Share

3. Keputusan Adi

Mendengar namanya dipanggil, Risa berusaha untuk bangun, tapi kakinya benar-benar tidak bisa digerakkan. Lantas ia pun memberanikan diri meminta bantuan Adi untuk membuka pintu dan melihat siapa yang ada di luar kamar.

“Maaf, bisa tolong lihat siapa yang ada di luar. Karena kakiku nggak bisa digerakkan,” ucap Risa dengan suara lemah dan nyaris tak terdengar oleh Adi.

“Berani sekali kamu memberi perintah padaku. Memangnya siapa kamu, hah?” bentak Adi sambil menatap Risa dengan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya. 

“Aku minta maaf, tapi jika aku yang membuka pintunya, nanti mereka akan bertanya soal kakiku ini,” ujar Risa sambil menatap ke arah lututnya yang memar.

“Apa? Jadi kakinya benar-benar sakit? Apa itu karena tadi aku mendorongnya terlalu kuat?” Adi bergumam pelan, tapi masih bisa mendengar oleh telinga Risa. 

Pria itu tampak memikirkan sesuatu, kemudian berjalan mendekati Risa dan mencengkram bahu istrinya dengan sangat kuat. 

“Akh!” Risa menjerit saat kuku-kuku jari Adi terasa menancap di pundaknya. “Ka-kamu mau ngapain?” tanyanya dengan wajah pucat pasi, takut jika Adi akan melakukan sesuatu yang buruk lagi padanya.

“Dengar, ya! Kamu tutup mulut rapat-rapat dan jangan katakan apapun pada orang yang ada di rumah ini. Kalau kamu berani buka mulut soal apa yang terjadi di kamar ini. Kamu akan menerima akibatnya!” ancam Adi sambil melempar bantal ke wajah Risa, lalu ia berjalan ke arah pintu.

“Ya Tuhan … tolong berikan hamba kesabaran yang lebih luas lagi,” ucap Risa sambil menyeka kasar air mata yang sudah menetes tanpa diminta.

“Adi, di mana Risa? Kenapa kamu yang buka pintunya? Risa baik-baik saja, ‘kan?” Terdengar suara seseorang menanyakan keberadaan Risa.

“Mama, ngapain Mama datang ke sini? Risa lagi di kamar mandi,” jawab Adi berbohong.

“Oh, Mama cuma mau bicara dengan Risa sebentar. Mama tunggu dia di dalam, ya?” Ibu Airin ingin menerobos masuk ke dalam kamar, tapi langsung dicegah oleh Adi.

“Mama, please! Adi capek banget. Bisa nggak, urusannya besok pagi saja?” Adi mencoba mengalihkan perhatian ibunya.

"Yah … padahal Mama cuma mau bicara sebentar sama istrimu. Ya sudahlah, besok saja Mama bicara sama dia. Maaf, ya, Mama ganggu kalian. Selamat beristirahat,” ucap Ibu Airin sambil tersenyum. 

Setelah ibunya pergi dari, Adi buru-buru menutup pintu dan tak lupa menguncinya.

“Huuh … untung saja Mama tidak memaksa masuk. Jika tidak, aku nggak tau apa yang akan Mama lakukan.”  Adi bicara sendiri, lalu naik ke tempat tidur.

Sementara Risa tampak melamun sambil menatap ke arah tempat tidur. “Kalau Mama Airin bertanya soal kakiku ini, aku harus jawab apa, ya? Aku nggak mau sampai dia mengetahui apa yang telah dilakukan putranya padaku,” gumamnya dengan sangat pelan.

Risa berusaha untuk memejamkan mata, tapi rasanya sangat sulit. Badannya terasa sakit dan dia juga merasa kedinginan. Sepertinya Adi sengaja membuat suhu ruangan itu menjadi sangat dingin, tapi Risa tidak boleh menggunakan selimut. 

Risa pun tidur dengan meringkuk menahan rasa sakit dan dingin yang luar biasa. Hingga tanpa sadar, ia akhirnya tertidur dengan posisi seperti itu. 

