Part 5
Namanya Alya Nadira, seorang wanita cantik yang mampu menggetarkan hatiku. Sekian lama hatiku sepi dan gersang akibat hubungan jarak jauh dengan istri, kini dipenuhi warna kembali. Dipenuhi warna akan kehadirannya yang ceria, lembut dan menggoda. Ya, itu kesan pertama yang kudapatkan dari Alya.Aku tahu, datangnya cinta ini memang salah, karena aku masih punya Risna yang tinggal di kampung. Dia di sana merawat ibuku yang sakit. Tak ada yang setelaten dan sesayang itu pada ibu, selain istriku. Tentu, sudah kucoba mencarikan perawat untuk ibu, tapi tetap tak ada yang betah kerja. Satu hari paling lama satu minggu perawat itu mengundurkan diri. Entah apa masalahnya, aku tak tahu. Hingga kubiarkan Risna yang merawat ibu sampai sekarang.Namun terkadang, cinta memang tak ada logika. Ia datang kapan saja dan pada siapa saja semau hati tanpa bisa kucegah dan kurencanakan. Ia datang tanpa permisi mengetuk hati yang mulai terasa sepi.Terbilang singkat pertemuanku dengan Alya, janda dengan satu anak hingga sampai aku berani menikahinya. Menikah siri dengannya, dengan bawaan satu anaknya dari pernikahan yang terdahulu. Tentu, aku menerimanya dan putranya yang masih berumur empat tahunan. Mendengar ceritanya yang begitu pilu membuat hatiku bergetar. Berawal dari rasa kasihan lama-lama menjadi sebuah getaran cinta.Alya dicampakkan oleh mantan suaminya saat ia hamil besar. Dan sampai sekarang ia banting tulang menghidupi anaknya juga orang tuanya di kampung. Sendirian, di kota metropolitan ini. Aku jadi kagum dengan tekadnya yang sekuat baja.Tujuh bulan yang lalu ...Saat itu aku hendak pulang ke kampung halaman, agenda rutin menemui istri dan ibuku. Melepas rindu pada mereka. Hanya tiga hari paling lama lima hari aku di rumah, jadi sekuat yang kubisa aku membahagiakan istri dan ibuku. Ya, sudah hampir 10 tahun pernikahanku dengan Risna, tapi tak kunjung diberi amanah seorang anak untuk pelengkap hidup.Ketika aku asyik melihat handphone sambil menyetir mobil, tetiba seorang anak kecil melintas begitu saja. Aku mengerem mendadak, tapi kecelakaan itu tak bisa terhindar. Anak itu tergeletak di jalan. Seorang wanita berlari mengejarnya dan menangis kala mendapati putranya tergeletak di depan mobilku.Aku langsung turun dari mobil dan menghampiri mereka berdua. Tampak sekali wajah wanita muda itu bahwa dia begitu panik dan cemas, apalagi melihat darah yang menetea di kaki sang anak."Mbak, mari saya antar ke Rumah Sakit, saya akan bertanggung jawab membiayai pengobatan anak ini," ujarku penuh penyesalan. Meskipun anak itu pun bersalah karena tiba-tiba saja muncul berlari ke jalan, pasti karena keteledoran orang tuanya. Untung saja, jalanan kompleks tidak sedang ramai.Dia memandangku dengan tatapan tajam. "Dia hartaku satu-satunya, kalau ada apa-apa aku akan menuntut kamu!" tukas wanita itu berani."Iya saya salah. Tapi mbak juga salah teledor mengawasi anak sendiri!"Wanita itu mendengus."Ayo kita ke rumah sakit, kita selesaikan masalah ini baik-baik, aku akan menanggung biaya pengobatannya."Kubukakan mobil untuknya yang tengah menggendong si kecil yang tak sadarkan diri."Hendra, bertahanlah, sayang, ini Mama."Kupacu kendaraan roda empat ini dengan kecepatan kencang hingga sampai di Rumah Sakit terdekat. Anak kecil yang bernama Hendra itu langsung dibawa ke UGD. Aku jadi merasa bersalah dan kasihan padanya. Apalagi saat melihat wanita itu berjalan mondar-mandir