Part 4
Kalau tidak ingin tersakiti, jangan menyakiti. Hidup itu tabur tuai, siapa yang menanam dia yang akan menuai. Siapa yang menggali lubang, dia sendiri yang akan terjatuh.***Mas Dewangga ... dia pulang ke rumah?Panggilan dari Mbak Jumiroh terputus begitu saja karena sinyal di kampung memang agak susah."Siapa yang telepon? Ibu kenapa?" tanya Mas Ramdan."Kita disuruh pulang sama ibu.""Kenapa? Apa terjadi sesuatu sama ibu? Kamu sih, kenapa ninggalin ibu sama orang lain? Ibu itu cocoknya dirawat sama kamu. Tuh lihat sendiri kan, belum satu hari kamu di sini, udah terjadi sesuatu pada ibu?!"Aku memutar bola mata menatap tajam ke arah lelaki yang bergelar suami. Dia menyalahkanku?! Egois sekali kau, Ramdaaan! Lelaki yang ada di hadapanku ini rasanya sudah tak pantas kuhormati lagi."Kamu menyalahkanku?! Tidak sadar diri di sini siapa yang salah?! Berbulan-bulan kamu gak pulang, Mas! Bahkan ibu selalu menanyakan kabarmu! Tapi kau selalu saja sibuk, selalu saja menghindar? Ternyata ini alasannya? Kau senang-senang dengan istri barumu!"Mas Ramdan mengacak rambutnya dengan kesal. "Aku sudah bilang, aku minta maaf, Risna. Semua ini kulakukan karena aku butuh--""Aku tahu, kau butuh pelampiasan nafsu!""Ehemm!! Mohon maaf Pak, Bu, kalian jangan berdebat lagi. Mari kita bicarakan baik-baik di rumah saya, jangan kedepankan emosi, kita harus berdiskusi dengan kepala dingin. Saya mohon ya, Pak, Bu, ketentraman lingkungan ini adalah tanggung jawab saya, saya tidak mau terjadi sesuatu di sini," ujar Pak RT menengahi.Aku menghela nafas panjang. Emosi di dalam dada masih saja terus berkobar. Sungguh aku tak sanggup kalau diinjak-injak seperti ini. Bisa dibayangkan sendiri, aku yang setia dia yang mendua. Kepercayaan dan janji-janji manisnya hanya membuatku kecewa.Kini kami berdua sudah duduk di ruang tamu rumah Pak RT.Aku duduk sembari menunduk. Sungguh, hancur sekali hatiku saat ini. Sampai aku tak bisa berpikir dengan jernih. Apa yang harus kulakukan sekarang? Biarpun meluapkan emosi tetap tak mengubah keadaan.Sepanjang obrolan Mas Ramdan dan Pak RT, aku diam, menyimak ucapan lelaki itu yang terkesan menyalahkanku." ... Selayaknya laki-laki normal, saya ingin tiap pulang kerja ada istri di rumah, menyiapkan makan, pakaian saya hingga kebutuhan biologis, tapi Risna tidak pernah mau diajak kesini, Pak.""Mas!""Bu Risna, tenang dulu, Bu. Biar saya mendengar alasan Pak Ramdan dulu," tukas Pak RT.Aku menghela nafas dalam-dalam, lalu meminum teh yang disediakan oleh Bu RT. Sedari tadi tenggorokkan ini terasa kering dan dahaga.Mas Ramdan tega sekali memutarbalikkan fakta. Kalau begini akhirnya, aku menyesal menyetujui keputusan awal menikah dulu.Ah sebenarnya, dulu Mas Ramdan pria yang baik. Sebulan sekali dia pulang ke rumah, membawa oleh-oleh dan juga perhatian seperti biasa. Entah kenapa tujuh bulan ini dia justru berubah. Bahkan tega menikah lagi diam-diam tanpa sepengetahuanku."Saya tidak mau menceraikan keduanya, Pak. Baik Risna maupun Alya akan tetap jadi istri saya.""Kenapa begitu, Pak Ramdan?""Bukankah lelaki boleh berpoligami? Saya mencintai Risna sejak dulu, apalagi dia sangat berjasa dalam hidup saya, jadi tak mungkin kalau saya meninggalkan dia. Sementara Alya ..." Lelaki itu menjeda ucapannya dan menghirup udara dalam-dalam. "Saya tidak akan menceraikannya karena dia sedang mengandung anak saya, Pak. Jujur, namanya berumah tangga, saya juga ingin punya keturunan, saya ingin sekali punya anak kandung. Dan itu tidak kudapat dari Risna.""Sebenarnya saya tidak mau ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian berdua. Tapi berhubung tadi ada keributan, saya harus menengahi. Jadi semua keputusan kembali lagi pada kalian. Diskusikan dengan kepala dingin, jangan kedepankan emosi. Insyaallah nanti ketemu jalan keluarnya. Insyaallah nanti ada titik terangnya, tetaplah tenang. Memang, menyatukan dua pikiran itu sangat sulit, berbincanglah dengan keluarga kalian, atau seseorang yang kalian hormati dan segani, mintalah nasihat padanya. Bukan hanya itu, kalian juga perlu merenung, menanyakan pada hati kecil kalian, baiknya seperti apa."Hatiku sedikit lebih tenang mendengar nasehat Pak RT. Beliau benar, aku begitu tersulut emosi hingga tak mampu mengontrol diri.Namun sekarang, aku sudah mendapatkan gambaran, Mas