Part 7
Aku memperhatikannya tapi tetiba ia menyetop taksi dan masuk ke dalam mobil berwarna biru itu, ingin rasanya kukejar Risna tapi kembali ada notif di ponselku.[Aku tidak main-main dengan ucapanku, Mas. Pulang sebentar atau kau rasakan akibatnya!]Aku menghela nafas kasar usai membaca pesan dari Alya. Terpaksa aku memutar balik mobil dan pulang menuju ke rumah. Aku harus menuruti Alya, atau kalau tidak, dia benar-benar nekat.Sementara Risna? Meski aku khawatir padanya karena dia begitu asing dengan kota mertropolitan ini. Namun, aku yakin dia pasti bisa sampai di rumah dengan selamat. Aku percaya padanya karena dia wanita yang cukup cerdas.Kuhubungi nomor Risna, tapi panggilanku tak kunjung diangkat.[Kamu sekarang dimana? Mau ke terminal apa ke stasiun?]Kukirimkan pesan untuknya, terkirim tapi belum terbaca.[Hati-hati di jalan, Risna. Maaf kita tidak bisa pulang bersama. Mas akan menyusulmu setelah urusan dengan Alya selesai. Kamu kabari Mas Dewangga saja untuk jemput kamu di stasiun ya, soalnya sampai sana pasti sudah larut malam.][Sungguh sebenarnya Mas tidak ingin hubungan kita jadi seperti ini. Mas sayang sama kamu. Jaga dirimu baik-baik, Sayang]Aku kembali mengiriminya pesan meskipun pesan wa-ku belum terbaca. Gegas kupacu mobil dengan kecepatan kencang, karena lagi dan lagi Alya menghubungiku tapi tak kujawab.Sungguh sebenarnya kesal sekali, sudah perjalanan jauh, Alya tidak mau mengerti. Dan sekarang, aku meninggalkan Risna di kota ini.Kuketuk pintu rumah beberapa kali, Alya langsung membuka pintu."Apa benar, Hendra sakit? Atau kau hanya bersandiwara saja?" tanyaku langsung bergegas masuk ke kamar anak tiriku.Kulihat dahinya sedang dikompres. Kupegangi badannya, memang benar, ternyata Alya tidak berbohong."Bukankah tadi baik-baik saja?""Aku tidak tahu Mas, mendadak jadi seperti ini.""Ya sudah, ayo ke dokter!" Aku langsung menggendong Hendra, sedangkan Alya membukakan pintu mobil."Lho, istri kampunganmu kemana, Mas? Dia gak ikut?""Gara-gara kamu, dia turun di jalan dan pulang sendirian."Alya justru tersenyum. "Baguslah, itu memang yang kuharapkan. Untung dia sadar diri!""Alya!! Aku tuh justru khawatir dengan dia, takut dia kesasar, dia kan gak pernah kesini!""Halah, ya gak mungkin, Mas. Punya mulut buat bertanya dan otak buat berpikir itu bisa digunakan kecuali emang orangnya bego!"Aku menghela nafas panjang. Percuma berdebat dengan Alya sekarang. Kulajukan mobil menuju ke praktek dokter terdekat. Selepas diperiksa dokter, Hendra diberi resep obat penurun panas."Sudah ya, kamu gak usah khawatir. Hendra demam biasa, nanti juga sembuh. Sekarang aku pamit ya mau pulang kampung dulu," ujarku setelah membaringkan Hendra di kamarnya lagi.Bolak-balik perjalanan cukup memakan waktu juga karena harus rela mengantri saat mau diperiksa."Nanti berikan obatnya sesuai anjuran dokter, jangan sampai lupa ya, biar Hendra cepat sembuh.""Iya, Mas," sahut Alya. Kali ini sebuah senyuman melengkung di bibirnya yang manis."Udah tenang, sekarang?"Alya langsung memelukku dengan erat. Dia mencium pipiku sekilas. "Iya, terima kasih banyak, Mas. Aku jadi makin sayang," sahutnya gemas."Janji ya, pulang lagi kesini!""Iya.""Aku berangkat sekarang ya, Al. Jaga dirimu dan Hendra baik-baik ya."Wanita itu mengangguk, meski berat melepaskan akhirnya kami berpisah untuk sementara waktu saja.Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Ternyata sudah pukul delapan malam. Itu artinya, aku sudah meninggalkan Risna 2 jam sendirian. Entah dimana dia sekarang. Apakah sudah naik kereta? Atau naik bus?Ponsel kuperiksa lagi, melihat apakah ada balasan dari Risna? Ternyata nihil, pesanku pun tak dibaca olehnya. Kuhubungi nomornya, tapi operator yang menjawab bahwa nomornya tidak aktif.Aku menggeram kesal. Ketar-ketir, tentu saja. Ini semua gara-gara Alya. Kalau tidak kami sudah separuh perjalanan. Hanya harapan semoga Risna baik-baik saja dan sampai di rumah dengan selamat.