama satu minggu perawat itu mengundurkan diri. Entah apa masalahnya, aku tak tahu. Hingga kubiarkan Risna yang merawat ibu sampai sekarang.Namun terkadang, cinta memang tak ada logika. Ia datang kapan saja dan pada siapa saja semau hati tanpa bisa kucegah dan kurencanakan. Ia datang tanpa permisi mengetuk hati yang mulai terasa sepi.Terbilang singkat pertemuanku dengan Alya, janda den
Part 6Risna benar-benar berubah perangainya. Dia bahkan berani menamparku dan juga menampar Alya. Ah wanita itu, wanita yang paling kusuka dengan kelemah-lembutannya, kini ia justru berani melawan.Aku tak habis pikir kenapa Alya sampai nekat menyusulku kemari, padahal ia tak tahu jalannya. Dan Awan ... kenapa harus bertemu dengan pria itu! Bisa repot berurusan dengannya!Seketika kepalaku terasa begitu pening. Risna benar-benar tak mau berdamai. Setelah perdebatanku dengan Risna tak mencapai titik sepakat, hingga akhirnya panggilan dari Mas Dewangga yang membuat kami harus pulang bersama.Ya, bila lelaki itu ikut campur, berarti ada masalah penting yang akan dibicarakan.Mas Dewangga, ia adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Aku paling segan padanya karena dia lah yang menopang hidup kami setelah bapak tiada. Lebih tepatnya sejak usiaku masih remaja, 15 tahun. Umurku dengan Mas Dewangga terpaut 5 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pengganti bapak. Karena ia begitu tanggung jawa
Part 7Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku.[Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!]Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat. Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas. Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat. [Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?] Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca.[Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput k
Part 8Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.***"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu. Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.Terdengar suara lirih ibu dari kamar
Part 9Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.***Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan. Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di dada ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali. Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri. Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.Tidak, Risna, kau tidak boleh menan