Ramdan tak mungkin melepaskan Alya, maka biar aku saja yang mundur.Ponselku kembali berdering. Panggilan dari Mbak Jumiroh lagi."Hallo, Mbak.""Ini aku," sahut suara lelaki dari seberang telepon. "Tadi aku hubungi nomor Ramdan tapi tidak aktif. Kau sedang bersamanya?""I-iya, Mas.""Berikan telponmu padanya, aku mau bicara."Aku menoleh melihat Mas Ramdan yang sedari tadi menatapku. Kepo mungkin siapa yang bicara denganku saat ini. Kuserahkan panggilan itu padanya."Hallo. Eh, i-iya, Mas." Kudengar nada suaranya berubah gugup, wajahnya pun terlihat pias."Iya, iya, Mas. Baik. Iya."Panggilan itu terputus, Mas Ramdan mengembalikan ponselku."Kenapa kamu tidak bilang kalau Mas Dewangga ada di rumah?" tanya Mas Ramdan."Mana kutahu kalau dia akan pulang hari ini."Mas Ramdan meraup wajahnya dengan kasar dan mendesah pelan. "Aku siap-siap dulu. Kita akan pulang sama-sama. Aku tunggu di depan rumah."Pria itu bangkit berdiri dan berpamitan pulang lebih dulu. Akupun bangkit dan mengucapkan terima kasih pada Pak RT, serta meminta maaf kalau kehadiranku pertama kali justru membuat keributan.Aku berjalan menuju ke rumah tempat tinggal Mas Ramdan yang berjarak lima rumah dari rumah Pak RT."Mbak!" panggil Awan. "Maaf kalau saya lancang. Tapi saya bisa bantuin Mbak untuk membalas perlakuan suamimu yang tidak menyenangkan itu, Mbak."Aku menoleh sejenak. Untuk apa pria yang baru kukenal ini peduli? Memangnya ada masalah apa pria ini dengan suamiku?Ah tidak, aku tak ingin masalahku nantinya bertambah runyam. "Saya punya bukti-bukti foto perselingkuhan suamimu. Siapa tahu mbak membutuhkannya," ucapnya lagi lalu tersenyum.Aku masih terdiam. Tetiba ia menyodorkan selembar kertas padaku. "Ini kartu nama saya, Mbak. Simpan saja barangkali sewaktu-waktu kau membutuhkannya.""Risnaaa!" panggil Mas Ramdan yang tengah berdiri di dekat mobilnya yang berwarna putih.Langkah segera kupercepat dan mengambil koper yang tadi masih ada di bagasi mobil Awan. "Makasih, Mas Awan, atas tumpangannya," ucapku."Ya, saya tunggu kabar baiknya ya, Mbak!" sahut Awan kemudian berlalu melajukan mobilnya dengan pelan.Mas Ramdan menatap mobil yang mulai menjauh lalu menatapku. "Kamu janjian sama dia? Bukannya baru kenal? Baru berapa jam di sini sudah pintar ya menggoda laki-laki.""Kamu ngomong apaan sih, Mas! Selalu saja menuduhku yang tidak benar.""Ah, sudahlah! Ayo masuk ke mobil! Dan ingat ya, Risna sayang, jangan katakan apapun pada ibu maupun Mas Dewangga mengenai masalah kita ini."Part 5Namanya Alya Nadira, seorang wanita cantik yang mampu menggetarkan hatiku. Sekian lama hatiku sepi dan gersang akibat hubungan jarak jauh dengan istri, kini dipenuhi warna kembali. Dipenuhi warna akan kehadirannya yang ceria, lembut dan menggoda. Ya, itu kesan pertama yang kudapatkan dari Alya.Aku tahu, datangnya cinta ini memang salah, karena aku masih punya Risna yang tinggal di kampung. Dia di sana merawat ibuku yang sakit. Tak ada yang setelaten dan sesayang itu pada ibu, selain istriku. Tentu, sudah kucoba mencarikan perawat untuk ibu, tapi tetap tak ada yang betah kerja. Satu hari paling lama satu minggu perawat itu mengundurkan diri. Entah apa masalahnya, aku tak tahu. Hingga kubiarkan Risna yang merawat ibu sampai sekarang.Namun terkadang, cinta memang tak ada logika. Ia datang kapan saja dan pada siapa saja semau hati tanpa bisa kucegah dan kurencanakan. Ia datang tanpa permisi mengetuk hati yang mulai terasa sepi.Terbilang singkat pertemuanku dengan Alya, janda den
Part 6Risna benar-benar berubah perangainya. Dia bahkan berani menamparku dan juga menampar Alya. Ah wanita itu, wanita yang paling kusuka dengan kelemah-lembutannya, kini ia justru berani melawan.Aku tak habis pikir kenapa Alya sampai nekat menyusulku kemari, padahal ia tak tahu jalannya. Dan Awan ... kenapa harus bertemu dengan pria itu! Bisa repot berurusan dengannya!Seketika kepalaku terasa begitu pening. Risna benar-benar tak mau berdamai. Setelah perdebatanku dengan Risna tak mencapai titik sepakat, hingga akhirnya panggilan dari Mas Dewangga yang membuat kami harus pulang bersama.Ya, bila lelaki itu ikut campur, berarti ada masalah penting yang akan dibicarakan.Mas Dewangga, ia adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Aku paling segan padanya karena dia lah yang menopang hidup kami setelah bapak tiada. Lebih tepatnya sejak usiaku masih remaja, 15 tahun. Umurku dengan Mas Dewangga terpaut 5 tahun. Aku sudah menganggapnya sebagai pengganti bapak. Karena ia begitu tanggung jawa