[Risna, kalau sudah sampai, jawab pesanku, Sayang. Aku khawatir padamu]Kukirim sebuah pesan untuknya, tapi hanya centang satu.Kali ini kupacu kendaraan roda empatku dengan kencang. Kukunjungi stasiun terdekat, berharap Risna masih menungguiku di sana, tapi sampai sana nihil, aku tak dapat menemukannya. Pun aku bertolak menuju ke terminal bus. Menanyakan ciri-ciri Risna pada orang-orang yang berada di sana. Namun tak ada satupun yang mengenalnya. Ya sih, aku hanya melakukan pekerjaan yang sia-sia.Kupaju mobil dan berusaha untuk tetap fokus di jalan. Perjalanan malam yang cukup sunyi, terkadang membuat rasa kantuk yang luar biasa. Aku rehat beberapa kali di rest area. Meminum kopi serta menyeduh pop mie karena tetiba perut terasa begitu lapar. Usai mata bisa diajak kompromi lagi kulanjutkan perjalanan.Aku memilih melewati jalan tol, agar cepat sampai. Kuputar musik untuk menemani perjalanan yang sepi.Sembilan jam perjalanan kutempuh agar sampai di rumah ibu. Ya, kami memang masih tinggal menumpang di rumah orang tua, apalagi hanya tinggal ibu saja yang sakit-sakitan.Sebenarnya tempat tinggalku di kota itu adalah rumahku sendiri, kubeli dengan cara kredit, masih ada cicilan tiap bulannya. Menurutku kredit perumahan lebih baik dari pada mengontrak. Tapi aku bilang pada orang-orang kalau aku mengontrak rumah.Dari malam sampai pagi menjelang, akhirnya sampai di desa kelahiran. Tepat pukul 06.00 pagi. Aku turun dari mobil, menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara segar di desaku yang masih asri dan sejuk, tak seperti di kota, meski masih pagi pun sudah terkontaminasi asap kendaraan.Pintu rumah ibu masih tertutup dengan rapat. Entah kenapa, jantungku berdebar lebih kencang. Apa yang akan dibicarakan Mas Dewangga? Lalu, apakah Risna sudah sampai? Dia sama sekali belum membeliku kabar.Tok ... tok ... tok ... Kuketuk pintu rumah ibu. Rumah yang masih sama seperti dulu, belum tersentuh renovasi, hanya perbaikan-perbaikan kecil saja.Tak lama pintu terbuka, terlihat seorang pria yang berdiri gagah. Rambut yang cepak dan kumis tipis. Aku tersenyum dan segera meraih tangannya."Mas?" sapaku seraya menyalami tangannya. Sudah sangat lama aku tak bertemu dengan kakakku. Ternyata ketampanan kakakku masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah."Kau datang sendiri? Mana istrimu?"Deg! Mendengar pertanyaannya membuat jantungku makin berdegup kencang. Jadi, maksudnya Risna belum sampai ke rumah?"Memangnya, Ri-Risna belum sampai, Mas?""Belum sampai? Apa maksudmu?""Kemarin Risna pulang lebih dulu, Mas. Kemungkinan naik kereta. Kupikir dia sudah sampai sejak semalam.""Apaaa? Kau membiarkan istrimu pulang sendiri dari kota sebesar itu?"Aku tertunduk merasa bersalah. Ah, jadi kemana kau pergi, Risna? Apakah kamu tersesat?Tetiba Mas Dewangga menarik tanganku menjauh menuju halaman rumah. Mungkin agar ibu tak mendengar percakapan kami."Apa yang kamu lakukan sampai membiarkannya pergi sendiri, Ramdan?! Kau tidak takut istrimu diculik orang? Seharian ibu selalu menanyakan Risna, ibu khawatir pada istrimu. Ibu bahkan tidak bisa tidur karena terus memikirkan menantunya. Lalu gimana reaksi ibu kalau Risna tidak ikut pulang bersamamu?! Kamu mau membuat ibu bertambah sakit lagi 'hah?"Aku menelan ludah mendengar perkataan Mas Dewangga. "Maaf Mas, kemarin aku banyak pekerjaan yang harus diurus dan tidak bisa ditinggalkan, jadi--""Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Part 8Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga. Begitupun kebohongan dan kecurangan, meski disembunyikan begitu rapat, suatu saat akan terbongkar.