karena rasa cemas."Mbak, kenapa gak hubungi suami mbak untuk datang kesini?"Wanita itu menoleh ke arahku. "Mas sedang mengejek saya?""Hah, maksudnya?""Saya ini single Mom, Papanya Hendra meninggalkan kami saat aku hamil besar. Dan sampai sekarang tak ada kabar apapun darinya. Semua kulakukan sendiriran. Makanya kalau sampai Hendra kenapa-napa, aku kehilangan semuanya. Cuma dia penyemangat hidupnya di sini." Wanita itu tiba-tiba menangis sesenggukkan seolah tak sanggup menahan beban hidupnya. Kasihan sekali.Mendengar cerita dari wanita itu, aku terenyuh, perasaan bersalah meliputi hati. Dari obrolan itulah aku berkenalan dan bercerita tentang pekerjaan serta kehidupan kami masing-masing."Jadi mas ini LDR-an sama istri? Ya allah, kuat banget. Kalau aku yang jadi istri Mas, pasti aku akan ikut kemanapun pergi, melayani kebutuhan suami sebaik mungkin."Aku tercenung mendengar ucapan Alya."Maaf ya Mas, bukannya mau ikut campur, tapi godaan LDR itu banyak, suami setia bisa saja istri di kampung main hati sampai diajak ke kota gak mau."Aku tersenyum menanggapinya. Terpaksa karena ada insiden ini aku membatalkan kepulanganku ke kampung halaman. Bersyukur karena Hendra, tak mengalami luka serius, hanya luka kecil dan trauma. Aku membayar semua biaya perawatannya. Anak itu senang sekali bahkan sangat lucu.Sejak itulah kami saling bertukar komunikasi. Ngobrol dan berbincang dengan Alya sangat nyambung. Rupanya tempat tinggalnya tak jauh dari kompleks perumahan yang kutinggali. Bahkan sekarang tiap minggu aku berkunjung melihat perkembangan Hendra. Mereka hanya tinggal berdua. Kalau ibunya bekerja, Hendra dititipkan ke daycare. Tiap bulan juga ia pulang. Entah suatu kebetulan atau apa, ternyata rumah orang tuanya masih satu kota kecil dimana istri dan ibuku tinggal.Hari demi hari kami terus berkomunikasi, chat bahkan melakukan panggilan video, hingga kami benar-benar dekat. Bulan berikutnya kami sampai janjian untuk pulang kampung bersama. Aku mengantar Alya sampai di rumah ortunya. Mereka menyambut dengan hangat. Aku sampai batal lagi untuk pulang ke rumah.Entah kenapa perasaan cintaku pada Alya makin menggebu, rupanya gayungpun bersambut. Saat aku menyatakan cinta, ia pun menerimanya, meski sudah tahu kalau aku punya istri. Aku memastikan kalau istriku takkan tahu mengenai hubungan itu."Aku mencintaimu, Alya, apa kamu bersedia menikah denganku?""Iya, Mas, aku juga cinta sama kamu.""Tapi apa kau setuju kita hanya nikah siri saja? Apa kau tidak apa-apa kamu jadi istri keduaku? Aku janji akan bersikap adil, aku juga akan menanggung semua kebutuhan Hendra dan juga pendidikannya.""Iya, aku mau, Mas. Aku tahu kamu itu lelaki yang bertanggung jawab.""Kalau begitu nanti kita pulang, minta restu sama ortumu."Bulan berikutnya kami pulang kampung bersama lagi. Meminta izin restu untuk menikahi Alya, tapi hanya nikah siri. Untunglah orang tuanya setuju saja, asalkan tiap bulan aku menjatah uang bulanan untuk mereka. Aku tak keberatan toh, gajiku tinggi. Uang gaji yang kutransfer untuk Risna tak ada separuh dari gajiku. Itupun digabung dengan uang untuk pengobatan ibu.Akhirnya, aku sah juga menikah dengan Alya Nadira, wanita berparas cantik yang membuat hatiku jatuh cinta. Akupun menjadi suami seutuhnya, kupinta agar Alya berhenti bekerja dan tinggal serumah denganķu. Kami mencecap manisnya pengantin baru hampir tiap malam. Setiap sebulan sekali, agenda rutin pulang kampung