Part 7Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku.[Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!]Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat. Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas. Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat. [Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?] Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca.[Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput k
Part 8Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.***"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu. Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.Terdengar suara lirih ibu dari kamar
Part 9Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.***Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan. Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di dada ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali. Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri. Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.Tidak, Risna, kau tidak boleh menan
Part 10Aku shock benar-benar tak percaya. Kenapa ibu bisa mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dulu dengan anak-anaknya. Bahkan, aku tak pernah tahu kalau Mas Dewangga membeli sawah di daerah ini. Sejak kapan? Pantas saja seberapapun kukirimkan uang untuk Risna, dia tak pernah mengeluh kekurangan. "Mas, kenapa ibu memutuskan ini semua? Pasti Risna sudah membujuk ibu dan menyuruh ibu agar menyerahkan semua ini padanya kan?"Mas Dewangga menatapku tajam. "Risna bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini? Lalu, kenapa kamu merasa terganggu sekali, padahal dia itu istrimu? Apa kamu berniat berpisah darinya?""Aku yang seharusnya tanya sama kamu, Mas, kenapa kamu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Bahkan terkesan membela Risna. Apa kau jatuh cinta pada istriku?" Kali ini aku tak mau kalah dengan Mas Dewangga. Biarpun dia kakakku, tapi kenapa seenaknya sendiri turut campur masalah rumah tanggaku."Pikiran macam apa yang ada di otakmu, Ramdan?! Kamu berubah, tak seperti dulu l
Part 11 "Mereka bilang keluargamu." "Hah, keluargaku? Itu tidak mungkin, Al!"Ya, Ramdan sangat yakin mana mungkin kakaknya, Dewangga dan sang ibu datang ke kota. Sangat kecil kemungkinannya. 'Jangan-jangan Alya hanya mengada-ada saja?' rutuk pria itu sendiri."Aku ngomong beneran, Mas. Tolong pulang, dulu sekarang, perasaanku kacau banget hari ini!" seru Alya sembari menangis."Ya, ya, baiklah, aku akan coba izin pulang dulu. Kau tenang ya."Belum sempat istirahat makan siang, gegas Ramdan turun ke bawah."Tunggu, Pak Ramdan!" panggil seseorang. Ramdan menoleh, rupanya Puspita, sekretaris Pak Reyhan yang memanggilnya. Di samping Reyhan, ada juga seorang pria paruh baya , dia adalah Pak Hadiwilaga, pemilik perusahaan ini.Ramdan berjalan menghampiri mereka. "Ya, Pak?""Begini, nanti setelah jam makan ada meeting dadakan dengan seluruh staff dan pimpinan, saya harap Anda tidak bolos maupun telat lagi ya," ujar pria muda itu."Baik, Pak."Terpaksa Ramdan mengurungkan langkahnya kelu
Part 12Awan memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Sekarang Mbak Risna tinggal dimana?""Di hotel Matahari. Tapi nanti saya mau cari kontrakan aja supaya lebih hemat. Sepertinya saya akan lebih lama berada di sini.""Tunggu sebentar."Lelaki di hadapanku ini meraih tas kerjanya, lalu mengambil sebuah kunci."Ini kunci rumah saya, Mbak pulang dulu ke rumah saya, nanti sore setelah pulang kerja, kita bicarakan hal ini lagi. Sekaligus saya akan bantu Mbak Risna untuk mencari kontrakan baru.""Tapi--""Mau dibantu atau tidak?"Aku mengangguk meski agak ragu. Tapi mau minta bantuan siapa lagi, aku tak mengenal siapapun di sini."Benarkah? Apa tidak merepotkan? Takutnya nanti dikira--""Tidak merepotkan. Kamu bisa istirahat dulu di rumahku. Di rumah juga ada makanan, kalau mau makan tinggal ambil saja, tidak usah sungkan.""Terima kasih, Mas."Aku mengangguk lagi. Terpaksa aku menerima uluran bantuan lelaki itu, hanya dia sekarang yang kini berada di pihakku. Walau kutahu, pasti ada im