***"Jangan pernah berbohong di hadapanku! Jangan kau pikir kakakmu ini tidak tahu apa yang sudah kau lakukan!"Mataku membelalak mendengar ucapan Mas Dewangga. "Apa maksudmu, Mas?"Tak menanggapi ucapanku, Mas Dewangga justru berlalu masuk ke dalam. Ah, sekarang selain menghadapi kakakku, aku juga harus menghadapi ibu. Ponselku berdering lagi, panggilan dari Alya. Hal ini makin membuatku putus asa. Kenapa sih dia justru menghubungiku! Kuabaikan panggilan darinya dan segera men-silent agar tak terdengar bunyi saat dia menelepon atau mengirim pesan. Bikin repot saja.Perlahan, kulangkahkan masuk ke dalam rumah, dan hendak menemui ibu. Suasana rumah masih seperti dulu, saat terakhir aku pulang kesini. Begitu rapi dan bersih, rupanya Risna mengurus rumah ini dengan baik.Terdengar suara lirih ibu dari kamar
Part 9Tiada yang lebih sakit selain dikhianati orang yang paling kita percayai. Butuh waktu untuk menyembuhkan luka, butuh waktu untuk mengikis duka, tapi semuanya akan tetap membekas di hati, takkan bisa dilupa.***Aku turun dari mobil Mas Ramdan dengan perasaan campur aduk. Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Kaki melangkah tanpa arah dan tujuan. Hancur? Sudah pasti. Begitu sesak terasa di dada ini, bahkan untuk menghirup udara pun rasanya sulit sekali. Satu hal yang pasti, Mas Ramdan lebih memilih istri mudanya, dari pada aku yang sudah rela berjuang demi tulus dan ikhlas serta baktiku sebagai seorang istri. Beragam pikiran negatif muncul. 10 tahun LDR, aku tak mampu membuatmu tetap mencintaiku, karena kau justru berpaling hati. Semua karena aku tak sempurna, tak bisa memberi apa yang diinginkannya.Jangan tanya air mata, sudah tumpah ruah membasahi pipi tanpa mampu kutahan lagi. Ah, aku seperti orang gila sekarang. Hancur dan hancur.Tidak, Risna, kau tidak boleh menan
Part 10Aku shock benar-benar tak percaya. Kenapa ibu bisa mengambil keputusan ini tanpa berdiskusi dulu dengan anak-anaknya. Bahkan, aku tak pernah tahu kalau Mas Dewangga membeli sawah di daerah ini. Sejak kapan? Pantas saja seberapapun kukirimkan uang untuk Risna, dia tak pernah mengeluh kekurangan. "Mas, kenapa ibu memutuskan ini semua? Pasti Risna sudah membujuk ibu dan menyuruh ibu agar menyerahkan semua ini padanya kan?"Mas Dewangga menatapku tajam. "Risna bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini? Lalu, kenapa kamu merasa terganggu sekali, padahal dia itu istrimu? Apa kamu berniat berpisah darinya?""Aku yang seharusnya tanya sama kamu, Mas, kenapa kamu terlalu ikut campur urusan rumah tanggaku. Bahkan terkesan membela Risna. Apa kau jatuh cinta pada istriku?" Kali ini aku tak mau kalah dengan Mas Dewangga. Biarpun dia kakakku, tapi kenapa seenaknya sendiri turut campur masalah rumah tanggaku."Pikiran macam apa yang ada di otakmu, Ramdan?! Kamu berubah, tak seperti dulu l
Part 11 "Mereka bilang keluargamu." "Hah, keluargaku? Itu tidak mungkin, Al!"Ya, Ramdan sangat yakin mana mungkin kakaknya, Dewangga dan sang ibu datang ke kota. Sangat kecil kemungkinannya. 'Jangan-jangan Alya hanya mengada-ada saja?' rutuk pria itu sendiri."Aku ngomong beneran, Mas. Tolong pulang, dulu sekarang, perasaanku kacau banget hari ini!" seru Alya sembari menangis."Ya, ya, baiklah, aku akan coba izin pulang dulu. Kau tenang ya."Belum sempat istirahat makan siang, gegas Ramdan turun ke bawah."Tunggu, Pak Ramdan!" panggil seseorang. Ramdan menoleh, rupanya Puspita, sekretaris Pak Reyhan yang memanggilnya. Di samping Reyhan, ada juga seorang pria paruh baya , dia adalah Pak Hadiwilaga, pemilik perusahaan ini.Ramdan berjalan menghampiri mereka. "Ya, Pak?""Begini, nanti setelah jam makan ada meeting dadakan dengan seluruh staff dan pimpinan, saya harap Anda tidak bolos maupun telat lagi ya," ujar pria muda itu."Baik, Pak."Terpaksa Ramdan mengurungkan langkahnya kelu