tetap diadakan, tapi bukan pulang ke rumah ibu dan istriku, melainkan pulang ke rumah mertua. Jalan-jalan di satu-satunya Mall yang ada di kota kelahiran, main ke wahana bermain dan bersenang-senang. Ya, benar, aku sangat bahagia bersamanya.Ternyata tak butuh waktu lama setelah menikah, ada kabar baik bahwa Alya hamil. Hamil anakku. Rasanya begitu bahagia saat aku akan jadi seorang ayah. Aku jadi makin menyayanginya dan juga anak smabungku.Tapi tiba-tiba hari ini, hal yang tak pernah terpikirkan olehku terjadi. Aku shock, benar-benar shock.Risna, istriku datang ke rumah, dan semua rahasia yang kututupi rapat-rapat kini terbongkar. Aku tak mampu berkata-kata dan melihat manik matanya yang terluka. Ah, maafkan aku, Risna.Part 6Risna benar-benar berubah perangainya. Dia bahkan berani menamparku dan juga menampar Alya. Ah wanita itu, wanita yang paling kusuka dengan kelemah-lembutannya, kini ia justru berani melawan.Aku tak habis pikir kenapa Alya sampai nekat menyusulku kemari, padahal ia tak tahu jalannya. Dan Awan ... kenapa harus bertemu dengan pria itu! Bisa repot berurusan dengannya!Seketika kepalaku terasa begitu pening. Risna benar-benar tak mau berdamai. Setelah perdebatanku dengan Risna tak mencapai titik sepakat, hingga akhirnya panggilan dari Mas Dewangga yang membuat kami harus pulang bersama.Ya, bila lelaki itu ikut campur, berarti ada masalah penting yang akan dibicarakan.Mas Dewangga, ia adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Aku paling segan padanya karena dia lah yang menopang hidup kami setelah bapak tiada. Lebih tepatnya sejak usiaku masih remaja, 15 tahun. Umurku dengan Mas Dewangga terpaut 5 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pengganti bapak. Karena ia begitu tanggung jawa
Part 7Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku.[Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!]Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat. Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas. Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat. [Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?] Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca.[Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput k
Part 8Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.***"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu. Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.Terdengar suara lirih ibu dari kamar
Part 9Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.***Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan. Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di dada ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali. Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri. Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.Tidak, Risna, kau tidak boleh menan
Part 10Aku shock benar-benar tak percaya. Kenapa ibu bisa mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dulu dengan anak-anaknya. Bahkan, aku tak pernah tahu kalau Mas Dewangga membeli sawah di daerah ini. Sejak kapan? Pantas saja seberapapun kukirimkan uang untuk Risna, dia tak pernah mengeluh kekurangan. "Mas, kenapa ibu memutuskan ini semua? Pasti Risna sudah membujuk ibu dan menyuruh ibu agar menyerahkan semua ini padanya kan?"Mas Dewangga menatapku tajam. "Risna bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini? Lalu, kenapa kamu merasa terganggu sekali, padahal dia itu istrimu? Apa kamu berniat berpisah darinya?""Aku yang seharusnya tanya sama kamu, Mas, kenapa kamu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Bahkan terkesan membela Risna. Apa kau jatuh cinta pada istriku?" Kali ini aku tak mau kalah dengan Mas Dewangga. Biarpun dia kakakku, tapi kenapa seenaknya sendiri turut campur masalah rumah tanggaku."Pikiran macam apa yang ada di otakmu, Ramdan?! Kamu berubah, tak seperti dulu l