*** 

Pagi telah menjelang, cahaya matahari masuk melalui sela-sela jendela kamar. Burung-burung berkicauan menyambut indahnya pagi hari. Risa langsung terbangun saat cahaya terang itu menyilaukan matanya. Ia melihat ke arah tempat tidur, ternyata Adi masih terlelap dalam mimpi indahnya. 

Kemudian Risa bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dengan langkah tertatih ia akhirnya sampai di tempat tujuan. Setelah membersihkan diri, Risa keluar dari kamar mandi dengan berpegang pada tembok karena menahan rasa nyeri pada kakinya.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian wanita cantik itu, ia berusaha melangkah menuju pintu kamar untuk melihat siapa yang ada di sana. 

Saat pintu terbuka, Ibu Airin berdiri menatapnya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Meskipun telah berumur, tapi Ibu Airin masih terlihat sangat cantik di usianya yang hampir setengah abad. 

“Pagi, Sayang. Sudah bangun? Mana Adi?” tanya Ibu Airin.

“Pagi, Ma. Dia masih tidur,” jawab Risa.

“Kebiasaan itu. Kalau nggak dibangunin, dia nggak akan bangun seharian. Kamu tolong bangunkan dia, ya, Mama tunggu di meja makan.” Ibu Airin mengelus lembut pipi sang menantu sebelum beliau meninggalkan kamar putranya.

Risa berbalik badan dan melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Tangannya gemetar saat ingin membangunkan suaminya yang masih bergulung di balik selimut tebal, ia takut jika pria itu akan melakukan hal yang sama seperti semalam.

“Aku harus bagaimana supaya dia bangun tanpa aku sentuh,” ucap Risa sambil terus menatap ke arah tempat tidur.

Wanita itu tampak mondar-mandir di samping tempat tidur, tangannya terasa berat untuk menyentuh laki-laki yang telah sah menjadi suaminya. Ia berpikir cukup keras untuk menemukan cara membangunkan Adi dengan cara tidak menyentuhnya.

“Ngapain kamu di sana? Kayak cacing kepanasan.” Suara bariton seseorang seketika mengejutkan Risa.

“Itu, hm. Tadi aku disuruh sama Mama untuk membangunkan kamu, tapi aku tidak berani,” jawab Risa dengan lembut.

“Tidak perlu! Saya tidak butuh bantuan apapun dari kamu!” sentak Adi sambil berlalu ke kamar mandi.

Risa menghela napas panjang sambil menatap punggung suaminya yang telah menghilang di balik pintu kamar mandi. Saat Adi sedang mandi, Risa berinisiatif menyiapkan pakaian kantor untuk suaminya.

Diletakkannya pakaian tersebut di atas tempat tidur yang telah dirapikan sebelumnya, lalu ia keluar dari kamar dengan langkah tertatih-tatih. Kakinya masih terasa sakit, tapi ia paksakan supaya orang-orang tidak curiga dan mengetahui apa yang terjadi padanya semalam.

“Pagi, Nyonya Muda.” Bi Ratih tersenyum ramah menyambut istri tuan mudanya.

“Pagi juga, Bi.” Risa pun membalas sapaan dengan senyum ramah.

“Risa, ayo duduk sini!” pinta Pak Arya sambil menunjuk satu kursi di hadapannya.

“Iya, Pa.” Risa melangkah menuju meja makan.

“Apa Adi belum bangun juga, Sayang?” tanya Ibu Airin.

“Sudah, Ma, tapi dia lagi di kamar mandi. Tadi dia memintaku untuk menunggu di meja makan,” ujar Risa berbohong.

“Benarkah? Ya sudah. Kita tunggu saja,” kata Pak Arya sambil tersenyum kecil.

Tak lama kemudian, Adi tampak berjalan menuruni anak tangga dengan mengenakan pakaian kantor yang telah Risa siapkan. Melihat hal itu, tentu saja Risa merasa sangat senang. Buat Risa, itu sudah lebih dari cukup karena bisa dihargai oleh suaminya.

