Share

06. Mari Bicara Sebentar

Jantung Elina berdebar-debar tak karuan saat dokter memeriksanya dengan telaten. Di mulai dari mengecek denyut nadi hingga melakukan USG.

Akhir-akhir ini ia sering kali merasa keram pada perutnya sehingga Ricky memaksa untuk pergi ke dokter, takutnya ia sakit yang tidak biasa.

Awalnya Elina menolak untuk diperiksa. Sebab sudah dua bulan sejak insiden malam itu dan Elina sadar jika jadwal datang bulannya terlambat. Awalnya ia mencoba berpikir positif karena bisa saja ini faktor stres. Tapi kondisi tubuhnya yang akhir-akhir ini menjadi lebih sering lelah, mual yang datangnya tak tau tempat dan juga perutnya yang keram membuatnya agak khawatir.

"Gak papa kok ini, gak perlu terlalu khawatir. Keram perut memang umum terjadi pas kehamilan," ucap dokter setelah selesai memeriksa.

Elina memejamkan matanya mendengar hal tersebut. Kan, apa yang ia khawatirkan menjadi nyata. Sedikit menghela napas, tak menyangka kesalahan malam itu membuahkan hasil. Sial sekali,.padahal ia hanya melakukannya sekali.

"Hamil??" Suara Ricky terdengar. Elina tebak pria itu pasti terkejut.

"Iya betul, Mas sama Mbaknya belum tau, ya?"

"Saya gak tahu." Nada bicara Ricky berubah datar. Elina semakin takut untuk menatap sahabatnya itu.

Dokter di depannya mengangguk. "Mbak Elina sekarang positif hamil, usianya diperkirakan sekitar tujuh Minggu. Selamat ya Mas, Mbak."

Elina beranjak dari bed, melihat Ricky yang saat ini sedang berbincang dengan dokter. Dari rautnya mungkin terlihat biasa saja, tapi Elina tahu jika dia senang menahan marah.

Tak lama kemudian Ricky menghampirinya. "Ayo," ajaknya terkesan tak acuh.

Elina mencebik melihat Ricky yang saat ini berjalan tak jauh di depannya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari ruangan dokter. Ia sendiri pun tak enak hati sebab tak menceritakan kebenaran ini pada Ricky, ia sangat mengerti jika sekarang pria itu memang marah dan kecewa padanya.

Lalu untuk bayi ini, Elina sendiri tak tahu harus melakukan apa untuknya. Jika ia memilih mempertahankan, apakah ia sanggup untuk menjadi seorang ibu tunggal? Tapi jika mengaborsinya pun rasanya ia takut juga tak tega, ia tak bisa membunuh nyawa tak berdosa.

Untuk saat ini mungkin ia akan membiarkannya lebih dulu, solusinya akan ia pikirkan nanti.

Tak lama mereka sampai di apotek untuk menebus resep dari dokter. Ricky berdiri di luar ruangan sambil membuang muka.

"Cepetan," ucapnya tanpa intonasi. Elina hanya mengangguk paham.

"Mbak, saya mau nebus obat," ucapnya sambil menyodorkan secarik kertas pada seorang apoteker.

"Baik Kak, tunggu sebentar, ya."

Elina menunggu dengan tenang sambil mengetuk-ngetuk sepatunya ke lantai. Tiba-tiba ia merasa siluet seseorang menghampirinya.

"Elina??" tanya sebuah suara berat. Elina menoleh dan menatap tak percaya pada seorang pria yang saat ini ada di hadapannya.

"L-lo??" Elina tergagap.

Pria itu tersenyum lebar. "Puji Tuhan, kita akhirnya ketemu lagi."

Elina tersenyum kecil. Ia kira sejak perpisahan mereka ia tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Reyhan, pria yang tak sengaja menghabiskan malam dengannya sekaligus ayah dari bayi yang tengah ia kandung.

"Siapa?" Elina terkesiap saat Ricky datang dan langsung menghadang Reyhan.

Kedua pria tinggi itu saling diam. Tapi Elina bisa merasakan aura tak mengenakan dari mereka.