Part 11 "Mereka bilang keluargamu." "Hah, keluargaku? Itu tidak mungkin, Al!"Ya, Ramdan sangat yakin mana mungkin kakaknya, Dewangga dan sang ibu datang ke kota. Sangat kecil kemungkinannya. 'Jangan-jangan Alya hanya mengada-ada saja?' rutuk pria itu sendiri."Aku ngomong beneran, Mas. Tolong pulang, dulu sekarang, perasaanku kacau banget hari ini!" seru Alya sembari menangis."Ya, ya, baiklah, aku akan coba izin pulang dulu. Kau tenang ya."Belum sempat istirahat makan siang, gegas Ramdan turun ke bawah."Tunggu, Pak Ramdan!" panggil seseorang. Ramdan menoleh, rupanya Puspita, sekretaris Pak Reyhan yang memanggilnya. Di samping Reyhan, ada juga seorang pria paruh baya , dia adalah Pak Hadiwilaga, pemilik perusahaan ini.Ramdan berjalan menghampiri mereka. "Ya, Pak?""Begini, nanti setelah jam makan ada meeting dadakan dengan seluruh staff dan pimpinan, saya harap Anda tidak bolos maupun telat lagi ya," ujar pria muda itu."Baik, Pak."Terpaksa Ramdan mengurungkan langkahnya kelu
Part 12Awan memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Sekarang Mbak Risna tinggal dimana?""Di hotel Matahari. Tapi nanti saya mau cari kontrakan aja supaya lebih hemat. Sepertinya saya akan lebih lama berada di sini.""Tunggu sebentar."Lelaki di hadapanku ini meraih tas kerjanya, lalu mengambil sebuah kunci."Ini kunci rumah saya, Mbak pulang dulu ke rumah saya, nanti sore setelah pulang kerja, kita bicarakan hal ini lagi. Sekaligus saya akan bantu Mbak Risna untuk mencari kontrakan baru.""Tapi--""Mau dibantu atau tidak?"Aku mengangguk meski agak ragu. Tapi mau minta bantuan siapa lagi, aku tak mengenal siapapun di sini."Benarkah? Apa tidak merepotkan? Takutnya nanti dikira--""Tidak merepotkan. Kamu bisa istirahat dulu di rumahku. Di rumah juga ada makanan, kalau mau makan tinggal ambil saja, tidak usah sungkan.""Terima kasih, Mas."Aku mengangguk lagi. Terpaksa aku menerima uluran bantuan lelaki itu, hanya dia sekarang yang kini berada di pihakku. Walau kutahu, pasti ada im
Part 12BRisna masih menyimak ucapan Awan."Oke, tunggu sebentar. Kukirimkan fotonya ke nomor wa kamu ya.""Ya ampun, Mas, kenapa gak bilang dari tadi pagi, aku kan gak perlu datang ke sini kalau memang bukti perselingkuhannya ada di hp. Kamu kan bisa langsung kirim lewat WA."Awan justru tertawa lagi. Ah dasar aneh lelaki ini! Aku merasa dikerjai olehnya. "Ini gak lucu, Mas. Kamu niat membantu apa mengerjaiku?""Sorry, sorry. Maaf ya Ris. Ehemm! Kita gak usah bicara formal ya, anggap aja kita sudah temenan."Aku mendengus kesal. "Maaf Ris, bukan bermaksud untuk mengerjaimu. Tapi, aku cuma ingin lihat sampai mana usahamu untuk menuntut keadilan. Haha."Aku masih cemberut. Apalagi Awan terus saja tertawa. "Nanti aku kirim ya, foto-foto suamimu bersama dengan wanita. Maaf sebelumnya, Risna, sebenarnya Alya bukan satu-satunya wanita yang dia pacari.""Apa maksudmu, Mas Awan?" tanyaku ingin tahu."Sebelum dia menikah diam-diam dengan Alya, suamimu, Ramdan pernah beberapakali dekat deng