“Pagi, Pa, Ma.” Adi menyapa kedua orang tuanya sambil menarik satu kursi.

“Pagi, Di. Gimana tidurnya tadi malam? Pasti nyenyak dong, ya? Karena sudah ada temannya,” ledek Pak Arya sambil menatap Adi.

“Tentu saja, Pa.” Adi menjawab dengan santai. Iya, dia memang tidur sangat nyenyak tadi malam, tapi tidak dengan Risa.

“Baguslah. Semoga cepat berhasil kerja keras kalian,” ujar Papa Arya sambil tersenyum.

Risa mengerti apa maksud ucapan Pak Arya, tapi ia hanya bisa menanggapi dengan senyum getir. Sementara Adi sampai tersedak minuman setelah mendengar ucapan ayahnya. 

“Uhuk-uhuk!” Adi terbatuk karena kaget mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh ayahnya.

“Pelan-pelan, Di. Papa baru ngomong gitu aja, kamu udah kaget begini.” Ibu Airin memberikan tisu pada Adi.

“Apa-apaan sih, Ma. Adi gak kaget karena itu,” jawab Adi sambil mengelap mulutnya dengan tisu.

“Jangan bohong, Di. Papa juga pernah mengalami hal seperti yang kamu alami sekarang,” ujar Pak Arya. Beliau terus saja menggoda putranya. Sementara Risa merasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

“Pa, Ma, Adi mau bicara serius.” Adi menatap ayah dan ibunya secara bergantian sebelum mengutarakan apa yang akan disampaikannya.

“Ada apa?” tanya Ibu Airin.

“Mulai besok, aku akan pindah ke apartemen. Aku ingin hidup mandiri, Pa, Ma. Mama bisa datang ke sana kapan saja Mama mau,” kata Adi. 

Prang! 

Suara sendok beradu dengan piring. Bu Airin kaget setelah mendengar pernyataan Adi yang ingin pindah ke apartemen. Pun demikian dengan Pak Arya. Beliau merasa keberatan, tapi ia akan menerima jika memang itu sudah menjadi keputusan putranya. 

Sementara Risa hanya bisa diam mendengar perkataan Adi. Pikirannya pun melayang seketika, membayangkan apa yang akan dilakukan pria itu padanya setelah mereka tinggal berdua.

Risa merasa, Adi sengaja membawanya pergi dari rumah itu agar apa yang dilakukannya tidak diketahui oleh orang lain, terutama kedua orang tuanya. Namun, di satu sisi, Risa juga merasa senang jika mereka tinggal terpisah. Dengan begitu, ia tidak harus membohongi ibu mertuanya yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya. 

Ibu Airin terlalu baik untuk dibohongi, sehingga dengan jauh dari beliau bisa membuat Risa merasa lebih tenang dan tidak perlu merasa bersalah lagi.

“Pindah? Kenapa cepat sekali, Di? Mama masih ingin bersama Risa,” ucap Ibu Airin dengan sendu, matanya pun sudah berkaca-kaca.

“Ma, biarkan mereka menentukan jalan hidup mereka sendiri. Adi sudah dewasa, dia bisa melakukan tanggung jawabnya dengan baik.”  Pak Arya berbicara mengelus lengan istrinya yang terlihat sedih.

“Tapi, Pa. Apa Adi nggak bisa membiarkan Risa di sini dulu? Setidaknya satu minggu ini,” tawar Bu Airin. Besar harapannya supaya Adi mau merubah keputusannya.

“Maaf, Ma. Tapi Mama tau sendiri kalau aku sudah membuat keputusan, maka itulah yang akan terjadi!” ujar Adi seraya menatap ibunya.

“Ya sudah, terserah kamu!” Ibu Airin berdiri dari tempat duduknya dan segera pergi meninggalkan meja makan.

“Mama, sarapannya dihabiskan dulu.” Pak Arya mencoba membujuk istrinya.

“Nafsu makan Mama sudah hilang,” jawab Ibu Airin sambil berlari menaiki tangga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status