Part 12Awan memandangku dengan tatapan penuh tanya. "Sekarang Mbak Risna tinggal dimana?""Di hotel Matahari. Tapi nanti saya mau cari kontrakan aja supaya lebih hemat. Sepertinya saya akan lebih lama berada di sini.""Tunggu sebentar."Lelaki di hadapanku ini meraih tas kerjanya, lalu mengambil sebuah kunci."Ini kunci rumah saya, Mbak pulang dulu ke rumah saya, nanti sore setelah pulang kerja, kita bicarakan hal ini lagi. Sekaligus saya akan bantu Mbak Risna untuk mencari kontrakan baru.""Tapi--""Mau dibantu atau tidak?"Aku mengangguk meski agak ragu. Tapi mau minta bantuan siapa lagi, aku tak mengenal siapapun di sini."Benarkah? Apa tidak merepotkan? Takutnya nanti dikira--""Tidak merepotkan. Kamu bisa istirahat dulu di rumahku. Di rumah juga ada makanan, kalau mau makan tinggal ambil saja, tidak usah sungkan.""Terima kasih, Mas."Aku mengangguk lagi. Terpaksa aku menerima uluran bantuan lelaki itu, hanya dia sekarang yang kini berada di pihakku. Walau kutahu, pasti ada im
Part 12BRisna masih menyimak ucapan Awan."Oke, tunggu sebentar. Kukirimkan fotonya ke nomor wa kamu ya.""Ya ampun, Mas, kenapa gak bilang dari tadi pagi, aku kan gak perlu datang ke sini kalau memang bukti perselingkuhannya ada di hp. Kamu kan bisa langsung kirim lewat WA."Awan justru tertawa lagi. Ah dasar aneh lelaki ini! Aku merasa dikerjai olehnya. "Ini gak lucu, Mas. Kamu niat membantu apa mengerjaiku?""Sorry, sorry. Maaf ya Ris. Ehemm! Kita gak usah bicara formal ya, anggap aja kita sudah temenan."Aku mendengus kesal. "Maaf Ris, bukan bermaksud untuk mengerjaimu. Tapi, aku cuma ingin lihat sampai mana usahamu untuk menuntut keadilan. Haha."Aku masih cemberut. Apalagi Awan terus saja tertawa. "Nanti aku kirim ya, foto-foto suamimu bersama dengan wanita. Maaf sebelumnya, Risna, sebenarnya Alya bukan satu-satunya wanita yang dia pacari.""Apa maksudmu, Mas Awan?" tanyaku ingin tahu."Sebelum dia menikah diam-diam dengan Alya, suamimu, Ramdan pernah beberapakali dekat deng
Part 13Pria itu menoleh ke belakang, hingga terlihat jelas wajahnya. "Kamu?!"Aku mengusap dahi pelan dan tersenyum salah tingkah. Aduh, mana kata Awan dia bos galak! Bisa-bisanya aku nyasar kesini."Maaf Pak, saya tidak tahu kalau ini ternyata mobil bapak," ucapku gugup. Bisa-bisanya aku bertingkah konyol seperti ini. "Saya turun di sini saja. Taksi pesanan saya ternyata ada di belakang, hehe."Aku hendak membuka pintu mobil tapi sayangnya masih terkunci. "Tidak usah turun. Saya antar kamu.""Tapi taksi saya--""Cancle saja."Ucapannya padat dan jelas tapi serupa perintah. Bertepatan dengan itu, sang sopir taksi online kembali menelepon. Terpaksa aku membatalkan pesanan taksi itu walau disahuti kata-kata yang tidak mengenakan hati dari sang sopir. Ah, sudahlah ..Seketika wajahku berubah. Menurutku, ini hari yang cukup sial. Aku menggeleng pelan, tidak, Allah sudah menakdirkan hari ini seperti ini, jadi tidak boleh mengeluh terus Risna!"Kamu mau kemana?" tanya pria itu setelah h
Part 14Tiba-tiba seseorang memukul Awan tanpa kompromi lagi."Maass!"Aku berteriak histeris melihat Awan dipukuli. Awan terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan seraya memegangi pipinya. Aku shock, terlebih yang memukul adalah suamiku sendiri, Mas Ramdan. Entah dia datang dari mana, aku tidak tahu."Oh jadi kayak gini kelakuanmu? Pergi sama laki-laki lain padahal kau masih sah istriku!" Matanya menatapku tajam, dadanya kembang kempis, wajahnya sudah memerah. Mas Ramdan begitu emosi menatapku."Kau bahkan lari saat melihatku kemarin tapi sekarang justru berkeliaran dengan seorang laki-laki? Apa ini sifat kamu yang sebenarnya, Risna?!" Mas Ramdan membentakku. Aku balas menatapnya tajam, tapi mulut ini serasa terkunci, antara shock sekaligus bingung."Bukannya pulang kampung, kamu malah kabur bersama laki-laki! Gila kamu ya!""Yang gila itu kamu, Mas! Bukan aku!" balasku dengan nada berteriak."Cukup omong kosongmu itu, Risna! Ibu mengkhawatirkanmu, tapi kamu malah senang-senang