"Kak, ini obatnya, selamat ya Kak atas kehamilannya, semoga sehat-sehat selalu." Seorang apoteker menyodorkan obat padanya. Ucapannya lantas membuat Elina langsung melihat pada Reyhan, ternyata pria itu juga menatapnya dengan raut terkejut.

"Hamil?!" pekiknya. Elina langsung gelagapan.

"Ayo ngobrol bentar, Lin." Reyhan hendak meraih tangan Elina, tetapi Ricky langsung nenepisnya tak suka.

"Jangan asal nyentuh," peringatnya.

Elina terdiam sejenak. Reyhan benar, mereka harus bicara. "Gak papa, Ky, dia kenalan gue."

* * * * *

Reyhan dan Elina kini duduk saling berhadapan di kafe dekat rumah sakit. Ditemani dengan dua gelas minuman keduanya saling melempar pandang tanpa berucap sepatah kata pun. Sementara itu Ricky duduk seorang diri di kursi yang tersedia di luar ruangan untuk memberi mereka waktu. Hanya diam dan mengamati.

"Dia … cowok lo?" Elina mengikuti arah pandang Reyhan yang tengah menatap Ricky.

Menggeleng pelan, ia menjawab, "Bukan, dia sahabat gue, Ricky." Reyhan lantas mengangguk paham.

"Soal tadi … lo hamil?" bertanya dengan hati-hati.

Elina menunduk sambil mengaduk-aduk sedotan pada minuman miliknya. "… Iya," jawabnya pelan.

"Berapa usianya?" tanyanya lagi.

"Kata dokter tujuh minggu."

Reyhan mengangguk pelan. Melihat dari usianya janinnya, kemungkinan besar itu adalah hasil perbuatan mereka malam itu.

"Gue ayahnya, kan?"

Wanita di hadapannya tersenyum miris. "Padahal waktu itu gue bilang gak akan terjadi apa-apa, tapi sekarang bayi ini malah ada di perut gue. Sorry"

Reyhan menggeleng tak setuju. "No need to sorry, gak ada yang tahu gimana masa depan. Lo tau? Gue selama ini terus nyari keberadaan lo buat mastiin kalo lo baik-baik aja."

Elina tertegun. Reyhan mencarinya untuk memastikan dia baik-baik saja? Untuk apa dia melakukan itu? Padahal di pertemuan terakhir mereka sepakat untuk melupakan segala yang telah terjadi.

"Gue baik-baik aja, lo harusnya gak usah mikirin apapun tentang gue, sebelumnya kita udah sepakat buat lupain semuanya."

"Tapi karena itu justru gue gak bisa tenang, Lin. Apalagi sekarang lo hamil anak gue." Reyhan menautkan kedua tangannya di atas meja lalu menatap Elian dengan intens.

"Terus sekarang gimana? Gue harus apa?" Wanita itu sedikit cemas ketika bertanya hal tersebut. Terlebih setelah ia melihat Reyhan yang hanya terdiam.

Sejujurnya ia sedikit terharu karena Reyhan mengakui bayi ini sebagai anaknya padahal faktanya mereka hanya sebatas orang asing. Jika itu orang lain mungkin saja dia tak akan mengakuinya sebab mereka hanya sebatas partner one night stand.

Tapi karena fakta ini juga Elina takut jika pria itu akan memintanya untuk melakukan aborsi. Karena jujur, untuk hal itu Elina tidak tega atau lebih tepatnya tidak siap.

Netra arang Reyhan menatap netra cokelat bening di hadapannya, kemudian menghela napas. "Lo tahu kan kita berdua baru ketemu dua kali sama hari ini. Tapi di hari ini juga kita dapet kabar kalo bakal jadi orang tua. Karena itu gue harap lo setuju sama keputusan gue."

Elina mendengarkan Reyhan dengan jantung yang berdebar-debar, tanpa sadar ia sampai meremas-remas ujung pakaiannya di bawah meja. Keputusan apa yang akan Reyhan minta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status